053

5.7K 1.2K 176
                                    

Aku tidak mengharapkan perlakuan protektif dari Nona dan Hepta seperti sekarang.

"APA LIAT-LIAT? MAU GUE COLOK?" Nona mendelik yang kesekian kalinya setiap kali berpapasan dengan seseorang yang menatap kami di koridor dengan tidak sengaja.

"Ngga usah deket-deket, jalanan masih luas!" Hepta juga tak kalah ketusnya setiap kali ada yang tidak sengaja hampir menabrak kami.

Aku tertawa sumbang. "Kalian kenapa sih?"

"Gue ngga nyangka aja, El. Ternyata di Indonesia yang katanya gemah ripah loh jinawi, ternyata ada ya yang main bully bully-an gitu." Jawab Nona dengan emosi yang kembali tersulut.

Hepta mengangguk. "Gue pikir yang begituan cuma ada di drama Korea yang  suka gue tonton doang."

"Itu udah lalu.." jawabku berusaha santai. Padahal aku selalu terpikirkan setiap saat.

Nona mendelik berdiri di depan sambil berkacak pinggang. "Lalu apanya? Kemaren lo bolos karena liat si perundung itu kan? Gimana kalo mereka ada niat buat bully lo lagi? Gimana kalo tiba-tiba mereka dateng lagi? Mulai sekarang jangan coba-coba pergi sendirian. Ngerti?"

Aku mendengus geli. "Mereka ngga ada di sini, Nona."

"Mengerti, El Valensi?" Ucap Nona lagi dengan penuh penekanan.

Akhirnya aku mengangguk dengan lugas. "Iya iya. Tapi kalian ngga usah omelin setiap orang yang kita liat di koridor juga."

"By the way, mereka ada berapa jumlahnya?" Bisik Hepta di sebelahku.

"Tiga." Jawabku ragu.

"Emm.. ada empat." Akhirnya aku menjawab dengan benar.

Aku sebenarnya tidak mau mengakui bahwa salah satu sahabatku adalah perundung itu. Tapi aku juga tidak mau membohongi mereka berdua.

"Tenang aja cuma empat. Gue bisa bikin mereka digebukin satu sekolah." Nona merangkul bahuku dan Hepta. Sorot matanya memberikan janji yang meyakinkan.

Aku benar-benar beruntung bertemu kalian.

"Kalian mau makan apa? Biar gue yang pesenin."

"Bakso sama es teh." Ujar Nona.

"Samain kayak Nona, Ta." Jawabku.

Hepta mengangkat ibu jarinya, "siap laksanakan. Tunggu bentar yaa."

Aku dan Nona mengangguk bersamaan.

"Non, papa lo gimana?" Aku bertanya dengan hati-hati.

"Kakak gue dapet beasiswa di pulau lain. Ayah ikut sama kakak. Gue rada tenang karena ngga pernah didatengin lagi."

"Gue jadi rada sibuk karena harus part time mulai sekarang."

"Ada yang bisa gue bantu?" Tanyaku sungguh-sungguh. Aku tidak tau jika Nona mulai bekerja sambilan.

"Ngga ngga. Gue part time cuma buat jajan kok, uang sekolah kakak yang bayarin." Nona mengibaskan tangan di depan wajah.

Wajahnya tertunduk dengan seulas senyum sedih. "Gue beruntung punya kakak kayak dia. Dia yang selalu bantu gue pas ayah marah-marah. Dia berusaha kejar beasiswa itu biar gue jauh sama ayah. Uang jajan dia yang dikasih ayah, ditabung buat bayar sekolah gue."

Aku memeluk bahu Nona dari samping. "Kalo lo butuh sesuatu, bilang sama gue Non. Gue pasti bantu."

"Makasih, El. Kalo gue butuh bantuan gue pasti bilang. Gue bukan orang yang suka diem aja padahal gue butuh pertolongan." Nona mengangkat wajahnya tersenyum lebar. Aku lega mendengarnya seperti itu.

bukan GADIS TANPA PERAN [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang