"Seharusnya lo gak usah anterin gue pulang." ujar Gebi sambil melepas helmnya kemudian ia berikan kembali kepada Pandu. "Mana pake beli helm segala, gak berguna kan cuma dipake sekali?" ujarnya lagi, lebih tepatnya mendumel sih.
Pandu menatap Gebi dengan intens tanpa membuka helm full face nya. Cowok itu menolak helm yang Gebi berikan padanya, "helm itu gue beli buat lo. Tadi banyak polisi, gue gak mau ditilang cuma gara-gara lo gak pake—"
"Gue gak minta lo buat anterin gue pulang." Gebi memotong ucapan Pandu.
"Itung-itung gue beramal sama temen baru." ujar Pandu yang entah dibalik helmnya dia tersenyum atau tidak.
"Basi. Jadi ini helm buat gue?" tanya Gebi sambil menenteng helm itu.
Pandu mengangguk.
"Yaudah, makasih." Gebi tersenyum sebentar. "Lo gak mau masuk dulu?"
"Nggak usah, gue langsung balik aja."
Gebi mengangguk paham. Kemudian setelah itu Pandu menyalakan mesin motornya, "nunggu apa lagi?" tanya Pandu.
"Nungguin lo pergi lah, baru gue masuk."
"Justru gue gak akan pergi kalo lo belum masuk." ujar Pandu justru membalikkan ucapan Gebi.
Gebi mengernyitkan dahinya sambil sedikit terkekeh. "Yaudah deh, gue masuk. Makasih ya, Pan." ujarnya.
Pandu mengangguk sambil memperhatikan Gebi yang mulai membuka gerbang rumahnya.
Gebi memberhentikan langkahnya lagi, ia menoleh ke belakang sambil tersenyum kearah Pandu. "Pan, hati-hati ya." ujarnya begitu lembut.
Pandu mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Setelah ia pastikan bahwa Gebi sudah masuk kedalam rumahnya, ia beranjak untuk melajukan motornya. Tapi tunggu, matanya menangkap sesuatu yang janggal.
Mobil yang terparkir dihalaman rumah megah itu adalah mobil yang ia ingat sekali bahwa mobil itu yang digunakan oleh lelaki paruh baya yang menjemput Elsa tadi. Dan ya, kini otaknya mulai berpikir keras. Apakah dugaannya selama ini benar? Entahlah.
***
Gebi melangkahkan kakinya memasuki kamarnya, rasanya ia sudah tak sabar ingin bermanja di kasur. Tetapi langkahnya terhenti saat hentakan kaki yang menuju ke arahnya cukup terdengar jelas.
Gadis itu memutarbalikkan tubuhnya yang masih menggendong tas ransel.
Firman.
Lagi-lagi gadis itu harus mengeluarkan energinya untuk meladeni Ayahnya yang ia pun tahu bahwa saat itu beliau pasti ingin memarahinya. Lihat saja.
Gebi menatap Firman dengan sengit, begitupun sebaliknya.
"Anak gak sopan, masuk rumah itu salam sama orang tua!" ujar Firman sambil matanya yang mulai melotot.
Gebi berdecih, "buat apa? Lagian, orang tua Gebi juga udah gak nganggep Gebi ada."
Firman menghela napasnya, berusaha untuk tidak emosi. "Pulang sama siapa? Pacar kamu?"
"Kenapa Papa nanya gitu? Harusnya Gebi yang nanya, apa Papa lupa kalo tadi di sekolah juga ada Gebi? Kenapa cuma Elsa yang dijemput? Yang anak kandung Papa tuh Gebi atau Elsa sih?" percayalah bahwa mata Gebi sudah mulai berkaca-kaca.
"Elsa yang dianter kesekolah, seolah-olah Papa gak rela ngelepasin Elsa buat ikut studycamp. Sedangkan Gebi? Gebi pergi sendiri naik taxi, dan Papa gak peduli. Jadi seharusnya Papa gak usah nanya-nanya Gebi pulang atau pergi sama siapa dan kemana, karena Gebi pun tau Papa gak akan pernah peduli lagi. Gebi udah gak penting. Yang paling penting dan berharga di hidup Papa sekarang kan cuma Elsa dan Erica. Right?"
YOU ARE READING
KARSA DARI RASA
RandomPandu Longsadapit, Flat Boy yang sebelumnya tidak tahu apa arti kehidupan, sebelum akhirnya bertemu dengan Gebi Kintan Clarasya- si cewek nyebelin yang membuatnya merasa jengah jika bertemu gadis itu. Mereka saling membenci, saling beradu argumen, b...