24. Tersebar

1.6K 166 11
                                    

Kalo ada typo tandain ya:)

Jangan lupa vote dan komen😉

-Happy Reading-

Seperti pagi sebelumnya, Sasya bangun dengan cepat dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Seragam sudah melekat ditubuhnya dan ia langsung keluar dari kamar. Entah kenapa terselip rasa gugup saat ia hendak membuka pintu kamar. Sasya merasa aneh dengan tubuhnya yang tidak biasanya gugup tanpa alasan seperti ini.

"Cepetan sarapan!" Sebuah suara yang terdengar berat itu berhasil membuat Sasya bergegas turun. Seperti kebiasaan sebelumnya, ia menghitung anak tangga dalam hati. Berniat menghibur diri dan berharap rasa gugup itu hilang.

"A-ayah yang masak?" tanya Sasya setelah sampai di dekat meja makan. Duduk di depan sang ayah yang kini sudah terlihat menikmati sarapannya tanpa menjawab pertanyaan dari dirinya.

Tidak biasanya meja makan terisi seperti ini, meskipun hanya nasi goreng dengan telur mata sapi yang ada di meja itu. Sasya mengisi piringnya sendiri dengan nasi goreng.

Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Andra. Melihat anaknya begitu lahap memakan masakannya. Memang semuanya ia yang memasak, padahal seharusnya pagi ini ia sudah berangkat bekerja. Namun, terbesit sebuah keinginan untuk sarapan bersama anaknya ini. Andra juga menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah melihat meja makan terisi. Dan tentu saja ia mengetahui bahwa hampir setiap harinya, Sasya hanya memakan mie instan yang selalu ia beli untuk persediaan setiap bulan.

Ternyata seburuk itu ia dan sang istri selama ini merawat Sasya. Apa bisa disebut mereka merawatnya? Padahal nyatanya tidak, Andra terdiam menatap manik Sasya yang kini tak hentinya tersenyum seraya menyuap nasi itu terus menerus.

Badan kurus dengan wajah yang terlihat pucat. Membuat hati Andra berdesir, ternyata ia telah gagal menjadi orang tua. Perkembangan anaknya sama sekali tak pernah ia perhatikan, Andra hanya terfokus untuk menjadikan anaknya yang terbaik di sekolah. Selalu menuntut sang anak agar mendapat nilai terbaik dan banyak hal buruk lainnya yang sudah ia lakukan.

Namun, tetap saja ia tidak bisa menghilangkan sifat tempramennya pada Sasya. Andra kembali fokus pada sarapannya, lalu bergegas pergi dari sana setelah selesai. Ia bahkan tak mau mengulurkan tangan untuk menyambut tangan Sasya yang ingin bersalaman padanya.

Sasya menatap kosong tangannya, ia tersenyum tipis setidaknya pagi ini ayahnya mau mengajak ia sarapan bersama. Sasya berharap, Andra akan selalu seperti ini. Ia membersihkan meja makan itu. Mencuci piring kotor miliknya dan sang ayah sebelum bergegas pergi ke sekolah.

Semuanya sudah selesai, kini waktunya ia berangkat. Sasya mengunci pintu rumah  dan meletakkan kuncinya di dekat sebuah pot bunga. Barulah setelah itu ia berangkat sekolah dengan menaiki angkot. Sepertinya sekarang ia sudah mulai terbiasa menaiki angkot. Bahkan berdesakan dengan penumpang lain, tak masalah lagi bagi Sasya.

***

Saat awal masuk ke pekarangan SMA Jaya, semua tatapan seperti tertuju pada dirinya. Sasya mengerutkan dahinya bingung, mendengar beberapa bisikan dan juga tatapan tak suka dari setiap orang. Kakinya terus melangkah, tak peduli dengan ucapan-ucapan itu.

"Eh, gak nyangka banget gue!"

"Iya, padahal kan dia kakak kelas kita. Kok bisa ya jual diri gitu."

"Pasti dibayar mahal tuh!"

"Nggak malu banget datang ke sekolah, kalo gue jadi dia mungkin udah pindah!"

Sasya hanya tersenyum tipis pada beberapa siswi yang terlihat seperti adik kelas. Bahkan Sasya tak menyadari bahwa yang menjadi bahan pembicaraan itu adalah dirinya sendiri.

Mencoba untuk terlihat biasa saja, tetapi pada akhirnya Sasya merasa risih karena sepanjang koridor semu orang seperti mengejek dirinya. Tak jarang juga ia mendengar ucapan tak senonoh.

"Wih berani banget ke sekolah. Bisa nih kita main nanti di gudang!"

"Ahaha, anjir gue ikut woii!"

"Ntar kita bayar deh, lebih gede dari yang di kasih sama tuh orang, ya nggak?"

"Bener banget! Ayo Sya, tidur bareng kita-kita aja. Hahaha ...."

Langkahnya terhenti, tubuh yang awalnya berdiri sempurna itu kini perlahan bergetar. Melihat beberapa foto yang ada di sekitar mading dan juga dinding sekolah.

Foto perempun tanpa busana, dan ... itu adalah dirinya. Wajahnya berubah pucat, tangannya semakin bergetar saat ia mengambil foto-foto itu. Belum lagi umpatan yang terus saja ia dengarkan. Tak ada lagi senyuman diwajahnya, semua berubah dalam sekejap.

"Ternyata sekolah kita ada jal*ang ya!"

"Pelac*r."

"Malu-maluin sekolah!"

"Mending mati deh! Dari pada hidup buat malu aja!"

"Bener tuh!"

Sasya terduduk di depan mading, sedangkan mereka yang ada di sana langsung menghampirinya. Bukan hanya perkataan yang menyakitkan, tapi beberapa lemparan kertas juga dilayangkan kepadanya. Bahkan ada yang dengan sengaja melempar isi tong sampah ke arah tubuh Sasya.

Mereka tertawa, melihat keadaan Sasya yang sekarang terlihat kacau.

Sasya bersusah payah menutup telinganya, agar tak lagi mendengar ucapan itu. Tubuhnya bergetar karena menangis. Apalagi sekarang yang harus ia terima. Kenapa selalu saja ada yang mengusik ketenangan hidupnya? Kenapa masalah terus datang tanpa henti?

Bagaimana setelah ini, apa ia akan dikeluarkan dari sekolah dan mimpinya akan benar-benar hilang?

Sasya mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus menunduk, menatap setiap orang yang ada di sekitarnya. Tidak ada yang mau mendekatinya, bahkan dari tempatnya sekarang. Sasya bisa melihat Bunga dan Dini yang hanya menatap ke arahnya tanpa berniat menghampiri.

Sasya kembali menunduk saat kedua sahabatnya justru pergi dari sana.

Tiba-tiba ada yang menarik rambut panjangnya, membuat Sasya kembali mendongak dan menatap layar ponsel salah satu siswi yang menayangkan sebuah video. Itu ... adalah dia. Sasya tak kuat melihatnya, dengan cepat ia memejamkan mata dan kembali menerima cacian dari setiap orang. Serta lemparan-lemparan kertas dan sampah.

"Huuu! Malu-maluin sekolah!"

"Wanita malam woi! Sewaan om-om kali ya?"

"Haha ...."

Semua terus berlanjut, sampai salah satu siswa menghampirinya. Mengangkat dagunya dan tersenyum sinis, tangan yang semula berada dipipi Sasya kini malah beralih ke arah dadanya.

Sasya menepis tangan itu dan berusaha menjauh dari sana. Namun, beberapa teman dari laki-laki itu justru menahan tubuhnya.

"L-lepasin!" jeritnya dengan suara tangisan yang semakin menjadi. Mereka tak mendengarkan justru malah semakin gencar menghimpit tubuh Sasya.

"Wah, kenyal woi!" teriak siswa tadi setelah berhasil memegang bagian dada Sasya. Ia dilecehkan dan semua orang hanya melihat tanpa mau menolongnya.

Sebelum laki-laki itu berhasil membuka kancing bajunya, Langit sudah duluan datang dan tanpa perasaan menghajar siswa itu. Berkali-kali Langit melayangkan pukulan sampai membuat lawannya tak berdaya sama sekali.

"Bangsat lo!" Murka nya dan kembali melayangkan satu pukulan. Siswa itu terjatuh dengan keadaan tak sadarkan diri lagi, tepat di depan Sasya yang semakin ketakutan.

Tubuh itu semakin bergetar takut, melihat Langit yang begitu murka. Menatap ke arahnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan sama sekali. Sasya membenci Langit, ya ini pasti ulah laki-laki itu. Sasya sangat yakin.

Langit menarik tangannya agar segera berdiri dan pergi dari sana. Meskipun cacian terus saja ia terima. Sasya sudah tak tahan, air matanya terus mengalir. Merasakan pergelangan tangannya yang begitu sakit karena ulah Langit, Sasya hanya bisa menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit itu dan terus mengikuti langkah Langit yang entah ingin membawa ia ke mana.

TBC

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang