Malam itu itu, Pandu kembali memasuki area parkiran rumah sakit tempat dimana Ibunya dirawat. Setelah mengunci motornya, ia segera berlarian kecil ke arah ruangan sang Ibu. Cowok itu membawa kantung plastik berwarna hitam, ia sangat tak sabar memberi bungkusan itu kepada gadis yang terkadang menggeramkan itu.
Sesampainya ia di ruang 303, yang ia dapati hanyalah Ibunya yang sedang tertidur di brankar. Tidak ada lagi teman-temannya yang tadi membuat rusuh ruangan itu, lantas kemana perginya Gebi?
Cowok itu memundurkan langkahnya kemudian menutup kembali pintu ruangan, takut mengganggu tidur pulas Dinda. Ia merogoh kantung celananya untuk kemudian mengambil ponsel dan mencari kontak Gebi. Setelah menemukan nama Gebi, ia segera menelepon gadis itu.
"Hallo?" ujarnya setelah panggilannya dijawab.
"Ada apa?" itu suara Gebi.
"Dimana?"
"Makan."
"Lah sialan ya, gue kan bawain lo batagor."
"Yaudah gak jadi."
"Lo dimana?"
"Kantin lah, dimana lag--"
Belum selesai berbicara, Pandu sudah memutuskan sambungan telepon itu. Kemudian ia berjalan menuju kantin rumah sakit.
Setelah matanya menemukan gadis yang ia cari, ia segera menuju ke arahnya. Tanpa permisi ia langsung duduk di hadapan gadis itu kemudian menyodorkan bungkusan yang ia bawa.
Gebi menatapnya, kemudian tersenyum jahil. "Makasih!" ucapnya dengan gembira.
Pandu hanya melengos, kemudian menatapi seisi kantin yang memang baru hari ini ia menggunjunginya.
"Makasih." sahut Gebi lagi kali ini dengan penuh penekanan. "Lo ini bukan manusia ya? Bilang 'sama-sama' itu sama pentingnya dengan bilang 'terima kasih' dan 'maaf'. Lo harus tau itu." lanjutnya kemudian yang berhasil membuat Pandu kembali menatapnya.
"Iya maaf, sama-sama." ucap Pandu kemudian tersenyum paksa, "senang membantu anda."
Tepat setelah mengatakan itu, penjual mie ayam membawa pesanan Gebi ke meja mereka. Pandu refleks mengernyitkan dahinya, kemudian menatap Gebi seolah-olah bertanya, "kok mesen makanan?"
"Terima kasih, Ibu. Boleh pinjem mangkuk satu nggak ya, Bu? Buat makan batagor dari orang ini." ucap Gebi menunjuk Pandu.
Ibu itu sempat menoleh ke arah Pandu sebentar, kemudian iya menggangguk. "Boleh cantik, sebentar ya." ujarnya lalu kembali ke kedainya untuk mengambil mangkuk.
"Ini mie ayam gue lo yang makan, gue terlanjur pesen sebelum lo call gue tadi."
"Ogah, gue gak--"
"Mubazir Pandu, buang-buang makanan gak baik. Lo gak mikir apa di luar sana banyak loh yang kesusahan untuk makan. Lagi pula lo gak sadar ya kalau lo ini lagi di hadapan Gebi si anak miskin, yang makan aja tuh--" cerocosnya yang kemudian dipotong oleh Pandu karena ia sudah tak tahan mendengar celotehannya.
"Oke fine, gue makan. Lo jual kisah mulu dah." cowok itu menarik mangkuk mie ayamnya, kemudian dengan terpaksa menyantapnya.
"Ini Nak, mangkuknya." Ibu itu kembali membawa mangkuk yang dipinjam Gebi.
"Terima kasih ya Bu, saya pinjem dulu.."
"Sama-sama, Nak." Ibu itu tersenyum, kemudian ia kembali ke kedainya.
"Tuh contoh Ibunya, langsung bilang 'sama-sama' kalau ada orang ngucapin terima kasih ke dia." cerocos Gebi lagi sambil kini bergegas membuka bungkusan batagor.
Pandu tidak menanggapi ucapan Gebi, ia justru menarik mangkuk dan batagor yang ada di tangan Gebi. Ia membukakan batagor itu kemudian menuangkannya ke dalam mangkuk, setelah itu ia memberi mangkuknya kembali pada Gebi. "Gak usah banyak cincong, makan aja dulu, keburu bengkak tuh batagor."
Gebi tersenyum samar, "terima kasih lagi..." ucapnya dengan begitu manis.
"Sama-sama." tak mau dapat ocehan lagi, Pandu segera membalas ucapan Gebi dengan kata-kata yang seharusnya.
***
Setelah makan di kantin, Pandu dan Gebi kembali ke ruangan Dinda. Ketika mereka masuk, tepat sekali baru saja Suster keluar dari ruangan itu.
"Hai, dari mana kalian?" tanya Dinda yang sudah terduduk di atas brankarnya.
"Dari kantin Ma. Ma, Suster habis ngapain tadi?" tanya Pandu sembari mendekat ke brankar.
"Biasa, obat." jawab Dinda sambil terkekeh.
"Mama, masa Gebi gak dibolehin minep sama Pandu, Gebi kan mau juga nemenin Mama." ujar Gebi memegangi lengan Dinda, berlagak mengadu kepada wanita yang padahal Ibunya Pandu.
"Ya iyalah, sinting. Besok sekolah, ini juga udah malem." ujar Pandu dihadiahi pukulan dari Dinda.
"Yang sopan sedikit kalau ngomong." Dinda memelototkan matanya, "ngomong ke cewek cantik kok begitu sih."
Gebi merasa menjadi pemenang, ia menjulurkan lidahnya ke Pandu. Detik itu, sumpah Pandu ingin sekali menoyor kepala Gebi.
"Gebi pulang ya Nak, besok kesini lagi gak apa-apa. Tapi harus pulang, gak boleh melupakan sekolah loh." ujar Dinda kepada Gebi.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, "iya deh Ma, kalau gitu Gebi pulang. Tapi besok dan seterusnya Gebi bakalan kesini lagi, sampai Mama boleh pulang!" tegasnya.
"Iya cantik... Mama juga gak lama kok disini, beberapa hari juga sudah diizinkan pulang." Dinda tersenyum sambil mengelus tangan Gebi.
Gebi meraih tangan Dinda untuk berpamitan, "Gebi pulang ya Ma, Mama istirahat, oke?"
"Siap cantik. Makasih ya sudah mau menjenguk Mama hari ini."
"Sama-sama Mama, Gebi pulang ya Ma, Assalamu'alaikum."
"Ma, Pandu antar Gebi dulu ya. Mama disini sama Suster dulu kan?"
Tepat setelah pertanyaan Gebi, pintu ruangan terbuka dan refleks membuat semua perhatian teralihkan ke arah sana. Itu adalah Keano.
"Papa tidur disini malam ini, biar Papa yang menemani Mama." tanpa ba bi bu, suara Keano terdengar lantang.
Pandu menarik napasnya sejenak, kemudian mengembuskannya. Ia memejamkan kedua matanya, mencoba menghilangkan rasa geli yang ada di dalam dirinya sebab lagi-lagi Keano menyebut dirinya dengan sebutan 'Papa'. Hal itu sungguh terdengar menjijikan di telinga Pandu.
"Gue aja." sahut Pandu kemudian.
"Kamu kan besok harus sekolah, biar Papa yang jaga Mama." ujar Keano lagi.
"Hustttt..... Gue masih bisa jaga Mama gue, tanpa bantuan lo."
Kini Gebi tidak bisa berkutik, ia hanya terdiam memandangi kedua orang lelaki yang kini seperti sedang memperebutkan peta harta karun.
"Nak, hei, hei," Dinda menyentuh lengan Pandu. "Sudah, jangan ribut dengan Pa--"
"Stop Ma! Come on... Harus berapa kali sih Ma Pandu bilang ke Mama, dia bukan Papa Pandu!"
Setelah mengatakan itu, Pandu segera pergi untuk sebelumnya ia menarik tangan Gebi.
•••
YOU ARE READING
KARSA DARI RASA
De TodoPandu Longsadapit, Flat Boy yang sebelumnya tidak tahu apa arti kehidupan, sebelum akhirnya bertemu dengan Gebi Kintan Clarasya- si cewek nyebelin yang membuatnya merasa jengah jika bertemu gadis itu. Mereka saling membenci, saling beradu argumen, b...