45. Dari

1.5K 155 6
                                    

Kalo ada typo tandain aja ya:)

Jangan lupa vote dan komen.

Happy Reading!

"Abang, kenapa? Galau ya?" celetuk Biru saat Awan baru saja pulang kerja. Terlihat sekali abangnya itu kelelahan. Namun, jika biasanya Awan akan pulang dengan senyuman. Sekarang tampak berbeda dan Biru menyadarinya.

"Kamu udah makan?" tanya Awan mengalihkan pembicaraan.

"Biru gak masak, hehe. Kita makan di luar aja yuk, tadi Bang Alvin ada ngasih Biru uang." Biru mengeluarkan beberapa lembar uang pemberian Alvin yang berkunjung ke sini tadi.

"Abang masih bisa ngasih kamu uang, Biru."

"Gak boleh ditolak, kata Bang Alvin." Awan hanya bisa menghela napasnya mendengar jawaban dari Biru.

"Ya udah, kita makan di luar. Abang mandi dulu," ujar Awan.

Biru menunggu Awan beberapa menit, setelah siap akhirnya mereka berdua pergi menuju sebuah rumah makan hanya dengan berjalan kaki saja. Karena rumah makan yang mereka datangi, tempatnya tidak begitu jauh dari kos.

Berjalan beberapa saat seraya bercanda ria, membuat mereka tanpa sadar sudah sampai di tempat tujuan. Biru langsung masuk, diikuti Awan di belakang.

Seketika tatapan laki-laki berkacamata itu terfokus pada pemandangan di depannya. Lagi-lagi dadanya merasa sesak secara tiba-tiba, ruangan itu seolah hanya berisi dia dan dua orang di depan sana. Sungguh menyesakkan, tapi Awan berusaha tersenyum.

Ini memang yang terbaik untuk mereka, sudah seharusnya Sasya merasa bahagia. Tak apa ia terluka sedang Sasya kini bisa tertawa. Awan yakin, rasa ini cepat atau lambat akan hilang dengan sendirinya, ya semoga saja.

"Bang, sini!" Biru menyadarkan lamunan Awan yang langsung bergegas menuju tempat adiknya.

"Abang mau makan apa?" tanya Biru menatap Awan yang sesekali melirik ke arah meja Sasya dan Langit.

"Samain kayak kamu aja," jawabnya.

Biru mengangguk dan segera memesan makanan mereka, karena meskipun ada pelayan. Biru lebih nyaman bila langsung memesan. Lagipula ini sudah biasa, terlebih pelayan itu tampak sibuk.

Langit dan Sasya terlihat begitu sangat bahagia, bahkan Awan sampai ikut tersenyum mendengar bagaimana tawa Sasya yang begitu lucu. Dulu, ia sering mendengar tangis perempuan itu, lalu mendengkapnya dalam sebuah pelukan hangat. Kini, semua tak lagi sama. Sasya sudah menemukan orang yang benar-benar membuatnya bahagia, Awan bisa melihat itu. Tatapan penuh cinta yang sama sekali tidak pernah tertuju padanya.

Rasa ini sudah salah dari awal, sebab yang membuat luka akan berganti menjadi penyembuh luka itu sendiri. Cerita mereka berbeda, jika kehadiran sosok baru itu sebagai penyembuh. Maka beda lagi dengan Sasya, sosok lama akan tetap menang karena dialah yang terus akan mengobati luka tak kasat mata itu.

Ia masih dalam tahap merelakan, belum sepenuhnya melupakan. Awan tak mau terus melihat keromantisan mereka berdua, cukup mendengar tawa itu saja ia sudah bahagia.

Biru datang dengan sebuah nampan di tangannya. Membuat Awan mengernyitkan dahi bingung.

"Bang, gimana kalo aku kerja di sini. Udah cocok 'kan jadi pelayan?" tanya Biru tiba-tiba setelah duduk di depan Awan.

"Enggak," jawab Awan seraya menggelengkan kepalanya pertanda tidak setuju dengan usulan sang adik barusan. Cukup ia saja yang bekerja dan Biru hanya perlu belajar dengan baik. Jika mereka berdua sama-sama bekerja, Awan bisa memastikan sekolah Biru pasti akan terganggu.

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang