Pagi-pagi sekali, biasanya gadis yang bernotabene malas itu masih terdampar di ranjang manisnya untuk melanjutkan tidurnya setelah shalat subuh, namun tidak mulai hari ini. Kini gadis itu sudah bergegas membereskan tempat tidurnya setelah mandi, ia berjalan ke dapur mininya berniat merebus air, ia ingin membuat teh hangat untuk dirinya sendiri.
Gebi membawa segelas teh hangat itu ke ruangan depan, dia duduk di sofa sambil menyeruput tehnya. Sesekali ia menghela napasnya, menyesali apa yang sudah terjadi sama sekali tidak membantu hidupnya.
Gadis itu bergegas keluar rumahnya, ia berjalan menuju kedai Bude Amah sembari memperhatikan lingkungan sekitar rumahnya sekarang. Tidak kumuh, masih tergolong asri dan bersih. Syukurnya warga-warga disana banyak yang peduli terhadap lingkungan.
"Pagi, Bude." sapa Gebi pada Bude Amah yang sedanga berkutat dengan dagangannya.
"Hei, cantik. Sudah bangun? Habis maraton?" tanya Bude Amah sambil terus meracik lontong sayur pesanannya yang sudah ditunggu pelanggan.
"Enggak Bude, dari rumah. Mau beli lontong nih, soalnya di rumah Gebi belum ada makanan apa-apa untuk sarapan." jawab Gebi sambil terkekeh sedikit.
"Makan disini atau dibungkus?"
"Bungkus aja deh kayaknya, Bude."
"Tapi kamu nggak apa loh sarapan disini setiap hari, kayak temenmu kemarin, sering sekali sarapan disini sebelum berangkat ke sekolahnya."
Gebi terpaksa tersenyum untuk menghargai ucapan Bude Amah barusan, padahal malas sekali dia masih pagi-pagi buta begini sudah disuguhi nama laki-laki itu. "Oh ya, Bude?" ucapnya dengan begitu terpaksa.
"Iya, cantik. Oh ya, kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan minta tolong sama Bude aja ya. Rumah Bude dekat kok sama rumahmu, yang ada balai bambunya di depan- itu rumah Bude." jelas Bude Amah lagi.
"Oh yang itu rumah Bude, tadi sih Gebi lihat ada dua anak kecil lagi senam gitu disana, lucu banget deh."
"Iya, itu anak Bude. Kamu nanti main ya?"
"Iya dong, Bude."
"Ini lontong kamu," Bude Amah memberi satu bungkus lontong kepada Gebi.
"Ini bukannya punya—" Gebi melirik orang yang sedari tadi duduk di belakang tubuh Bude Amah, menunggu lontongnya selesai diracik.
"Sudah, buat kamu dulu aja, dia mah bisa nanti." ujar Bude Amah sambil terkekeh.
Gebi tersenyum sambil mengeluarkan uang dua puluh ribu dari kantung celananya.
"Nggak usah bayar, untuk Gebi boleh gratis deh- setiap hari." ucap Bude Amah yang benar-benar membuat Gebi terkejut.
"Bude..." ujar Gebi begitu lirih, ia benar-benar terharu dengan kebaikan Bude Amah.
Bude Amah mengelus rambut Gebi, "Bude sudah anggap Gebi sebagai anak Bude, Gebi nggak sendiri, ya sayang? Kalau ada apa-apa, ingat rumah Bude terbuka 24 jam untuk Gebi." ucap Bude Amah yang langsung dihadiahi pelukan hangat dari Gebi.
"Bude, makasih. Gebi beruntung ketemu orang sebaik Bude, semoga rejeki Bude lancar terus ya..." ucap Gebi dengan setetes air mata yang berhasil lolos dari kelopaknya.
Kemarin saat Gebi mencari tempat tinggal, Gebi sempat menceritakan kisah pilunya kepada Bude Amah dan juga Pandu, mengapa ia bisa sampai diusir oleh Firman. Mungkin karena itu Bude Amah bisa memprilakukan Gebi layaknya anak sendiri.
Setelah adegan manis itu berlalu, Gebi izin untuk pulang dan menyantap lontongnya. Ia beranjak ke dapur untuk menaruh lontongnya di mangkuk, saat ia kembali ke ruang depan, ia terkejut melihat Pandu yang sedang begitu santainya menyeruput teh hangat miliknya.
YOU ARE READING
KARSA DARI RASA
AcakPandu Longsadapit, Flat Boy yang sebelumnya tidak tahu apa arti kehidupan, sebelum akhirnya bertemu dengan Gebi Kintan Clarasya- si cewek nyebelin yang membuatnya merasa jengah jika bertemu gadis itu. Mereka saling membenci, saling beradu argumen, b...