Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
Sudah lebih dari tiga hari yang dilakukan perempuan itu hanya berdiam diri dengan tatapan yang terlihat kosong. Kantung matanya terlihat begitu hitam, pertanda bahwa ia tidak pernah lagi tidur dengan nyenyak. Wajahnya masih saja terlihat pucat.
Biru yang baru saja pulang sekolah, menghampiri Sasya. Mengajak perempuan itu berbicara. Namun, yang ia dapat hanya keterdiaman Sasya. Sedangkan Awan setelah pulang sekolah ia harus bekerja, makanya setiap pulang sekolah. Biru selalu bergegas pulang dan menemani Sasya.
"Kak," panggil Biru seraya ingin menyentuh tangan Sasya. Namun, reaksi dari Sasya membuat Biru kaget dan menegang. Terlihat jelas diwajah itu ketakutan yang amat luar biasa, apa Sasya begitu takut pada laki-laki sehingga saat ia ingin menyentuh saja reaksinya sangat berlebihan? Bahkan Sasya menjauh dari Biru, ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, lalu tak lama suara isak tangis terdengar.
Ini bukan pertama kali, tetapi Biru masih terus ingin mencoba seperti hari-hari sebelumnya. Ia sedih melihat Sasya yang dulunya ceria berubah seketika.
"Biru mau masak dulu, kakak jangan ngelakuin hal aneh lagi ya," peringatnya yang tentu saja di dengar oleh Sasya. Namun, perempuan itu masih betah di dalam selimut bahkan sekarang ia terlihat berbaring menghadap ke arah tembok.
Setelah sadar dari pingsannya, saat itu juga Sasya mulai berubah. Jika diajak bicara, ia lebih banyak diam dan tak jarang mereka diabaikan. Bahkan semua peralatan yang bisa membahayakan perempuan itu seperti pisau dapur dan semacamnya, harus disembunyi kan. Jika tidak maka, Sasya akan nekat melukai dirinya sendiri.
Awan tak sengaja melihat Sasya dengan entengnya menggores lengannya sendiri, membuat laki-laki itu panik bukan main. Saat itu mungkin sudah pukul dini hari setelah sehari Sasya tinggal di sana. Awalnya Awan dan Biru hanya memaklumi keterdiaman Sasya, tetapi setelah melihat bagaimana perempuan itu menyakiti dirinya sendiri, Awan langsung menyadari bahwa Sasya sungguh tertekan dan ia bertekad akan membawa Sasya ke dokter, setelah ia memiliki uang yang cukup. Awan hanya takut, jika psikis Sasya semakin terganggu.
Sasya masih betah dalam posisinya, ia menatap dinding dan seketika semuanya terputar kembali di hadapannya. Kelakuan Langit serta Ayahnya yang seringkali menyiksa dirinya membuat napas Sasya memburu, lalu tak lama kemudian ia kembali menangis. Sasya berusaha menghilangkan bayang-bayang itu dengan cara membenturkan kepalanya ke dinding, berharap semuanya hilang.
Namun, yang ia lakukan hanya sia-sia. Justru semuanya semakin melekat dipikirannya. Bahkan dahi itu mulai terlihat memerah karena terus-terusan Sasya benturkan. Lagi-lagi Sasya menyakiti dirinya sendiri.
***
"Kasih tau gue, Wan. Di mana Sasya!" teriak Langit marah. Laki-laki itu terus saja mengikuti ke mana Awan pergi, Langit begitu frustrasi karena tidak bisa menemukan Sasya beberapa hari ini. Sepertinya hari di mana video itu tersebar, adalah hari terakhir Langit melihat Sasya. Setelahnya perempuan itu menghilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan ia sudah mendatangi rumahnya, tetapi yang ia dapati malah semakin membuatnya cemas. Rumah itu sudah dijual, artinya Sasya tidak ada lagi di sana.
Kenapa Langit begitu yakin, bahwa Awan mengetahui keberadaan Sasya. Karena laki-laki itulah yang sangat dekat dengan Sasya dan juga hatinya mengatakan bahwa Awan mengetahui di mana keberadaan dari Sasya.
Awan tak memedulikan teriakan dari Langit. Ia terlihat menyusun beberapa bungkus mie di supermarket tempatnya bekerja. Untung keadaan sudah sepi, jadi tidak ada yang mendengar teriakan dari Langit selain Awan sendiri.
Langit tetaplah laki-laki kasar yang tidak pernah berubah, dengan seenaknya ia menghancurkan susunan Awan tadi, lalu menatap tajam ke arah Awan yang justru terlihat biasa saja dan kembali menyusunnya lagi.
"Lo mau nguji kesabaran gue?" ujarnya penuh penekanan. Tangannya terulur menarik kerah baju Awan. Menyuruh laki-laki itu menatap ke arahnya.
"Jangan buat keributan di sini," balas Awan santai dan melepaskan tangan Langit dari kerahnya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya dan itu berhasil membuat Langit geram bukan main.
"Lo---"
"Kamu, dari tadi saya lihat gangguin karyawan saya!" Sebuah suara berat berhasil membuat Langit terdiam dan tak melanjutkan perkataannya. Ia langsung bergegas pergi dari sana, sebelum benar-benar keluar sekali lagi Langit menatap ke arah Awan yang terlihat biasa saja. Tak ada lagi ketakutan di wajah laki-laki yang biasa ia bully itu.
Langit benar-benar pergi dari sana, membuat Awan bernapas lega. Ketahuilah bahwa Awan sejujurnya masih takut terhadap Langit, tapi sebisa mungkin ia menghilangkan rasa takut itu. Awan bertekad setelah apa yang Langit lakukan pada Sasya, ia akan berubah menjadi laki-laki kuat yang tidak mudah ditindas lagi. Ini awal yang baru bagi Awan, melindungi orang yang ia sayang selain adiknya merupakan list tambahan dalam hidupnya.
"Makasih, pak," ucap Awan seraya menunduk hormat. Bapak itu hanya tersenyum.
"Lanjutkan kembali pekerjaan kamu," ujarnya seraya menepuk bahu Awan yang hanya mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya sampai selesai.
Langit melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Laki-laki itu tak bisa menghilangkan bayang-bayang wajah Sasya, padahal baru beberapa hari, tetapi rasanya ia begitu merindukan Sasya. Langit tak menampik bahwa rasa cintanya justru semakin kuat, entah ini benar-benar rasa cinta yang tulus atau masih sekedar obsesi semata. Yang jelas, saat ini Langit sangat ingin melihat keadaan perempuan itu, apa ia baik-baik saja setelah semua yang terjadi, Langit ingin mengetahuinya.
Di mana pun lo saat ini, gue harap lo baik-baik aja, Sya. Batinnya. Tak terasa air matanya kembali mengalir, semua yang ia lakukan memang tak pantas dimaafkan, Langit kembali mengingat hal yang dulu ia lakukan pada Sasya.
Jalanan yang lengang memudahkan Langit melajukan motornya seenak saja. Ia hanya melajukan motor itu tanpa tahu arah tujuan. Berusaha mencari Sasya juga percuma. Apalagi Awan yang sama sekali tidak mau membuka mulutnya tentang Sasya.
Ke mana lagi ia harus mencari keberadaan perempuan itu?
***
"Rumahnya udah dijual, beberapa hari yang lalu. Anggota keluarga nya gak tau ke mana, tapi yang jelas setau saya sebelum Pak Andra jual rumah ini, dia cuma tinggal berdua sama putrinya. Kalo istrinya udah nikah lagi, setelah cerai sama Pak Andra. Itu doang yang saya tau," jelas bapak-bapak itu pada Alvin yang kini hanya bisa mengangguk saja.
"Terima kasih, Pak atas informasinya," ucap Alvin tulus dan dibalas senyuman oleh bapak-bapak itu.
"Iya, sama-sama. Saya duluan ya, mari," pamitnya dan meninggalkan Alvin yang masih terpaku di depan rumah mewah itu.
Bodohnya dia karena tidak mencari tahu banyak hal lagi dari kehidupan Sasya dan resikonya, ia tidak tau informasi apa-apa. Jika saja dari awal ia sudah mencari tahu semuanya, sebelum begegas pergi seperti ini. Mungkin semuanya tidak akan terasa sia-sia. Bagaimana nanti reaksi Saski jika mengetahui bahwa ia telah gagal menjaga Sasya? Alvin hanya bisa menghela napas, lalu pergi dari sana.
Baru saja mobil itu melaju meninggalkan rumah, sebuah motor terlihat berhenti di sana.
Alvin yang melihat siapa orang itu, hanya tersenyum remeh. "Rasain lo!" ucapnya seraya melihat ke arah Langit yang kini menatap sendu rumah itu.
"Eh, tapi kan gue juga gak tau di mana dia?" gumam Alvin. Tak mau ambil pusing ia kembali fokus pada mobilnya. Alvin pasti bisa menemukan Sasya, ya ia yakin itu.
Lagi-lagi inilah tempat tujuan Langit, tak ada yang dilakukannya di sana selain melihat rumah kosong itu. Berharap ada keajaiban dan Sasya muncul dari dalam sana.
Biasanya ia yang akan memanjat ke arah kamar Sasya, lalu membuat perempuan itu takut setengah mati. Bebas memperlakukannya sesuka hati.
Namun, semua itu sekarang tak lagi bisa ia lakukan.TBC
Ikutin terus ya sampai ceritanya selesai😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...