Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
"Saya gak mau lagi dengar kamu dapat nilai rendah, kayak tadi. Tau 'kan apa yang bakalan saya lakuin kalo itu sampai terjadi!" ucap Andra.
Dengan cepat Sasya mengangguk. "I-iya," jawabnya.
Andra melepaskan tangannya, lalu beranjak dari kamar Sasya. Menutup pintu itu kencang sampai membuat Sasya tersentak kaget.
Perlahan ia bangkit, berjalan menuju kamar mandi dengan langkah tertatih. Bekas pukulan Andra selalu saja membuatnya tak berdaya.
Setelah berkali-kali terjatuh, karena tak kuat menahan sakit di kakinya, akhirnya Sasya sampai juga di dalam kamar mandi. Berusaha berdiri tegak menatap dirinya sendiri di kaca, terlihat darah yang mulai mengering di bagian bawah hidung dan sudut bibirnya.
Tersenyum tipis, bersamaan dengan air matanya yang lagi-lagi turun. Menangisi takdir yang begitu kejam, entah apa salahnya sampai ia seperti sekarang. Hari-harinya kian tak berarti lagi. Hanya pukulan dan tangisan yang terus dirasakan.
Sekarang ... ia tidak baik-baik saja. Namun, sama sekali tak ada yang bisa mengertinya. Bahkan sekedar penyemangat, rasanya begitu mustahil bagi Sasya.
Suara helaan napas yang keluar dari bibirnya, juga terasa sangat menyayat hati. Berusaha baik-baik saja di tengah keadaan yang sangat jauh dari kata 'baik' memang begitu sulit. Dan Sasya sudah sering merasakan itu semua.
Ia berjalan membuka pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu bersiap membersihkan diri. Ringisan itu terus keluar, perih yang tak hanya sekali ini saja ia rasakan kembali membuat buliran bening itu jatuh.
Semoga besok lebih baik, batinnya sambil tersenyum paksa, menatap lebam-lebam di tubuhnya.
***
"Abang, kok cepat baliknya? Aku belum selesai masak," ujar Langit, menatap abangnya yang baru saja pulang bekerja.
Awan membantu Langit memasak, sudah lama keduanya tidak menghabiskan waktu seperti sekarang.
"Di suruh pulang cepat, ya udah abang balik aja," jawab Awan dan langsung diangguki oleh Langit.
"Abang kenapa gak ajak Kak Sasya ke sini lagi?" tanya Langit penasaran, pasalnya sudah hampir seminggu perempuan yang dekat dengan abangnya itu tidak ke rumah mereka. Padahal biasanya setiap pulang sekolah jika tidak berkumpul dengan para sahabatnya, Sasya akan ikut mereka. Menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di kost-an ini.
Awan terdiam, ia juga tidak tahu kenapa Sasya sekarang terasa berubah. Lebih banyak diam dan selalu bersama dengan Langit. Bukan apa-apa, Awan sangat tahu bahwa Sasya tidak menyukai Langit. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, Awan hanya berharap semoga Sasya baik-baik saja.
Dan ... nyatanya Sasya tidak baik-baik saja.
Setelah selesai dengan acara memasak mereka, Awan dan Langit langsung bersiap menikmati makanan itu.
Keduanya tampak menikmati tanpa banyak berbicara, akhirnya mereka selesai mengisi perut.
"Bang, Langit masih suka gangguin abang?" tanya Biru mengucapkan nama Langit tanpa embel-embel kak.
"Udah ah, jangan bahas itu. Sekarang kamu belajar ya," perintah Awan yang langsung dituruti oleh Biru.
Awan, tak ingin Biru mengetahui lebih banyak lagi perbuatan Langit selama ini. Hampir setiap hari, ia masih sering membersihkan gudang menghindari amukan dari Langit. Semuanya masih sama, ia masih laki-laki cupu yang selalu ditindas oleh Langit. Hanya saja, Langit tak lagi sering memukulnya.
Awan bergegas membersihkan piring bekas mereka makan, menatap punggung Biru yang terlihat fokus dengan buku di depannya, bahkan sesekali ia melihat Biru tampak bingung.
Pagi hari.
Seperti biasa, Awan dan Biru selalu pergi bersama. Keduanya lagi-lagi menaiki angkot. Baru saja duduk, seorang perempuan cantik ikut masuk ke sana. Dia adalah Sasya.
"Hai, kak!" sapa Biru dengan cerianya yang langsung dibalas senyuman oleh Sasya.
"Hai," jawabnya pelan dan fokus menatap Awan.
"Awan kenapa?" tanya Sasya.
Awan menggeleng, ia menatap intens perempuan di depannya ini. "Kamu yang kenapa?"
Sasya terdiam, Awan selalu saja tahu saat ia tidak baik-baik saja bahkan hanya lewat tatapan. "Gak---"
"Langit gak marah, kalo kamu pergi naik angkot gini?" tanya Awan berhasil mengingatkan Sasya, bahwa Langit akan menjemputnya pagi ini.
Namun, lihatlah sekarang ia malah berada di angkot. Sasya berusaha tenang dan berpikir semoga Langit tidak akan marah padanya. Ya semoga saja.
Semuanya kembali terdiam, saat angkot sudah berhenti di depan SMA Jaya. Sasya bertambah gugup, ia rasanya tak ingin sekolah hari ini saja. Takut jika Langit melihatnya bersama Awan yang pasti akan membuat laki-laki itu marah.
"Ayo, Sya." Awan mengajak Sasya keluar dari angkot.
Menghela napas, Sasya akhirnya menerima uluran tangan Awan seraya tersenyum manis. Ya, bagaimana pun juga ia harus sekolah jika tidak Ayahnya pasti akan marah lagi. Ia tidak mau lagi menerima pukulan dari ayahnya. Bahkan tubuhnya yang lelah dan sangat membutuhkan istirahat ia paksakan.
Tak peduli dengan Langit, itulah yang sekarang Sasya coba lakukan. Tak apa 'kan satu hari saja, ia menghilangkan pikiran tentang Langit.
"Bang, aku kelas duluan ya. Dadah!" ujar Biru melambaikan tangannya pada Awan karena Alaska mengajaknya.
"Daah, Bang Awan ganteng!" celetuk Alaska. Berhasil mendapat jitakan dari Biru.
"Sya, kenapa ngelamun?" tanya Awan sambil sesekali menaikkan kacamatanya. Menatap Sasya yang tampak memikirkan sesuatu.
"Enggak, kok." Sasya menggeleng dan tersenyum pada Awan.
Keduanya kembali terdiam, berjalan melewati koridor yang sudah tampak ramai.
"Awan ... kamu langsung ke kelas aja ya," ucap Sasya dengan nada memohon saat matanya menangkap keberadaan Langit tak jauh dari mereka berjalan saat ini. Kenyataannya Sasya tak bisa mengalihkan pikirannya tentang Langit, ia kembali merasa takut dan seolah akan ada bahaya sebentar lagi yang akan menimpanya.
Awan tampak bingung. "Kenapa? Aku cuma mau ngantar kamu ke kelas, kan Langit gak ada juga."
Tidak tahu kah, Awan bahwa saat ini Langit terus menatap ke arah mereka dengan mata berkilat marah. Ah, mungkin Awan tak menyadari keberadaan Langit.
"E-enggak usah, aku bisa sendiri kok. Kamu ke kelas aja sekarang." Awan akhirnya menuruti perintah Sasya karena tubuhnya yang terus di dorong menjauh. Sesekali ia menatap ke arah Sasya, memastikan perempuan itu baik-baik saja.
Baru saja ingin melangkah ke kelas, benar saja Langit langsung menghampiri Sasya dan mencengkram tangannya begitu kuat. Selalu saja seperti ini dan Sasya hanya bisa terdiam.
"Hujan! Jalan lo cepat banget sih," teriak Bunga. Sasya menghela napas lega melihat kedua sahabatnya datang di waktu yang tepat. Langit juga langsung melepaskan cengkramannya dan berlalu dari sana. Namun, sebelum itu ia sempat membisikkan sesuatu pada Sasya.
"Liat yang bakal gue lakuin nanti," bisik Langit penuh penekanan. Berhasil membuat tubuh Sasya menegang, memikirkan apa yang akan dilakukan Langit nantinya.
Dini yang melihat posisi Sasya dan Langit seintim itu hanya bisa terdiam. Berusaha menguatkan hatinya yang lagi-lagi harus merasa sakit saat melihat sahabatnya sendiri berdekatan dengan orang yang selama ini ia cintai.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...
![Sasya's Diary [SELESAI]](https://img.wattpad.com/cover/245475491-64-k514732.jpg)