Pandu mengemudikan motornya dengan kecepatan normal, meskipun kini perasaannya sedang menggebu-gebu dengan amarahnya, namun ia tetap menjaga keselamatan dirinya serta gadis yang kini berada di boncengannya; memasukan kedua tangannya ke dalam kantung jaket miliknya.
Di perjalanan, keduanya hanya diam membisu, sambil menikmati udara malam yang dinginnya cukup menusuk kulit. Pandu masih terus melajukan motornya, hingga akhirnya ia memberhentikan motornya di tempat yang menurut Gebi itu adalah tempat yang cukup cozy. Sebuah tempat yang berada di pusat kota, dimana pengunjung bisa menikmati pemandangan seisi kota lewat rooftop yang sudah disediakan.
Gebi turun dari motor, sambil menatap Pandu dengan tatapan seolah berbicara, "kenapa gak anter gue pulang?"
"Cari angin sebentar ya," ujar Pandu kemudian menarik tangan Gebi untuk duduk bersamanya di rooftop.
Setelah duduk, Pandu menghela napasnya panjang, memejamkan kedua matanya dengan cukup lama.
Gebi yang jujur bingung harus berbuat apa, kini ia menyentuh pundak cowok itu. "Are you okay?" tanyanya yang berhasil membuat Pandu menoleh ke arahnya, "gue available loh kalau lo butuh tempat cerita."
Pandu tersenyum palsu, "I'm okay."
Gebi memincingkan kedua matanya, "seriously? Padahal mengakui kalau kita lagi gak baik-baik aja tuh gak dosa kok." ucapnya sambil terkekeh sedikit.
Pandu mencubit pipi gadis di sebelahnya, "sok dewasa lo, quotesable banget."
"Lah gue lagi gak becanda ini."
"Beneran gue gak apa, gue tuh udah biasa feeling absurdly kayak gini."
Gebi menaikkan satu alisnya, "kenapa gitu?"
"Menurut lo make sense gak kalau lo harus punya bokap yang umurnya gak jauh sama lo, even lo harus panggil dia as 'Papa'? Menurut gue sih lawak, geli—najis." Pandu terkekeh lagi, namun Gebi paham sekali bahwa itu adalah tawa palsu.
"Em, I feel you, sih..." gumam Gebi, "tapi selagi dia baik?"
"Tetep gak make sense di otak gue, Geb."
"Lo sadar gak sih, sebenarnya kita tuh cuma butuh orang-orang tulus untuk tetap hidup di dalam dunia tipu-tipu ini." Gebi memandang lurus ke depan.
Pandu juga ikut memandang ke arah yang sama, "tapi kenapa ya Tuhan ngambil seseorang yang kita sayang banget, tanpa mikir kalau setelahnya kita bakalan hancur."
"Lo tau gak sih? Terkadang gue juga benci sama hidup gue, kayak sekarang."
Ucapan Gebi membuat Pandu seketika menghadap ke arahnya, namun Gebi tetap pada pandangan lurusnya.
"Sekarang gue lagi kangen banget sama hidup gue yang dulu, dan gue benci hal ini." Gebi menghela napasnya kasar, "gue benci saat gue kangen hal-hal yang padahal gak akan bisa gue rasain lagi. Gue tau kalau kangen sama hal-hal itu tuh sebenernya cuma buang-buang waktu, tapi gue selalu ada di titik ini."
Gebi mulai meneteskan air matanya, "Pan, sebenernya kita hidup di dunia ini buat apa sih selain buat ngerasain rasa sakit?"
Pandu mengelus pundak gadis di sebelahnya yang ia paham jelas bahwa ia sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan segala cerita suramnya.
"Gue kangen Papa," kini air mata gadis itu menderas, ia memejamkan kedua matanya.
Pandu memegang kedua pundak Gebi, kemudian ia tatap mata gadis itu untuk seolah mentransfer segala kekuatan yang ia miliki.
"Hey, hey, Gebi." cowok iru mulai menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Gebi. "Mau gue anter ke rumah lo, biar lo ketemu bokap lo? Gue yakin bokap lo juga sebenernya kangen sama anak gadisnya ini."
![](https://img.wattpad.com/cover/190188591-288-k211198.jpg)
YOU ARE READING
KARSA DARI RASA
RandomPandu Longsadapit, Flat Boy yang sebelumnya tidak tahu apa arti kehidupan, sebelum akhirnya bertemu dengan Gebi Kintan Clarasya- si cewek nyebelin yang membuatnya merasa jengah jika bertemu gadis itu. Mereka saling membenci, saling beradu argumen, b...