Rasa kantuk tak kunjung hilang, aku menguap kembali.
20 menit yang lalu, mami datang ke kamarku untuk membangunkanku. Namun aku tidak langsung bangun, aku memejamkan mata lagi s sampai mami datang lagi ke kamarku untuk yang kedua kalinya.
"Bangun atau nanti kamu terlambat, Vay."
Aku turun dari ranjang dengan mata berat. Aku baru jatuh tertidur pukul 3 dini hari, dan sekarang pukul 5 lebih 10 menit.
Aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan bagaimana keadaan Eru. Apakah penerbangannya lancar? Apakah kondisinya tetap stabil? Apakah iklim di Kanada cukup baik untuknya?
Jauh sekali gadis kecil itu harus pergi, ke belahan dunia lainnya, jauh dari keluarganya. Tapi yang aku tau pasti, Raden ikut menemani Eru di sana, mungkin 1 atau 2 Minggu. Itu pun berkat kekerasan kepalanya dalam mendebat orang tuanya.
Manggala jauh lebih kasar lagi. Dia tidak bisa berunding dengan kepala dingin, kemarin saja dia entah sengaja atau tidak memukul wajah ayahnya. Tentu bukan tanpa alasan, ayahnya amat menentang kedekatan Manggala dengan adiknya, Eru.
Laki-laki itu, ada yang tidak aku mengerti tentang dia. Sesaat saat melihatnya marah, aku tidak bisa membaca sifatnya. Seolah sifatnya yang selama ini aku lihat bukan yang sesungguhnya, tapi itu hanya sekilas saat dia marah. Aku pikir itu hal yang wajar, hidup Eru dipertaruhkan di sana.
Selesai mandi aku melihat pantulan wajahku di cermin. Ada lingkar hitam di bawah mataku. Aku mengambil sedikit bedak untuk menutupinya.
Mengikat rambut lalu memilih jam tangan di dalam laci. Aku suka mengoleksi jam tangan dengan warna dan desain yang berbeda.
Ada satu pikiran yang amat menggangguku.
Sedang apa Tetra?
Kenapa dia tidak menghubungiku setelah mengutarakan isi hatinya saat sore hari itu?
Apakah ucapannya hanya digunakan untuk membungkamku? Agar aku diam dan mau mendengarkan penjelasannya?
Tanganku terulur ke belakang rambut, aku menarik ikatan yang sudah rapi kubuat. Aku menyisir rambutku lagi, mungkin lebih baik aku biarkan lurus terurai.
Ah aku hampir lupa. Baju olahraga milik Manggala.
Tadi malam sudah aku siapkan di dalam tas kertas dengan rapi. Pagi ini jadwal olahraganya, aku harus mengembalikannya sebelum bel masuk berbunyi.
Aku turun menuju meja makan. Ada mami yang berdiri di belakang meja memasak, dan papi yang sedang melakukan rutinitas barunya dengan membaca koran di meja makan.
"Mami selamat pagi." Aku berjalan di belakang tubuh mami.
Mami menoleh lalu mengecup pipiku. "Pagi, Sayang. Tidur nyenyak semalam?"
Aku mengangguk. "Tentu."
Lemari dingin besar aku buka. Sebotol minuman dengan potongan lemon di dalamnya aku ambil dari dalam lemari es. Aku membalutnya lagi dengan pouch yang kedap air, lalu aku letakan di atas baju olahraga milik Manggala. Anggap saja ucapan terima kasih dariku karena dia sudah menyelamatkan nilai akhir semester olahragaku.
Kemudian aku menghampiri papi yang belum sempat aku sapa. "Selamat pagi, Papi."
Pai menurunkan koran lalu melipatnya. "Morning, Princess."
Aku mendengus geli. Aku tidak pernah suka panggilan itu.
"Berangkat sama papi ok. Kita ngga pernah berangkat bareng." Ucapnya.
"Papi ngga mepet waktunya?" Tanyaku.
Aku bukannya tidak mau berangkat dengan papi. Hanya saja jalur yang kita lewati berbeda arah, jadi itu akan membutuhkan sangat banyak waktu jika papi mengantarku lebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
bukan GADIS TANPA PERAN [Complete]
Fiksi RemajaNamaku El. Usiaku 16 tahun. Hidupku seolah dikekang oleh penulis jahat. Berkali-kali aku bertemu dengan orang jahat di sekitarku, tidak ada satu pun yang memihakku. Aku El. Aku memiliki masa lalu yang terus membayangiku sampai sekarang. Siapa yang t...