Kalo ada typo tandain ya:)
Jangan lupa vote dan komen😉
-Happy Reading-
Langit tak mau juga menjauh dari tubuh Sasya, ia terus mengunci pergerakan perempuan itu. Sedangkan di luar kamar, Andra mulai melangkah menjauh dari sana. Ia berniat mencari kunci kamar Sasya. Setelah menemukan apa yang dicari nya, Andra kembali bergegas ke kamar sang anak.
"Kenapa dikunci segala, sih." Gerutu Andra seraya menaiki anak tangga, ada rasa khawatir yang terbesit dalam dirinya. Andra memasukkan kunci itu, bergegas membuka pintu kamar Sasya meskipun sulit.
Mendengar suara pintu yang akan terbuka, Langit terkesiap. Ia menatap Sasya yang sedari tadi tak berhenti menangis.
"Lo selamat," bisiknya dan bangkit dari posisinya tadi. Lalu bergegas keluar dari kamar Sasya lewat jendela.
Sasya masih menangis, ia mengambil selimut untuk menutup tubuhnya. Sasya mulai memejamkan matanya, mungkin karena terlalu kuat menangis ia menjadi mengantuk. Perlahan mata itupun akhirnya terpejam, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar.
Andra masuk, menatap sekeliling kamar sang anak. Melihat jendela kamar yang terbuka dengan cepat ia menghampirinya, lalu menutup jendela itu. Pandangan Andra beralih pada Sasya yang kini tampak tertidur pulas dengan selimut yang membungkus tubuhnya.
Andra duduk di dekat ranjang Sasya, menatap setiap inci wajah itu. Entah dorongan dari mana, tangannya terulur mengusap kepala Sasya lembut. Sebelum pada akhirnya mata yang awalnya terpejam itu perlahan terbuka.
Sasya terkejut melihat Andra ada di depannya. Tatapan antara anak dan ayah itu bertemu. Andra terdiam, ia menjauhkan tangannya dan langsung bangkit dari duduknya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"A-ayah ...." Sesaat Andra terdiam, mendengar suara serak dari Sasya. Namun, tak lama kemudian ia langsung melangkah keluar dari sana dan menutup pintu itu kencang. Sedangkan Sasya yang masih terdiam, perlahan mengangkat tangannya. Menyentuh bagian kepala yang tadi Andra usap.
Air matanya menetes, betapa senang dan bahagianya Sasya saat mengetahui ayahnya mengusap rambutnya, entah kapan terakhir kali Sasya merasakan itu, tetapi saat ini ia sangat senang. Tangan yang biasanya selalu menampar dan memukulnya, kini terasa berbeda. Apa boleh ia berharap, bahwa ayahnya akan selalu seperti ini?
"Makasih, Yah," ucap Sasya dengan pandangan yang terfokus pada pintu kamar. Ia mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir, ketakutan yang awalnya menyelimuti perlahan sekarang mulai mereda, padahal hanya perlakuan biasa. Namun, sangat istimewa bagi Sasya yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah mendapat perlakuan manis lagi.
Menyadari ia masih belum mengenakan apapun dan hanya selimut yang menutup tubuhnya, Sasya langsung bangkit dari posisi berbaring. Ia meringis, merasakan bagian perut dan pergelangan tangannya pedih, ini pasti karena ulah Langit tadi.
Sasya memakai baju tidurnya, lalu berjalan ke arah jendela kamar hanya untuk menatap langit malam. Melihat bulan dan beberapa bintang yang berkeliaran. Ia tidak membuka jendelanya, karena takut jika Langit tiba-tiba masuk. Sasya juga sudah memastikan bahwa jendela itu terkunci rapat.
"Ngapain kita ngintip gini sih?"
"Lo diam aja deh, jangan banyak omong. Ntar ketahuan!" jawab laki-laki itu seraya terus menatap ke arah Sasya. Kedua laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam itu, tengah bersembunyi di dekat pohon yang mengarah ke kamar Sasya.
Salah satu dari laki-laki itu tampak kesal, karena hampir satu jam lamanya yang mereka lakukan hanya berdiam diri di sana.
"Dia udah aman kok, lagian si anjir itu udah balik tadi. Ngapain kita masih di sini, coba. Mendingan pulang Ki, makan mie sambil nonton terus nikmat---" laki-laki yang bernama Alvin itu langsung terdiam. Karena orang yang ia sebut 'Ki' itu tampak menatapnya marah.
"Woi, sembunyi!" Alvin menarik Saski, untuk bersembunyi karena orang yang mereka intai tengah menatap ke arah mereka.
Ya, Sasya merasa seperti tengah diawasi dan benar saja saat ia mengedarkan pandangannya, dua orang laki-laki berpakaian hitam tengah mengawasi dirinya. Sasya berusaha mengenali wajah orang itu, tetapi tak bisa. Karena mereka yang sudah dulu bersembunyi.
Ia gugup dan langsung kembali ke tempat tidur miliknya. Mulut Sasya terus saja merapalkan berbagai macam doa dan berharap bahwa orang-orang itu tidak berniat jahat padanya. Badannya panas dingin, peluh juga mulai memenuhi tubuhnya. Sasya sangat ketakutan, apalagi jika orang itu lebih jahat dari Langit? Tidak, ia tidak boleh berpikir seperti ini. Bisa saja mereka orang yang tidak sengaja melewati rumahnya, t-tapi kenapa mereka terus menatap ke arah kamarnya?
"Ayah, Ibu ... Sasya takut," gumam Sasya dan kembali mengeratkan selimut itu pada tubuhnya.
Di bawah sana, Alvin dan Saski bergegas pergi. Sesaat Saski kembali menatap ke arah kamar Sasya. Menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Alvin yang menyadari temannya itu masih terdiam, langsung menarik tubuhnya.
"Udah, makanya kata gue temuin aja langsung bilang ke dia kalo lo it ... iya-iya enggak. Jangan galak sama gue lo, ntar gue gak mau lagi bantuin baru tau rasa!" gerutunya seraya berjalan santai menuju mobil yang terparkir tak jauh dari rumah Sasya.
Alvin masuk ke dalam mobil dan langsung mengambil sebotol minuman yang ada di sana. Tak lupa juga, ia memberikan satu botol lagi pada Saski yang baru saja masuk.
"Nih, minum dulu." Saski langsung mengambilnya dan meminum air itu sampai tersisa setengah.
"Besok gue harus kerja, dan kemungkinan seminggu baru kelar. Makanya gue ajak lo ke sini," ucap Saski tiba-tiba.
Alvin mengerutkan dahinya bingung. "Apa hubungannya, sama lo ajak gue ke sini tengah malam?"
"Karena gue mau kerja, ya lo di sini harus selalu mantau dia. Awas aja lo gak mau!" jelas Saski sukses membuat Alvin mendengus kesal.
"Ujung-ujungnya gue lagi," gerutu Alvin. Saski tak memedulikannya lagipula, Alvin akan mendapat uang dari dirinya. Tidak mungkin, temannya itu akan menolak. Dan juga, ini bukan pertama kalinya.
"Ntar gua tambahin uangnya," celetuk Saski seraya mulai menghidupkan mesin mobilnya.
Mendengar itu, Alvin yang awalnya tengah minum langsung terbatuk dan menatap Saski terkejut. "Oke!" jawabnya bersemangat.
Memang ya, jika sudah membicarakan tentang uang. Maka langsung bersemangat. Padahal baru beberapa saat tadi kesal dan sekarang Alvin malah tampak begitu antusias.
"Lo tenang aja, si anjir itu gak bakalan ganggu dia lagi. Besok pokoknya bakalan gue pantau terus. Lo serahin aja sama gue!" tambahnya meyakinkan Saski yang hanya membalas perkataan temannya itu dengan sebuah anggukan.
Mereka pun akhirnya pulang, dengan Alvin yang terus mengoceh layaknya perempuan di sepanjang jalan. Saski hanya mendengarkan saja dan sesekali terkekeh. Meskipun pikirannya terus tertuju pada Sasya.
Ia harus bisa sabar, untuk satu minggu ke depan tidak bertemu dengan perempuan cantik itu. Semoga saja nanti, saat ia bekerja Sasya tetap baik-baik saja. Saski juga sudah sangat percaya pada Alvin yang memang sangat bisa diandalkan.
Beralih dari Alvin dan Saski kini, Sasya sudah terlihat terlelap dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Mungkin karena merasa panas makanya sekarang selimut itu terlihat sudah terturun sampai ke bagian leher.
Wajahnya terlihat damai dan seolah tanpa beban sama sekali. Tidurnya begitu tenang, bahkan sesekali ia tersenyum. Mungkin karena perempuan itu tengah bermimpi indah saat ini.
Biarkan ia dalam dunia mimpinya sekarang, terlelap tanpa beban dan pastinya mengisi energi untuk menyambut hari esok yang penuh kejutan.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasya's Diary [SELESAI]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA YA] Cinta dan obsesi, sebenarnya mana yang dirasakan oleh Langit? Bisa jadi, keduanya. Namun, ia malah membuat Sasya menderita. Masa-masa akhir SMA yang harusnya bahagia, malah tak sesuai harapan. Semuanya seakan tak berpihak p...