-36-

38 1 0
                                    

Pagi ini, Global International School terlihat sangat damai. Mulai dari cuacanya, penghuninya, hingga si Pandu yang terkenal dengan kebadungannya itu untuk pada hari ini; tidak terlambat. Tentu itu adalah sebuah hal langka yang patut diapresiasi.

Cowok itu melangkahkan kakinya di koridor, yaaa... sudah bisa ditebak apa reaksi para siswi sekolah melihat pangerannya memasuki area koridor sekolah. Pandu hanya perlu berlagak tidak dengar segala cuitan yang masuk ke dalam telinganya.

Ia terus menusuri koridor dengan tatapan tajam & lurusnya. Mata hazel milik lelaki itu tidak beralih kemanapun, ia tetap fokus pada tujuannya; yaitu kelas.

Tetapi langkah cowok itu seketika berhenti saat melihat wanita yang baru saja melintas menyalip dirinya dengan langkah gotainya. Dengan segera Pandu mengejar wanita itu hanya dengan berlari kecil. Pergelangan tangan wanita itu berhasil Pandu genggam.

"Elsa," ya, wanita itu adalah Elsa.

"Ada apa?" ingatan Elsa kembali pada malam kemarin, dimana dirinya sangat berbunga-bunga karena mendapatkan kata-kata manis dari lelaki yang mengantarnya pulang kemarin malam. Elsa ingat sekali dimana dirinya menunggu telepon masuk dari Pandu yang padahal sudah berjanji akan menelepon dirinya pada malam itu, tetapi nyatanya Pandu berbohong.

"Berangkat sama siapa?" tanya Pandu seperti tidak mengingat apapun.

"Papa." jawab Elsa untuk kemudian ia melepaskan tangannya dari genggaman Pandu, "aku mau masuk kelas, ada tugas yang belum kukerjain. Permisi." ujarnya kemudian pergi meninggalkan Pandu.

"El—"

"Pacaran mulu!" itu suara milik Habib yang baru saja berseru tepat di telinga Pandu.

"Sialan lo," Pandu yang menyadari kehadiran Habib segera pergi meninggalkannya.

"Tungguin napa," Habib mulai mensejajari langkah Pandu. "Pan, si Radit belum juga ada tingkah mencurigakan ya?"

Pandu mengangkat kedua bahunya, "kurang tau gue, gak mau fokus ke dia dulu, gue mau fokus ke—"

"Ke Ratu Cantik!" serobot Habib.

Pandu memincingkan kedua matanya.

"Atau ke Gebsky?"

"Gue tonjok lo sekali lagi ngomong ya," Pandu melotot, "ya ke nyokap gue lah."

"Oh iya lupa sekarang gue kan lagi berbincang dengan Pandu si anak berbakti." cuit Habib dengan cengiran ciri khasnya.

"Bukan masalah berbakti atau enggaknya, tapi gimana sih rasanya nyokap lo terbaring di rumah sakit? Pedih cuy." ucap Pandu sambil memegang dadanya.

"Gila, lo lagi bener ya hari ini Pan, pantes aja gak telat." bukannya termotivasi, Habib malah mencibir temannya itu.

"Terserah lo aja Bib, gue capek sama siluman kayak lo." setelah menghela napasnya panjang, Pandu mempercepat langkahnya.

"Bentar-bentar, tapi gue mau nanya." lagi-lagi Habib menyusul langkah Pandu.

"Apaan? Gue gak terima pertanyaan aneh-aneh."

"Lo udah jadian sama—"

"Iya udah, sama nenek lo!" seru Pandu dengan sabgat geram.

"Ih amit-amit, ngimpi apa semalem gue—punya kakek tiri kayak lo." Habib berdelik ngeri, "eh anjir tapi ngomong-ngomong, nenek gue kan udah meninggal." ia menggaruk telungkuknya, merasa konyol dengan ucapannya sendiri.

"Makanya minimal mandi kalau sekolah, jangan cuci muka doang, tolol kan jadinya?" ucap Pandu dengan begitu santainya. "Udah lo diem ya, jangan ngerusak pagi gue."

***

Jam istirahat kali ini, Hanin dan Citra mengajak Gebi ke rooftop sekolah. Sambil menikmati siomay yang sebelumnya mereka beli di kantin.

"Padahal disini enak ya tempatnya, tapi kenapa sepi coba?" tanya Gebi sambil melahap siomaynya.

"Mungkin karena takut." jawab Hanin yang baru saja membuka bungkus siomaynya.

"Takut kenapa?"

"Disini kan sempet ada kasus pembunuhan gitu," jawabnya.

Sontak Citra langsung melompat dari tempt duduknya. "Serius? Kok gue baru denger berita itu?" hampir saja siomay di dalam mulutnya terlempar keluar.

"HAHAHAHA." Hanin terkekeh dengan puas. Niat hati ingin menakuti Gebi, tetapi yang kena malahan Citra. "Cit, lu keliatan banget idiotnya sih?"

"Ih, serius! Gue lagi gak becanda." tegas Citra dengan wajah geramnya.

"Ya enggak lah. Lagian kan lo tau sendiri kenapa alasan rooftop sepi." ujar Hanin.

"Ih!"

"Kok malah jadi ribut sih? Gue nanyaaaa," Gebi yang sedari tadi hanya menjadi penonton setia dari adegan ribut ributan barusan akhirnya buka suara.

"Iya jadi rooftop ini sepi tuh karena biasanya Geng Killer selalu nongkrong disini. Ya sebenernya sih fine fine aja, Killer juga gak ngelarang siswa siswi lain kesini, cuma yaa mereka udah pada kicep duluan aja." jelas Hanin.

Gebi mengangguk, "sumpah padahal ya, mereka tuh gak ada killer killernya sama sekali. Masih lebih killer Bu Sukma kalau kata gue." ujar Gebi sambil terkekeh.

Hanin dan Citra ikut terkekeh, "Bu Suk emang gak ada lawan sih Geb." celetuk Citra.

Ditengah obrolan hangat ketiga sahabat karib itu, suara lengkingan wanita yang menusuk telinga mereka sontak memberhentikan obrolan mereka.

"Woiii!!!!" teriak wanita itu.

Gebi, Hanin dan Citra langsung berdiri, memandang wanita yang baru saja berteriak itu diikuti oleh ketiga teman sebayanya.

"Ada apa? Bisa gak teriak-teriak gak? Lo ini gak lagi di hutan kan? Gak lagi jadi tarzan kan?" ucap Gebi dengan segala emosinya.

"Who's care?" ucap cewek itu dengan tatapan tajamnya. Kemudian ia menyodorkan ponselnya, di layar ponsel itu sudah tertera jelas jepretan foto dirinya dan Pandu yang dipasang di Instagram Story milik Gebi.

"Ada apa?" tanya Gebi menaikkan satu alisnya.

"Gue kan udah pernah bilang kalau gue gak suka lo deket-deket sama Pandu." itu adalah suara milik; siapa lagi kalau bukan Nadine, si fans fanatik Pandu.

Gebi terkekeh hambar, "inilah akibatnya kalau mencintai sesuatu dengan berlebihan, melewati batas. Lo sadar gak sih Mbak lo itu malu-maluin diri lo sendiri?" Gebi berucap dengan lantang. "Lo gak inget tempo hari lo juga pernah labrak gue, labrak Elsa juga, seolah-olah lo ini pacarnya Pandu, padahal nyatanya? Pandu anggap kehadiran lo aja enggak."

"Anjing!" satu tamparan hampir saja mendarat di pipi Gebi kalau saja tangan Gebi tak menahan tangan Nadine.

"Hey, ngaca—siapa yang anjing? Lo, atau gue?!" Gebi menghempaskan tangan Nadine. "Lagian lo gak puas-puas apa? Bahkan kemarin sampe Pandu loh yang turun tangan, tapi lo masih gak sadar juga ternyata. Udah gak waras lo ya?"

Terlihat wajah geram Nadine yang begitu tak terkontrol, ketiga dayang-dayangnya pun bahkan tak berkutik untuk sekedar membela ratunya itu.

"Nadine, sorry ya kalau omongan gue akan sakit, tapi Pandu bener-bener gak bisa balas perasaan lo, jadi mendingan lo stop. Lo cantik loh, masa iya harga diri lo semurah ini?" Gebi mendekatkan wajahnya ke telinga Nadine, "dan perlu lo tau, lo udah ngerusak waktu damai gue sama temen-temen gue loh, jadi selain lo gak punya harga diri, ternyata lo gak punya attitude juga ya. Oh, kalau gitu pantes aja Pandu ogah sama lo."

"Semoga kata-kata gue barusan bisa bikin lo sadar kalau lo—gak lebih dari sekedar... sampah." ucap Gebi dengan puas, untuk kemudian ia mengajak kedua temannya pergi dari sana. "Permisi"

Jemari Nadine terkepal, ia menahan sesak di dadanya. Matanya memerah, ia ingin sekali menjambak rambut gadis yang ucapannya baru saja membuat ia naik darah.

"Aaaa, fuck you!!!" teriaknya dengan begitu penuh amarah.

•••

KARSA DARI RASAWhere stories live. Discover now