Awal Baru

624 72 14
                                    

Setahun telah berlalu sejak kepergian Juwon. Jeni telah menjalani kembali kehidupannya dengan normal. Meskipun semuanya tidak benar-benar bisa kembali seperti sebelum ia mengenal laki-laki itu. Bayangan laki-laki tersebut masih sering muncul di pikirannya tanpa bisa dicegah. Tapi kini Jeni bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Ia sudah tak sedih dan menangis lagi jika tiba-tiba laki-laki itu terngiang kembali.

Malah, ia telah membuat tato di pergelangan tangan kanan dari kata-kata yang dulu pernah diucapkan Juwon padanya. Ia membuat tato itu dalam bahasa Inggris dengan tulisan kursif. Tentu saja tato tersebut bukan tato permanen, karena pihak YG pasti melarangnya. Itu hanya tato sementara yang ia gunakan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Jeni melangkah keluar dari mobil van hitam yang terparkir di tepi jalan. Gadis itu berjalan santai menuju sebuah kafe sambil sebelah tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Gemericik lonceng yang menggantung di pintu kafe langsung terdengar begitu Jeni masuk. Ia disambut wajah semringah seorang laki-laki dan perempuan bercelemek yang berdiri di balik meja bar.

"Eoso oseyo."

"Eoso oseyo."

Dua orang tersebut menyapa di waktu hampir bersamaan. Karena si perempuan sedang sibuk dengan mesin kasirnya, si laki-laki memutuskan untuk mendekat pada Jeni. Ia tersenyum lalu berbicara ramah. "Mwol sikisi gesseoyo?"

Jeni menatap layar ponselnya. "Dua kopi Amerikano, satu karamel macchiato, dan dua latte teh hijau ukuran sedang."

"Dingin atau hangat?"

"Dingin."

"Baiklah, shooshoo omachi kudasai-mase*."

Laki-laki itu berbalik menuju mesin kopi yang ada di belakangnya. Jeni meletakkan ponsel ke meja lalu menopang dagu dengan kedua tangan.

Matanya menatap jeli laki-laki itu. Ia memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh laki-laki yang sedang menyalakan mesin penggiling biji kopi itu, kemudian tersenyum. "Sepertinya bahasa Koreamu semakin lancar, Jun," pujinya.

Jun menoleh sebentar lalu kembali berkutat dengan mesin kopinya. "Yah, begitulah. Patricia getol sekali mengajariku setiap hari. Meskipun kadang masih sering bercampur dengan bahasa Jepang, Jeni-san."

Jeni menyebarkan mata mengamati keadaan kafe yang saat itu tidak ramai dan juga tidak sepi. "Akhirnya kalian benar-benar membuka tempat ini."

"Perlu waktu hampir setahun hingga kami benar-benar siap membukanya." Terdengar suara Gemini mendekat dari arah mesin kasir. Ia datang membawa dua gelas latte teh hijau dan memberikannya pada Jeni.

Gemini memutar kepala menatap Jun yang sedang menyiapkan sisa pesanan Jeni. Rautnya berubah sebal. Pun dengan nada bicaranya. "Ini karena dia malas sekali untuk kusuruh kursus bahasa Korea."

"Seandainya dia mau menurut sedikit saja, kami bisa membuka kafe ini lebih cepat." gerutunya.

Gemini mengembalikan pandangan pada Jeni. Ia mencondongkan badan lalu bicara setengah berbisik, "Laki-laki memang keras kepala. Mereka suka sekali memutuskan sesuatu seenaknya sendiri," desahnya kesal.

Jeni terkekeh mendengar keluhan Gemini. Tapi ia setuju dengan kalimat itu. Benar-benar setuju. Laki-laki memang suka seenaknya sendiri. Mereka datang, lalu menghilang dan pergi begitu saja seolah tidak pernah ada yang terjadi.

"Tapi sepertinya kau berhasil jadi guru yang baik untuknya, Gemini," ujarnya ringan mengubah arah pembicaraan.

Gemini mendesis pasrah. "Mau bagaimana lagi?"

"Hei, ngomong-omong jangan memanggilku Gemini lagi," sambungnya tiba-tiba.

Ujung alis Jeni naik bersamaan. "Kenapa?"

Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang