Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
Tubuh lemah itu tak bergerak sama sekali, Awan masih berada di tempatnya dengan keadaan yang sama. Bahkan pakaiannya pun terlihat kotor. Langit membiarkan laki-laki itu di sana, setelah melampiaskan rasa kesalnya. Dia pergi meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan nasib Awan.Melihat Awan yang tak bergerak sama sekali membuat Lintang sedikit merasa khawatir. Ingat, hanya sedikit. Namun, tak urung dia menghampiri Awan.
"Woi, bangun!" ucapnya berbisik, karena di dalam ruangan itu terdapat teman-temannya yang lain. Mereka semua sudah terlelap, awalnya juga Lintang sudah tertidur dan tiba-tiba terbangun tepat dini hari seperti sekarang.
Awan perlahan membuka matanya. "S-sakit ...." Hanya kata itu yang keluar dan tanpa aba-aba Lintang bergegas membantu Awan berdiri.
"Lo, masih kuat jalan gak?" tanya Lintang. Awan hanya mengangguk lemah. Lintang mengambil alih tas, serta kacamata Awan. Lalu keduanya keluar dari tempat itu. Setelah benar-benar keluar dari sana, Lintang menuntun Awan agar masuk ke dalam mobilnya.
"Rumah lo di mana?" tanya Lintang seraya mulai menancap gas mobilnya. Awan belum menjawab, pikirannya menerawang jauh. Jika ia pulang dengan keadaan seperti ini, Biru pasti sangat khawatir padanya dan Awan tak mau melihat adiknya sedih.
"Lo budek?!" Ucapan Lintang berhasil membuat Awan tersentak kaget dan langsung menatap ke arahnya.
"Maaf ...." ucap Awan lirih seraya meremas tas yang ada dipangkuannya. Tangannya mengambil kacamata yang terlihat sedikit retak, lalu memakainya. Kenapa Langit sampai memperlakukannya seperti ini? Padahal dia sama sekali tidak pernah mengusik laki-laki itu. Awan menghela napas dan sesekali meringis saat merasakan sakit di wajahnya bekas pukulan Langit tadi.
Untung saja kacamatanya masih bisa digunakan, jika tidak Awan tak tau lagi ia harus seperti apa.
"Kenapa dari tadi ngelamun terus sih!" ucap Lintang. Entah kenapa saat bersama Awan, Lintang terlihat banyak bicara. Berbeda saat ia bersama teman-temannya. Lintang juga merasa begitu sangat dekat dengan Awan, apa perasaannya saja atau ada hal lain? Entahlah, Lintang tak mau terlalu banyak berpikir tentang hal yang tak penting.
"Sampai di sana aja." Awan menunjuk sebuah halte yang langsung membuat Lintang geram. Hari sudah larut seperti sekarang, apa mungkin ada kendaraan lain yang lewat. Ia tak habis pikir dengan laki-laki culun di sampingnya ini.
"Tinggal sebut alamat susah banget ya?"
Awan terdiam, lalu setelah berpikir akhirnya ia mengatakan alamat rumahnya. Tak ada pilihan lain.
Mobil Lintang berhenti tepat di depan kos tempat tinggal Awan dan Biru. Laki-laki itu dengan hati-hati turun dari mobil. Mengucapkan terima kasih pada Lintang yang hanya mengangguk.
Awan berdiri tepat di depan pintu kos itu, dengan ragu ia membuka pintu yang ternyata tidak di kunci. Melihat sang adik terlelap, membuat Awan tersenyum miris. Apalagi saat netranya tak sengaja melihat makanan yang pastinya tidak di sentuh sama sekali oleh Biru.
"Kamu belum makan?" tanya Awan seraya mengusap rambut adiknya.
Ternyata sentuhan itu berhasil membangunkan Biru. Mata yang awalnya menatap sayu ke arah Awan, berubah langsung menajam saat melihat wajah sang abang penuh dengan lebam.
Rasa kantuknya juga hilang. Tergantikan dengan rasa khawatir. "Abang kenapa bisa gini?" tanya Biru.
"...."
Tanpa berkata apa pun, Biru bergegas keluar dari rumah itu. Melihat sekitarnya yang sama sekali tidak ada apa-apa. Dia berusaha mencari orang yang sudah membuat abangnya seperti ini.
Biru kembali masuk, menatap abangnya yang terlihat sudah memejamkan mata.
"Abang."
Awan langsung membuka matanya dan menampilkan senyum pada Biru. "Kenapa? Kamu lapar ya?"
Biru menggeleng, lalu memeluk tubuh Awan begitu erat. "Jangan gini lagi," bisiknya.
"Udah gapapa, abang udah biasa kok di giniin sama Langit," jawab Awan tanpa sadar berhasil membuat Biru geram. Dia melepaskan pelukannya, menatap Awan penuh selidik.
"Jadi abang udah sering di bully sama Langit? Kenapa abang gak bilang sama aku sih," kesalnya.
Awan sadar ia telah salah bicara dan malah mengatakan hal yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Bagaimana pun ia berusaha mengelak, Biru tidak akan percaya lagi dan itu malah membuat Awan takut. Bagaimana jika Langit nanti akan berniat jahat pada adiknya, ia tidak mau itu terjadi.
***
Pagi ini, Sasya bersiap-siap untuk sekolah. Seragam sudah melekat di tubuhnya, begitu pula dengan tas yang ia sandang. Sasya berjalan keluar dari kamar, menghampiri dapur yang masih saja terlihat sama seperti biasanya. Selalu sepi dan tidak ada makanan.
Tangannya beralih membuka tempat simpanan makanan, mengambil sebungkus susu dan juga roti. Lalu dimasukkannya ke dalam tas. Sasya berniat akan memakan itu diperjalanan saja, karena mengingat waktu masuk tinggal beberapa menit lagi.
Sebelum benar-benar keluar dari dapur, matanya tak sengaja menatap sebuah kertas yang ternyata adalah surat perceraian.
Seketika ia terdiam, tak mengerti dengan situasi sekarang. Apa orang tuanya benar-benar akan berpisah? Lalu bagaimana dengan ia nanti?
Tak terasa buliran bening itu terjatuh, mengalir tanpa sebab. Sasya merasa kosong dan berharap yang ia lihat ini adalah mimpi.
"Apa begitu sulit untuk kalian terus bersama?" tanyanya entah pada siapa.
Sasya terkekeh kecil mengingat hal yang sama sekali tak mungkin itu. Ia bergegas meninggalkan rumahnya, berjalan tergesa dan seketika melupakan ke mana arah tujuannya.
"Sasya!" teriak sebuah suara, tetapi tak membuat sang pemilik nama menghentikan langkahnya, ia masih terus saja berjalan dan bahkan tak sadar sekarang sudah berada di tengah jalan.
Sebuah tarikan ditangannya, sukses membuat Sasya tersadar.
"Kamu kenapa?" tanya Awan.
"Abang, gak papa?" Biru ikut panik saat melihat sang abang yang tiba-tiba saja berlari ke tengah jalanan. Awan hanya mengangguk, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih ditambah ia harus menolong gadis ini.
Bukannya menjawab, Sasya malah menangis dipelukan Awan. Ia menumpahkan segala rasa yang ada dihatinya, menangis dengan kencang tanpa peduli sekitar.
Awan berusaha menenangkan dan mengajak Sasya agar duduk di halte. Biru mengikuti keduanya.
"Udah, ya jangan nangis lagi. Nanti mata kamu bengkak," nasehat Awan seraya mengusap air mata Sasya.
"Awan," ujar Sasya sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Awan yang lebam. "Kenapa gini?" tambahnya.
Awan hanya tersenyum tipis dan menggeleng, pertanda ia baik-baik saja. Baru saja Sasya ingin bertanya lagi, sebuah angkot datang. Awan mengajak Sasya pergi bersamanya, diikuti dengan Biru.
"Jangan sedih lagi ya," ucap Awan saat melihat Sasya kembali melamun. "Apa pun yang terjadi sama kamu, sebesar apa pun masalah yang saat ini menghampiri kamu. Jangan pernah berpikir untuk menyerah."
Sasya hanya mengangguk dan kembali mengedarkan pandangan menatap jalanan.
"Teman abang ya?" bisik Biru.
"Iya," jawab Awan seraya tersenyum pada adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...