18. Bertemu

1.4K 166 7
                                        

Kalo ada typo tandain ya:)

Jangan lupa vote dan komen😉

-Happy Reading-

Pagi ini Sasya terbangun di kamar miliknya, pusing masih ia rasakan. Dahinya mengernyit bingung, seingatnya ia semalam tidak berada di rumah. Bahkan pakaiannya masih sama seperti malam semalam. Apa ia bermimpi?

Sasya mulai melangkah menuju kamar mandi, bersiap untuk membersihkan diri. Entah kenapa pagi ini terasa sangat berbeda, pikirannya juga mulai tenang. Ia meyakinkan dirinya untuk berangkat ke sekolah hari ini.

Beberapa menit bersiap-siap, akhirnya Sasya sudah mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi, tak lupa sedikit polesan untuk wajahnya yang terlihat pucat. Saat pertama kali membuka pintu kamarnya, sang ayah sudah duluan berdiri di sana.

Awalnya Sasya terkejut bukan main, tapi ia berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya. Menunduk hormat pada Andra yang sedari tadi tak henti menatapnya tajam.

"Akh ... k-kenapa yah," cicit Sasya pelan sambil berusaha menjauhkan tangan sang ayah di rambutnya.

"Kenapa bolos? Kamu udah merasa pintar, iya!" teriaknya tepat di depan wajah Sasya yang semakin memejamkan matanya.

Jambakan itu semakin kuat Sasya rasakan. Terdiam dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Memang tiga hari lalu ia tak masuk, tapi kan sekarang ia ingin ke sekolah. Lagi pula kapan ayahnya ini pulang? Jika Sasya menceritakan semuanya pada Andra. Apa ayahnya itu akan percaya atau bahkan malah lebih marah dari sekarang.

Tidak, Sasya tidak akan menceritakan semuanya pada ayahnya, alasan ia tidak masuk dan kejadian-kejadian mengerikan yang selalu terbayang itu. Ia yakin, bukannya mendapat pelukan hangat menenangkan malah pukulan.

Plak!

Wajahnya tertoleh ke samping, pipi nya terasa panas dan dapat dipastikan itu akan berbekas. Andra menampar wajah Sasya tanpa perasaan, tangannya yang kekar dan besar terangkat dengan santai. Melihat sang anak melamun, dan tidak mendengarkan ucapannya tanpa berpikir lagi ia langsung menampar Sasya.

Jambakan itu terlepas bersamaan dengan tubuh Sasya yang terjatuh ke lantai. Rambut panjang milik Sasya menutup sebagian wajahnya. Sebelah tangan itu masih setia memegang bekas tamparan sang ayah.

Matanya terpejam erat, seolah sudah siap dengan apa yang akan dilakukan ayahnya. Melihat kaki Andra mengarah padanya, Sasya hanya bisa menutup kepalanya dan membiarkan tubuhnya ditendang.

Bukan sekali, melainkan berkali-kali dan Sasya hanya bisa terdiam tetap pada posisi awalnya. Tubuhnya bergetar, pakaian yang semula sudah rapi melekat ditubuhnya kini terlihat begitu kacau.

"Baru ditinggal beberapa hari, kamu malah enak-enakan di rumah! Bukannya sekolah, malah keluyuran!" sarkasnya pada Sasya. Andra melangkah menjauh dari tubuh sang anak.

Sasya kira ayahnya sudah selesai menyiksa tubuhnya. Namun, yang ia lihat sekarang adalah kebalikannya. Andra terlihat mengambil tongkat kayu yang ada di dekat sana. Lalu bersiap mengarahkannya pada tubuh Sasya yang lagi-lagi hanya bisa memejamkan mata.

Beberapa menit Sasya menunggu, tetapi tongkat itu sama sekali tidak melayang ke arah tubuhnya. Sasya menghela napas lega, melihat Andra kini sibuk dengan ponsel di tangannya. Terlihat asik berbicara dengan seseorang dari seberang sana.

"A-ayah, Sasya pergi sekolah dulu," ucap Sasya setelah bangkit dari posisinya tadi. Tangannya terulur ingin menyalami sang ayah.

Namun, Andra hanya menatapnya sekilas dan pergi dari sana. Sasya tersenyum kecut, lalu bergegas keluar dari rumah itu. Meski pun sekarang tubuhnya terasa sakit. Sasya tetap harus sekolah.

Sasya sudah sampai di depan komplek rumahnya. Menatap jalanan sekitar yang terlihat sepi. Tak ada pilihan lain, dengan terpaksa ia berjalan ke sekolahnya.

Sebuah mobil berhenti di samping Sasya, membuat langkah perempuan itu terhenti. Matanya memancarkan binar bahagia, melihat sang ibu ada di dalam mobil itu.

Relin menyuruhnya agar masuk dan langsung dituruti oleh Sasya. Sudah berapa lama ia tidak bertemu ibunya, ah Sasya sangat merindukan ibunya ini.

"Bu, Sasya boleh ti--"

"Saya gak banyak waktu, mungkin hari ini terakhir kita ketemu lagi. Karena setelah ini saya akan ikut suami saya pergi ke luar negeri." Relin memotong ucapan Sasya dan mulai melajukan mobilnya. Tidak peduli dengan perasaan Sasya yang saat ini kembali harus merasakan sakit, meski bukan fisiknya yang sakit melainkan batinnya.

Baru saja ia ingin meminta pertolongan, berharap Relin mau menampung ia di rumah baru ibunya itu. Namun, yang didapat Sasya hanya penolakan dan lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa selamanya ia akan terkurung di rumah besar itu sendirian. Entah sampai kapan ia akan bisa bertahan dengan hidup yang penuh rintangan ini.

Mata yang awalnya menampilkan binar bahagia, tergantikan dengan tatapan kecewa. Ibunya sendiri saja tak sudi lagi menganggap ia sebagai anak, lalu apa Sasya akan terus hidup bersama ayahnya yang kasar? Selalu menjadikan dirinya sebagai pelampiasan, tak peduli dengan luka ditubuhnya yang kian hari makin bertambah.

"Kamu, di rumah baik-baik aja kan?" tanya Relin berusaha mengalihkan pembicaraan. Sasya langsung menoleh, menatap wajah ibunya yang masih terlihat muda.

Di rumah gak baik-baik aja, Bu. Setelah perpisahan itu.

Ingin sekali Sasya mengatakan itu, tetapi ia malah mengangguk. Seolah membenarkan bahwa keadaan rumahnya masih sama seperti dulu. Namun, nyatanya malah sebaliknya. Semua sudah berubah setelah perceraian itu terjadi.

"Pipi kamu kenapa merah?" tanyanya lagi pada Sasya.

"Eh, gak kenapa-kenapa bu. Cuma merah biasa aja," jawab Sasya seraya tersenyum manis.

Relin mengangguk paham dan kembali fokus pada kemudinya. Sedangkan Sasya cepat-cepat menghapus air matanya yang secara tiba-tiba terjatuh.

"Bu, Sasya mau ce--"

"Oh, iya. Kemungkinan saya gak bakal balik lagi ke sini, jadi kamu harus bisa jaga diri baik-baik. Jangan salah pergaulan dan tetap fokus sama sekolah kamu."

Sakit rasanya mendengar ucapan Relin barusan. Apa ibunya sungguh tidak ingin bertemu lagi dengannya? Kenapa tidak mengajak ia saja ke sana, kenapa ia harus ditinggal?

"Kamu dengar 'kan?" tanya Relin seraya menoleh sebentar pada Sasya.

"I-iya, bu."

Sasya meremas rok yang dipakai nya kuat, kembali mengingat ucapan Relin tadi. Menyuruhnya agar tidak salah pergaulan, tapi bahkan saat ia tidak salah pergaulan sekali pun. Apa yang harusnya ia jaga kini sudah hilang selamanya.

Entah bagaimana sikap Relin jika mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Apa ibu nya akan marah besar dan semakin tak mau menganggap dirinya sebagai anak? Pikiran Sasya berkelana entah ke mana, memikirkan setiap kemungkinan-kemungkinan buruk jika ibu dan ayahnya mengetahui hal itu.

Apa ia akan ditelantarkan dan dibuang? Apa ia akan dipukul habis-habisan oleh ayahnya? Lalu apa mereka akan tetap menganggap ia sebagai anak, meski pun keduanya sudah bercerai?

TBC

Pendek:( tapi ini juga butuh perjuangan. Hiyaa asik, makanya jangan lupa vote dan komen ya. Share juga ceritanya ke teman-teman kalian, biar tambah semangat😂

See you♡

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang