Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
"Dari mana sih, sayang Bunda?" Wanita paruh baya yang mengatakan dirinya Bunda itu mendekat pada Langit yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Langit tersenyum, lalu menyalami tangan Bundanya. "Bunda, kapan datang?" tanya Langit.
Lidya, nama wanita paruh baya itu. Senyumnya begitu manis, membuat Langit juga ikut tersenyum melihatnya.
"Pagi tadi, tapi ayah kamu pergi ke kantor lagi. Katanya ada pertemuan penting sama teman bisnisnya siang ini." Lidya mengajak Langit agar menuju meja makan. Tanpa menolak keinginan sang bunda, Langit hanya menurut saja.
"Udah lama Ayah sama Bunda gak pulang, Langit jadi rindu."
Lidya terkekeh mendengar ucapan anaknya. Beginilah Langit saat di rumah, apalagi saat kedua orang tuanya ada. Ia pasti selalu bersikap manja, karena memang Langit anak tunggal dalam keluarga ini.
Mungkin karena sikap kedua orang tuanya yang sering memanjakan dirinya, membuat Langit selalu mendapat apa yang ia inginkan hanya dengan meminta saja. Dari sana juga, sikap berkuasa dan tak mau kalah melekat dalam dirinya. Langit terbiasa menindas, karena menganggap kekuasaan orang tuanya begitu besar dan tidak ada yang berani dengan dirinya.
Masa kecilnya sangat bahagia atau bahkan kelewat bahagia, sampai ia selalu berlaku semena-mena. Tak peduli dengan sekitar dan saat SMA ia berubah menjadi laki-laki nakal yang kebal akan hukuman. Sekali lagi, kekuasaan orang tuanya menjadi alasan Langit berbuat semaunya.
"Makan yang banyak ya, anak bunda." Lidya memberikan sepiring makanan yang tadi ia ambil pada Langit, dengan senang hati Langit mengambilnya.
"Makasih, Bun," ucap Langit dan mulai menyuap makanan itu.
Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu, Langit yang sibuk mengisi perut kosongnya sedangkan Lidya tak henti-hentinya menatap wajah tampan putranya.
"Kamu gak ada buat masalah, 'kan akhir-akhir ini?" celetuk Lidya.
Langit langsung menghentikan kegiatan makannya, ia menurunkan sendok yang padahal sedikit lagi masuk ke dalam mulutnya. Perutnya juga masih butuh diisi, tetapi Langit malah mengabaikannya. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat pada Sasya.
Melihat tingkah Langit yang langsung berubah seperti itu, Lidya mendekatinya. Menggenggam tangan Langit seraya tersenyum. "Kamu buat masalah, lagi?" tebak Lidya dan Langit masih saja terdiam.
"Ya udah, kamu habisin dulu makanannya. Gak usah dipikirin, oke?" ujar Lidya seraya menyuruh Langit agar melanjutkan acara makannya.
"Bu---"
"Makan Langit, Bunda mau ke depan dulu. Habis ini, kamu ganti baju ya, terus istirahat!" Lidya berlalu dari sana setelah mengecup kening putranya.
Langit menatap punggung bundanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu ia kembali mengisi perutnya, melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
***
Saat ini Langit tengah berada di kamar miliknya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya. Ternyata setelah mengisi perut siang tadi, ia malah ketiduran dan tidak mengganti pakaiannya dan saat Langit bangun ternyata hari sudah malam.
Tidurnya begitu pulas, bahkan ini kali pertama setelah beberapa hari ia sudah tak mengistirahatkan tubuhnya seperti ini. Langit merebahkan tubuhnya, lalu fokus menatap langit-langit kamar sembari memikirkan Sasya.
Brak!
Suara pintu yang dibuka paksa mengalihkan atensi Langit. Laki-laki itu bangkit dari posisinya dan menatap sang ayah yang sepertinya baru saja pulang.
Langit bingung, melihat bundanya yang hanya berdiri di depan pintu kamarnya dengan tatapan sedih. Sedangkan Aslan-Ayah Langit terlihat begitu marah dari tatapan matanya. Belum lagi, sebuah ponsel yang digenggamnya dengan erat. Membuat Langit bertanya-bertanya dengan situasi apa yang sekarang ia hadapi.
"Ayah, kena---" ucapan Langit terpotong karena Aslan melayangkan tamparan pada putra semata wayangnya itu. Tangan yang sebelumnya tidak pernah menampar Langit dan selalu digunakan untuk menggusap rambut anaknya, kini malah berbuat hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Langit.
Langit masih dalam posisi berdirinya dengan sebelah tangan yang memegang pipi bekas tamparan sang ayah tadi.
"Selama ini, ayah sama bunda selalu nurutin keinginan kamu. Kami selalu ngebela kamu, Lang. Tapi kenapa kamu malah berbuat gini? Ayah gak pernah ngajarin kamu, buat jadi laki-laki brengsek!" teriak Aslan murka dengan tangan menyodorkan ponsel ke depan wajah Langit, ponsel itu menayangkan sebuah video yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak sekolah seperti dirinya.
Langit tak bisa mengelak lagi, keinginannya ingin jujur dan mengakui semuanya, tetapi sekarang kedua orang tuanya malah sudah tahu duluan.
"Maaf, y---"
"Bunda kecewa sama kamu, Lang!" teriak Lidya penuh nada kekecewaan. Ia tak bisa membendung tangisannya, mengetahui bahwa anak yang selama ini ia jaga dan sayangi dengan sepenuh hati bisa-bisanya berbuat hal bejat.
"Langit, bakalan tanggung jawab kok. Yah, Bun," ujar Langit seraya menatap kedua orang tuanya yang kini sudah terlihat sedikit berbeda. Apalagi tatapan hangat itu tak lagi Langit lihat. Kedua orang tuanya sangat kecewa padanya.
"Memang seharusnya kamu tanggung jawab, tapi kali ini ayah gak akan bantu banyak, sudah seharusnya kamu dihukum."
Lidya menatap bingung ke arah suaminya, begitupula dengan Langit.
"Maksud ayah?" Langit menatap ayahnya penuh tanda tanya. Namun, yang ditatap tak kunjung juga memberikan penjelasan.
"Kamu ...."
***
Di rumah sakit, tepatnya di ruang inap Sasya. Perempuan itu sudah sadar beberapa saat tadi, tatapannya sekarang terlihat kosong dengan sebelah tangan yang terus menggusap bagian perutnya.
Apa yang Sasya lakukan, selalu di awasi oleh Alvin dan Saski. Sedangkan Awan dan Biru sudah pulang sebelum Sasya sadar.
"Sya, jangan dipukul!" Saski panik saat melihat adiknya memukul perutnya sendiri scara terus-menerus. Tanpa disuruh Alvin bergegas memanggil dokter.
"Udah, ya. Tenang, ada abang di sini sama kamu." Saski memeluk tubuh Sasya, menahan kedua tangan adiknya yang lagi-lagi ingin memukul perutnya sendiri.
Sasya sudah tahu bahwa ia tengah hamil, karena keinginan Sasya sendirilah yang terus memaksa sang abang untuk mengatakan apa yang terjadi pada tubuhnya. Namun, bukan jawaban seperti itu yang Sasya harapkan.
Hidupnya lagi-lagi hancur, ia akan menjadi ibu diumurnya yang sangat muda dan seharusnya masih memakai seragam putih abu-abu.
"Dia gak boleh ada, bang! Dia kesalahan, dia ...."
Mati-matian Saski menahan air matanya, ia harus kuat dan tidak boleh menangis di saat adiknya membutuhkan dirinya seperti ini. Sebisa mungkin Saski terus menenangkan Sasya yang masih saja berontak.
"Sasya mau gugurin kandungan ini, bang. Dia gak pantas hidup!" teriak Sasya begitu kencang bersamaan dengan pelukan Saski yang terlepas juga.
Sasya semakin berontak dan memukul perutnya dengan kuat, untung saja dokter segera datang dan menyuntikkan sesuatu pada Sasya, hanya itu cara satu-satunya yang bisa mereka lakukan.
"Bang, Sasya gak mau anak ini ada ...," ucap Sasya dengan suara pelan karena efek obat yang disuntikkan oleh dokter tadi. Meski pun tangannya mulai melemah saat memukul perutnya, tetap saja Saski menahannya.
Mata itu, lagi-lagi terpejam sempurna. Padahal baru beberapa saat Sasya sadar dan sekarang ia harus terlelap lagi.
"Jangan sampai dia stress, itu sangat membahayakan kandungnnya." Saski hanya bisa mengangguk lemah mendengar nasehat dari dokter itu. Tak ada lagi perkataan yang bisa ia ucapkan walau hanya untuk membalas ucapan itu. Raganya seolah tak berada ditubuhnya. Saski begitu sakit melihat kondisi adiknya seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...