Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
Sekarang sudah jam sembilan malam dan perempuan itu terlihat masih terlelap dalam posisi awalnya, yaitu memeluk bantal yang tampak basah karena air mata. Matanya juga terlihat bengkak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.
Wajahnya terlihat damai saat tertidur, bahkan Sasya sesekali tersenyum. Sepertinya perempuan itu tengah bermimpi indah. Padahal di dunia nyata, masalah seolah tak mengizinkan ia tersenyum walau hanya sedetik saja.
Setelah memutuskan untuk pulang tadi, Sasya kembali menangis sejadi-jadinya. Menyebabkan perempuan itu tertidur. Bahkan sampai malam seperti ini. Kamarnya yang memang sedari awal tanpa pencahayaan itu, bertambah gelap dengan suasana malam.
Di sisi lain, Andra terlihat terburu-buru keluar dari club malam. Ia baru saja menghibur dirinya, setelah apa yang ia dapat di kantor sukses membuat laki-laki paruh baya itu frustrasi bukan main. Jadi, untuk menghilangkan rasa itu, Andra pergi ke tempat ini.
Andra sudah mabuk, tetapi tetap berusaha fokus menyetir mobilnya. Jalanan yang terlihat lumayan sepi, membuat ia bebas melajukan mobilnya. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan, semuanya hancur begitu saja.
Andra sudah kehilangan kekuasaannya, ia bangkrut dan tak tahu harus apa setelah ini. Belum lagi, anak satu-satunya yang ia harapkan malah berbuat hal tak senonoh. Andra mengepalkan tangannya, lalu mengambil sebotol wine yang memang ada di sana. Menegaknya cepat-cepat, lalu terkekeh.
Andra seperti orang yang tak waras sekarang, bahkan ia tidak peduli dengan nyawanya saat mengemudi secepat ini. Pikirannya kalut, baru saja ingin mengubah sikapnya. Namun, anak itu malah membuat ia kembali marah. Ya, setelah mendapat kabar bahwa perusahaannya bangkrut, tidak lama kemudian sebuah video dan foto masuk ke dalam ponselnya.
Awalnya Andra ingin segera pulang, tetapi ia masih ingin menghibur dirinya dan menunggu waktu yang pas menghukum Sasya. Mobil itu semakin melaju dan menyelip beberapa kendaraan yang bagi Andra menghalangi jalannya.
Matanya tampak memerah dan berkaca-kaca. Secara tiba-tiba air mata itu mengalir di pipinya. Membuat Andra segera menghapusnya.
Setelah beberapa menit mengemudi, akhirnya ia sampai juga di rumah. Mobil itu Andra parkirkan dihalaman rumah. Ia tak langsung keluar dari sana, melainkan kembali menegak minuman itu. Ia meminumnya sekaligus, lalu keluar dari sana.
Langkahnya tampak tak beraturan, itu berarti Andra sudah sangat mabuk. Bahkan mulutnya sesekali mengucapkan hal kotor. Saat pertama kali membuka pintu rumahnya, tidak ada yang menyambut dirinya. Ah, Andra ingat di rumah ini hanya tersisa ia dan anaknya yang tidak tahu malu itu. Anak yang seharusnya tidak ia besarkan, jika hanya membuat masalah seperti sekarang.
Andra menaiki tangga, tujuannya saat ini adalah kamar Sasya. Sebelum sampai di sana, Andra terlebih dahulu mengambil sebuah tongkat yang sudah biasa ia gunakan dan akhir-akhir ini sama sekali tidak ia sentuh.
Andra masuk ke kamar Sasya yang tidak terkunci, lagi-lagi pemandangan ruangan yang gelap menjadi awal yang ia lihat, Andra menghidupkan lampu kamar itu. Lalu matanya terfokus pada sang anak yang terlihat begitu terlelap. Ia mendekat, duduk di sisi rancang dan menatap wajah itu intens. Beberapa menit Andra terus memperhatikannya, tangan itu akhirnya terangkat untuk mengusap rambut hitam itu. Mengusapnya lembut beberapa saat sebelum usapan itu berubah menjadi sebuah jambakan.
Andra kembali mengingat video itu, membuat amarahnya muncul seketika. Tak ada lagi usapan lembut, melainkan tarikan kuat yang berhasil membuat Sasya terbangun dan meringis kesakitan.
"A-ayah." Sasya menatap wajah tegas itu takut-takut, lalu berusaha melepaskan tarikan dirambutnya yang semakin kuat.
Andra memaksa Sasya agar bangun, lalu melepas tarikan itu dengan kuat. Sasya terjatuh di samping ranjangnya. Lalu kembali menatap Andra bingung.
"A-ayah kenapa?" tanya Sasya memberanikan diri. Andra tak menjawabnya ia hanya terkekeh.
Melihat Andra yang mengangkat tongkat di tangannya, Sasya langsung menggeleng kuat. "Jangan pukul Sasya, yah," mohonnya sama sekali tak didengar oleh Andra. Telinganya seolah tertutup dan pukulan itu terus melayang ke arah tubuh Sasya.
Kamar yang awalnya hening, kini malah kacau dan hanya terdengar suara rintihan kesakitan dari Sasya.
"Kamu mau jadi pelacur?" Andra menangkup pipi itu kuat. Sasya menggeleng dengan air mata yang tak berhenti terus mengalir. Tubuhnya sakit karena ulah Andra.
"Dasar anak gak berguna!" teriaknya tepat di depan wajah Sasya yang langsung memejamkan mata. Hatinya kembali sakit, mendengar ucapan sang ayah barusan. Belum lagi, pukulan yang terus Andra berikan.
Sasya melindungi kepalanya dengan kedua belah tangan, membiarkan tangannya merasakan tongkat itu.Wajar Andra marah padanya, tapi bukan seperti ini yang seharusnya Andra lakukan. Ia malah membuat Sasya semakin menderita, padahal anaknya itu butuh dukungan bukan pukulan.
"Saya menyesal sudah membesarkan kamu! Bukannya buat saya bangga, tapi kamu malah membuat saya malu. Ini pasti ajaran perempuan itu kan? Berapa kamu dibayar sama laki-laki itu?"
Sakit, Sasya sangat sakit mendengar perkataan ayahnya barusan. Jika bisa menolak, maka Sasya juga tak ingin seperti ini. Tidak tahu kah Andra, bahwa saat itu ia terpaksa dan sama sekali tidak bisa menolak.
"Sasya g-gak gitu, yah," lirihnya seraya menatap wajah Andra sedih.
Tanpa perasaan sama sekali, kaki kekar yang masih mengenakan sepatu itu terangkat mengenai pinggang Sasya. Ia langsung terbaring karena saking kuatnya tendangan dari Andra.
Lagi-lagi ia menangis, merasakan tubuh lemahnya harus menerima sakit lagi. Sasya langsung sigap menahan kaki sang ayah, tetapi karena tubuhnya yang lemah. Dengan sekali hentakan saja, kaki itu beralih tepat di dadanya. Sasya merasakan dadanya sesak bukan main. Mati-matian ia menahan kaki itu, tapi pada akhirnya semua yang ia lakukan hanya percuma.
Sasya terbatuk beberapa kali, saat Andra sudah melepaskan kakinya dari sana. Napas Sasya tampak tak beraturan.
"Y-yah, udah ... s-sakit." Rintihan Sasya seperti alunan musik bagi Andra, laki-laki itu tertawa sinis dan kembali melayangkan pukulan pada tubuh lemah itu.
"Argh! Kamu itu pembawa sial! Saya menyesal telah mengangkat kamu menjadi anak dalam keluarga saya!" Teriak Andra lagi dan berhasil membuat Sasya semakin sesak. Jadi, selama ini ia bukanlah anak dari Relin dan Andra? Atau ini hanya ucapan tidak jelas sang ayah karena mabuk.
Sasya masih berusaha berpikir positif di saat-saat situasi seperti sekarang. Ia tersenyum pada Andra yang sekarang terlihat begitu hancur.
"A-ayah bohong kan?" tanya Sasya dengan suara yang begitu pelan.
"Siapa bilang saya berbohong? Kamu memang bukan anak saya, dan sekarang bawa semua pakaian kamu dari rumah ini! Saya gak mau lagi satu rumah dengan anak seperti kamu!" Ucapan Andra membuat Sasya terdiam membisu, tetapi air matanya lagi-lagi mengalir tanpa henti. Menatap ke arah Andra, berusaha mencari kebohongan, tetapi yang ia dapat malah tidak ada. Sepertinya ucapan itu benar adanya, ia bukanlah anak dari Andra dan Relin. Lalu bagaimana ia akan hidup setelah ini.
Sasya berlutut di depan kaki Andra, memohon agar ayahnya itu tidak mengusir dirinya dari rumah ini.
"Jangan usir Sasya, yah. Sasya mohon, Sasya minta maaf karena udah buat ayah malu, tapi Sasya bisa jelasin semuanya yah ...." Bukannya jawaban yang ia dapat. Melainkan kaki itu dengan entengnya, lagi-lagi menendang tubuhnya. Sasya kembali meringis sakit, ditambah Andra yang menarik rambutnya kuat.
"Pergi dari sini, sebelum saya menghabisi kamu!" ucapnya nyalang.
Namun, Sasya malah tersenyum. "Gak papa yah, Sasya mati. Lagian hidup juga udah gak guna," kekehnya berhasil membuat mata Andra menatapnya tajam.
TBC
Kalo ada typo tandain ya.
Maaf karena semalam tidak update."Aku hanya butuh waktu sendiri dan mencoba tetap waras dengan keadaan."
Wkwk kata2 nya boleh lah😂

KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Подростковая литература[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...