039

6.8K 1.3K 88
                                    

Keesokan harinya di sekolah aku mendatangi ruang informasi. Aku ke sana untuk menyerahkan ponsel Raden yang kupinjam diam-diam—aku bilang aku menemukannya di dekat kantin.

Jika aku langsung mengembalikannya, senior itu pasti akan marah-marah menuduhku mencuri—walaupun sepertinya benar.

"Kak El selamat pagi." Sapa dua adik kelas perempuan saat aku melewati koridor.

"Siapa?" Tanyaku langsung tanpa basa-basi. Wajah mereka sedikit asing, tapi jika dua anak itu tau namaku, itu berarti mereka cukup mengenalku.

"Kita junior di karate kak." Jawab salah satunya.

Aku diam.

"Aku ikut karate karena kagum liat kakak. Di banner pendaftaran murid baru juga ada foto kak El yang pegang trofi." Ujarnya lagi dengan menggebu-gebu.

"Harusnya kamu ikut beladiri bukan karena saya, itu tandanya kamu ngga punya niat."

Mereka berdua saling berhimpit menunduk. Apa kalimatku terlalu kasar? Aku hanya memberi sedikit kalimat pendorong, hm kurasa.

Aku berdeham ringan, berusaha menghilangkan kecanggungan diantara kami bertiga. "Terimakasih sudah kagum, masih banyak yang jauh lebih hebat. Semangat, rajin-rajin latihan sebentar lagi kejuaraan. Saya permisi."

Dua adik kelas itu mengangkat wajahnya tersenyum lebar. Aku balas tersenyum tipis, kemudian pergi dari sana.

Langkahku menyusuri koridor yang mulai ramai oleh murid-murid yang baru datang dan menuju kelas masing-masing.

Bibirku bergetar kecil, aku mati-matian menahannya agar tidak melemparkan senyum konyol. Dasar adik kelas polos, apanya yang bisa mereka kagumi dariku.

"Lo liat ngga si Aurel di depan, haha roknya pendek banget. Gue yakin itu punya adeknya yang SD."

"Gue ngga fokus ke roknya, kasihan aja liat kancing bajunya yang ketarik paksa. Bentar lagi pada mental itu kancing hahaha."

"Berisik-berisik! Ngga tau banget mood gue lagi ancur? Hp gue ilang ini dari kemaren!"

Aku memutar tubuhku memunggungi gerombolan kelas 12. Mereka datang dari arah yang berlawanan denganku.

"Ya elah Den bisa beli lagi juga hp doang."

Raden melotot. "Hp bisa dibeli, akun candy crush gue mana bisa bolot!"

"Lagian emang lo ngga log in tuh game permen?"

"Gue lupa." Kilah Raden masih dengan bersungut-sungut.

Sial. Sial. Dari sekian banyak murid di Gelanggang, kenapa harus Raden yang harus berpapasan denganku.

Aku menahan napas saat gerombolan kelas 12 itu berjalan melaluiku tanpa sadar ada aku yang memepet tembok seperti cicak.

"Besok gue mainin tuh game sampe level seribu!"

"Halah, main catur di komputer aja lo Undo. Gaya-gayaan mau seribu level." Dengus Raden.

Aku membuang napas lega. Balik badan, siap kembali menuju kelas.

"Eh tembok." Raden tertawa menyebalkan memanggilku yang sudah siap kabur.

"Pantesan ngga keliatan, menyatu dengan alam ya?" Ledeknya di depan wajahku.

Ingin kutonjok hidungnya agar tau rasa Raden ini. Tenang, harus tenang. Raden sedang mengalihkan rasa kesalnya dengan menggangguku, aku tidak boleh terpancing atau Raden akan semakin kesenangan.

"Kan tembok banget ngga jawab."

Teman-teman Raden ikut menatapku dari bawah sampai atas. Jariku gatal ingin mencolok mata-mata mereka.

bukan GADIS TANPA PERAN [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang