Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
Kapan ia akan bisa tenang, merasakan bahagia tanpa harus ada kata pura-pura?
Langit bergemuruh, rintik itu terus berjatuhan. Suasana alam yang tidak mendukung. Namun, tetap memaksa Sasya untuk terus bertahan. Ayahnya benar-benar mengusir dirinya, Sasya tidak tahu ke mana tujuannya saat ini. Seluruh tubuhnya terasa begitu sakit, wajah itu sekarang sudah terlihat begitu pucat. Ia kedinginan, tetapi tak tahu harus berteduh di mana.
Kenapa Andra begitu tega mengusir ia. Apa kesalahannya begitu fatal? Ah, Sasya kembali mengingat ucapan ayahnya tadi. Bahwa ia bukanlah anak kandung dari Andra. Jadi, wajar saja jika ia diusir seperti sekarang.
Tas yang terus ia peluk, menjadi pelampiasan rasa sakit yang Sasya rasakan. Langkah tertatih itu akhirnya berhenti setelah berkeliling tanpa tujuan. Sasya menatap rumah pohon yang menjadi tujuannya. Hujan yang begitu deras tak menghalangi Sasya untuk naik ke sana.
Beberapa kali ia terjatuh, karena licin belum lagi suasana malam serta hujan yang membuat pandangannya buram. Tak peduli dengan kakinya yang terkilir, Sasya tetap memaksa agar bisa naik ke atas sana.
Lagi-lagi ia terjatuh, Sasya terduduk di sana. Ia terdiam dan menangis dalam diam. "Sakit ...." Suara tangis itu kembali terdengar. Namun, hujan berhasil meredam suara tangisnya. Sasya memeluk tasnya erat, merasakan dingin yang terus menusuk tulang.
"K-kenapa rasanya sakit, aku ingin menyerah ...." Sasya begitu merasa putus asa. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dalam hidupnya. Sahabat-sahabatnya yang selama ini ia harapkan nyatanya juga ikut meninggalkan dirinya dalam lubang kegelapan. Ayah yang selama ini begitu ia banggakan, mengusir dirinya tanpa ingin mengetahui betapa hancurnya ia. Semuanya sama saja, tidak ada yang benar-benar peduli dan menyayangi dirinya. Sasya seolah mati, meskipun jiwanya masih hidup.
Ia juga manusia yang bisa merasakan sakit dan sekarang rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Membuat ia ingin menyerah dan mengakhiri semuanya. Tidakkah cukup penderitaan yang ia terima selama ini, tetapi kenapa luka itu terus datang menghampirinya. Kapan ia akan bisa tenang, merasakan bahagia tanpa harus ada kata pura-pura?
Ia sudah begitu lelah menjalani hari-hari buruknya, tanpa ada lagi bahagia. Memaksa dirinya agar bisa tersenyum padahal ia begitu terluka, dulu mungkin Sasya masih bisa seperti itu. Memasang topeng ceria sedemikian rupa, tetapi pada akhirnya ia tidak bisa lagi. Rasa sakit itu menang, dan Sasya terjebak di dalamnya.
Pandangannya kosong, menerawang jauh dan membayangkan hal-hal menyenangkan yang tidak mungkin lagi terjadi.
"Sasya!" Bahkan teriakan itu sama sekali tak membuat sang pemilik nama menoleh. Sampai sebuah pelukan berhasil membuat tubuhnya menegang, ia ketakutan dan dengan cepat memukul tubuh orang itu. Tangannya yang lemah sama sekali tak membuahkan hasil, orang itu tetap memeluk tubuhnya erat. Bahkan payung yang awalnya dibawa sekarang entah hilang ke mana.
Awan, laki-laki culun yang entah kenapa selalu bisa menenangkan Sasya. Awalnya Sasya masih berontak, tetapi setelah Awan mengatakan bahwa ini adalah dirinya. Perlahan Sasya membalas pelukan itu dan menangis sejadi-jadinya. Tak memedulikan tubuh keduanya yang basah, mereka tetap pada posisi itu cukup lama.
"Nangis aja Sya, jangan ditahan lagi ya. Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja, nangis sepuasnya."
Sasya memeluk Awan begitu erat, bahkan ia meremas pakaian laki-laki itu kuat. Menyalurkan rasa sakit yang ia rasa, dan Awan hanya terdiam. Mendengar suara tangis yang begitu menyakitkan, entah apa yang dilalui Sasya hari ini.
Namun, Awan bisa menebak bahwa hari ini bukanlah hari yang baik bagi perempuan itu. Rasa khawatir yang ia miliki ternyata membuahkan hasil. Setelah selesai menikmati makan malamnya bersama sang adik-Biru. Awan langsung bergegas ke rumah Sasya. Mencari perempuan itu dan terus menunggu di depan gerbang, bahkan sampai hujan turun. Penantiannya tidak membuahkan hasil, bahkan ia bisa melihat kamar Sasya gelap. Seperti tidak ada lagi kehidupan di dalamnya.
Entah timbul dari mana rasa itu, yang jelas Awan ingin pergi ke rumah pohon dan nyatanya, ia menemukan orang yang dicarinya tengah terduduk dengan keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja.
"Sakit ... a-aku bukan anak ayah. A-aku diusir, Wan ..." jelas Sasya dengan sesegukan. Awan mengusap punggung itu berkali-kali, berharap rasa sakit itu sedikit berkurang.
Tak ada lagi suara setelahnya, hujan masih begitu deras dan tubuh yang sedari tadi memeluk erat Awan perlahan mengendur. Tangannya tergeletak begitu saja, dengan tubuh yang masih berada dipelukan Awan.
Menyadari Sasya tak lagi menangis, Awan menoleh. Lalu pemandangan wajah pucat dengan darah yang terus mengalir dari hidung mancung itu menjadi hal yang pertama kali Awan lihat. Ia gugup dan tiba-tiba merasa takut, Awan berusaha menyadarkan Sasya dengan cara menepuk-nepuk pipi itu.
"Sasya, Sya! Bangun," ucapnya dengan panik. Tak kunjung mendapat respon dari Sasya, Awan menyandang tas itu, lalu mengangkat tubuh Sasya yang terasa ringan. Berjalan dibawah hujan dengan hati yang lagi-lagi merasa tak tenang.
"Jangan nyerah, Sya. Aku janji akan selalu ada buat kamu."
Tanpa Awan sadari air matanya tiba-tiba menetes, seolah bisa merasakan kesakitan perempuan ini. Di tengah hujan yang tak henti, Awan terlihat begitu kuat menopang Sasya. Mencoba membantu perempuan itu agar tetap ingin hidup, tanpa adanya kata menyerah.
Jika benar janji itu akan terus Awan tanam dalam dirinya, mungkin Sasya akan merasa lebih baik dan percaya bahwa ada seseorang yang begitu menginginkan hidupnya.
***
"Gue gak tau anjir! Lo kenapa sih dari tadi marah-marah mulu!" Alvin tampak mengusar rambutnya kasar. Menerima telepon dari Saski yang langsung mengomelinya tiada henti.
"Lo ke mana aja sih! Gue suruh lo awasin dia ya, kenapa sampai kecolongan. Mau gue pecat jadi sahabat, lo? Dah bosan hidup apa!"
Alvin mencibir sahabatnya itu, menirukan gaya bicara Saski yang untung saja tidak ada di depannya. Lagi pula, Alvin juga masih memiliki kepentingan lain yang mendesak, apa Saski tidak bisa memakluminya.
"Kenapa lo ngejek gue! Bener-bener udah bosan hidup lo ya!"
Mendengar ucapan Saski barusan, Alvin langsung berhenti mengejeknya. Ia menatap kamarnya horor, jangan-jangan sahabatnya yang satu itu memasang CCTV.
"Woi setan! Kenapa lo malah diam, gue nanya kenapa lo gak bisa ngawasin dia sih!" Terdengar nada kesal dari suara Saski di seberang sana. Alvin menghela napas, lalu bangkit dari posisi berbaringnya.
"Gue gak enak badan, lagian tadi gue sibuk sama kehidupan gue. Gak se--"
"Heh! Lo bilang bakal ngawasin dia buat gue, tapi kenapa sampai gue denger dia--"
Alvin mematikan sambungan itu sepihak, lalu menatap ke luar jendela kamar. Melihat rintik hujan yang sedari tadi tak juga berhenti, tiba-tiba perasaan khawatir juga menyelimuti dirinya. Alvin bergegas mengambil jaket dan keluar dari kamar.
Bahkan ia tidak peduli dengan teleponnya yang lagi-lagi berbunyi karena Saski terus menghubunginya.
Di seberang sana, Saski terus mengumpati sahabatnya itu. Bisa-bisanya ia mematikan sambungan sepihak, bahkan ia belum selesai berbicara. Lihat saja, jika nanti urusan pekerjaannya telah selesai, ia akan pulang dan memarahi Alvin habis-habisan.
Suasana hatinya tidak tenang, untuk memejamkan mata saja ia sulit. Seperti ada rasa sakit yang terus memaksa ia tetap sadar, berkali-kali ia kembali menghubungi Alvin. Namun, sama sekali tak dijawab oleh sahabatnya itu.
Semoga kamu baik-baik aja, batinnya seraya mengusap layar ponsel yang menampilkan wajah Sasya.
TBC
"Meski pun keadaan tidak baik-baik saja, aku tetap harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Semoga kelak jika suatu saat aku kembali membaca ini, aku bisa mengingat. Bahwa hari di mana aku bersedih, pernah aku tuangkan dalam untaian kata ini. Semanga-t!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...