Park Seongsaenim

348 48 8
                                        

Halte itu lebih ramai dari biasanya. Pria dan wanita berpakaian kantoran terlihat berjajar menunggu kedatangan bus. Tampak juga beberapa anak muda berseragam sekolah di sana. Di antaranya adalah Rose, Lisa, Jisu, dan Jeni. Jeni sedang sibuk menyapukan jempolnya ke layar ponsel berkali-kali, memburu diskon musim semi di toko daring langganannya. Lisa, yang berdiri di sebelah kanan Jeni, sedang mengarahkan kaca setengah lingkaran yang ukurannya hanya sebesar genggaman tangan ke depan wajahnya. Sambil bersenandung pelan, ia berkaca merapikan poni yang menggantung di dahi. Gadis itu terlihat ceria sekali. Sepertinya ia mulai menikmati 'penampilan barunya' itu. Sementara di paling ujung, ada Jisu yang terlihat paling menyedihkan di antara yang lain. Entah sudah berapa kali ia bersin pagi ini. Meskipun wajahnya telah ditutupi masker dan kacamata untuk menghalangi serbuk sari, gadis itu tetap terlihat tersiksa karena harus membuka tutup masker dan menyeka ingusnya berkali-kali dengan sapu tangan sampai ujung hidungnya terlihat merah menyala.

Rose yang tak memiliki kesibukan berdiri tenang menunggu kedatangan bus. Sampai sebuah suara menghampirinya.

"Selamat pagi."

Seorang laki-laki berdiri di sampingnya, menyapanya sambil melempar senyum ramah. Rose memutar badan. Matanya melebar saat mendapati ternyata suara itu milik guru Park.

"Park seongsaenim?"

Ia buru-buru membungkuk memberi salam. Diikuti Jeni, Lisa, dan Jisu setelah menyadari keberadaan gurunya itu.

"Kita bertemu lagi," kata guru Park. "Kau tidak lupa dompetmu lagi, 'kan?" guraunya.

Rose tertawa kecil meskipun sebenarnya ia sedikit malu. "Kali ini saya membawanya."

Ia melihat sekeliling, lalu berkata untuk mengganti topik pembicaraan. "Park seongsaenim tinggal di sekitar sini?"

"Aku tinggal di belakang blok gedung asrama trainee YG itu," jawab guru Park sambil menunjuk gedung yang dimaksud.

Rose mengarahkan wajahnya ke arah tunjuk guru Park, lalu tersenyum. "Saya tinggal di gedung itu."

"Oh, benarkah?" Guru Park mengangkat alis terkejut. "Aku memang pernah dengar ada beberapa murid SMA Chungdam yang menjadi trainee YG."

Percakapan mereka terhenti ketika bus bercat merah tiba di halte itu. Semua penumpang yang telah menunggu masuk secara bergiliran. Rose mendapati dirinya yang terakhir masuk. Tiga temannya sudah lebih dulu duduk di kursi belakang, walaupun tidak benar-benar yang paling belakang. Ia menyebar matanya mencari kursi yang masih kosong. Ada satu. Tapi itu adalah kursi yang disampingnya ada guru Park. Ia tidak ingin duduk di sana. Akan terasa sangat canggung jika Rose harus duduk bersebelahan dengan gurunya itu.

Bus melaju dan Rose masih berdiri di tempatnya. Otomatis tangannya meraih pegangan yang menggantung agar tidak jatuh.

"Kau tidak ingin duduk?" tanya guru Park saat melihat Rose hampir saja jatuh jika tangannya yang panjang terlambat menambat pada pegangan tangan. Guru Park menepuk kursi kosong di sampingnya. Memberi isyarat bahwa gadis itu bisa duduk di sebelahnya.

Rose ragu sesaat. Ia melihat sekitar untuk mempersilakan orang lain menempati kursi itu. Tapi ia baru sadar hanya dirinya satu-satunya orang yang berdiri. Rose melihat kursi kosong itu sekali lagi. Lalu memandangi Jeni, Jisu, dan Lisa yang ada di belakang untuk bertukar tempat. Tapi ketiga temannya itu tidak melihatnya, sibuk sendiri-sendiri.

Rose melirik sekilas guru Park. Laki-laki itu masih menatapnya menunggu apa yang akan dilakukannya. Akhirnya ia menyerah dan menaruh pantatnya ke kursi itu. Setelah duduk sempurna, ia melempar senyum pada guru Park. Senyum yang ia harap tidak terlihat aneh karena dirinya sedang gugup.

Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang