-32-

223 13 4
                                    

Langkah gotai cowok berjaket jeans kebangsaannya itu mulai merusuhkan ruangan, ia sempat menabrak beberapa suster dan orang-orang yang berlalu lalang. Setelah ia mendapatkan informasi dari resepsionis di ruang berapa Dinda dirawat, ia segera berlari menuju sana. Ruang nomor 303, lokasinya ada di lantai 3.

Pandu segera masuk ke dalam ruangan itu kemudian menghampiri Dinda yang sedang terbaring di brankar.

"Mama!" serunya yang membuat Dinda terbangun dari tidurnya.

Pandu memegang tangan Dinda, kemudian beranjak mengelus keningnya. "Mama kenapa?" tanyanya dengan begitu penuh kekhawatiran.

Sebetulnya Dinda sedikit shock dengan kehadiran Pandu yang begitu tiba-tiba, namun sedetik kemudian bibir pucatnya memancarkan tersenyum kebahagiaan.

"Mama baik-baik aja, sayang." ujarnya meyakinkan anaknya, meski wajah pucatnya begitu tidak mendukung bahwa ia baik-baik saja.

"Kalau Mama baik-baik aja, Mama gak mungkin disini." ujar Pandu sambil terus mengelus kening Dinda.

"Mama gak apa-apa, serius deh." Dinda terkekeh kecil. Ia senang melihat Pandu yang kini sekhawatir itu dengannya. Pasalnya, sudah lama ia tidak melihat anaknya melakukan hal yang paling ia rindukan ini.

Pandu menghela napasnya, kemudian mencium kening Dinda dengan begitu penuh kasih sayang.

"Mama udah minum obat?"

Dinda mengangguk, "baru aja Suster kasih Mama obat, Nak."

Pandu mengangguk, menarik kursi yang ada di samping nakas ke dekatnya. Kemudian ia duduk di kursi, tangannya masih tidak lepas menggenggam tangan Dinda.

"Pandu, Mama kangen, Nak..." tutur Dinda dengan begitu lirih.

Mata Pandu seolah tidak bisa berkedip, ia tersenyum sambil mengangguk, "Pandu kan disini aja, Ma." ucapnya sambil terus menggenggam tangan Dinda.

Dinda tersenyum, "ini kamu sudah pulang sekolah? Gak bolos kan?" tanya Dinda sambil berusaha untuk duduk.

"Biar Pandu bantu, Ma." Pandu membantu Dinda untuk duduk dari rebahannya. Ia menyandarkan bantal ke kepala brankar. Kemudian Dinda duduk menyandar di bantal.

Pandu duduk kembali di kursinya, "udah. Tadi Pandu sempet pulang dulu, Keano ngasih tau waktu Pandu udah di rumah."

"Papa, sayang. Dia kan sekarang suami Mama, jadi arrinya dia Papamu, kan?" ujar Dinda dengan sangat berhati-hati.

"Dia tuh udah stress Ma, gak waras. Mama masuk rumah sakit masa dia gak kabarin Pandu? Tunggu Pandu pulang dulu. Kan sakit jiwa." gerutu Pandu.

"Nak..." Dinda menggelengkan kepalanya.

"Kenapa sih Ma harus dia?" tanya Pandu yang kini nada bicaranya meninggi. "Gak ada laki-laki lain apa? Ma, Mama gak ngerti-ngerti juga apa kalau Pandu gak bisa nerima dia karena dengan dia menjadi suami Mama, dengan dia menjadi Papa tiri Pandu itu gak masuk akal!"

"Nak, tolong hargai dia sebagaimana layaknya." Dinda bersuara lembut, masih dengan tatapannya yang sangat penuh harap.

"Gimana bisa sih Ma Pandu manggil dia dengan sebutan Papa, sedangkan usia kami gak jauh beda. Mama nih lucu ya." ujar Pandu sambil melengos.

"Pandu, tolong Nak... Pandu belajar terima Papa Keano ya? Papa Keano sayang sama Pandu, setiap malam dia pasti selalu tanya ke Mama, kapan Pandu bisa nerima dia sebagai Papanya." ujar Dinda lagi, kini ia mencoba lebih meyakini anak bujangnya itu.

Pandu menghela napas jengah, "Pandu mau cari makan dulu Ma di luar, Mama tunggu sebentar ya disini." ujarnya mencoba mengalihkan pembicaraan, kemudian ia berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan.

KARSA DARI RASAWhere stories live. Discover now