Bab 32

26 15 0
                                    

Ia berdiri di muka jendela, melihat ke luar, punggungnya menghadap ke arahku. Tingginya sekitar 186 senti, lebih tinggi daripada yang kuperkirakan saat aku melihatnya di televisi. Ia mengenakan celana dari bahan khaki, sepatu karet, dan jaket sekolahnya. Tangannya di dalam saku, dan ia menggoyang-goyang kaki kanannya. Aku mendapat kesan ia sedang waswas.

Rupanya ia mendengar suara langkah kakiku, karena ia memutar tubuhnya. Kami berpandangan.

"Kau tidak akan pernah bisa memungkirinya," ujar nenekku setiap kali, dalam nada bergurau pada ibuku tentang Min Young. "Dia presis kau."

Andai kata nenekku ada di sini, ia pasti akan mengatakan hal yang sama mengenai kami. Dari luar, setidaknya, kami tidak akan pernah dapat saling memungkiri.

"Halo, So Eun, aku adikmu, Taehyung." Ia melangkah menghampiriku sambil mengulurkan tangan.

Aku menyambutnya.

"Apakah aku boleh bicara denganmu lima menit saja?" Suaranya belum betul-betul dalam, namun sudah mulai. Ia tampak cemas, tapi nekat.

Aku menggeleng, kemudian mengambil ancang-ancang untuk meninggalkannya.

"Kau kakakku," ujarnya. "Setidaknya bicaralah padaku lima menit saja. Siapa tahu kau akan suka padaku, begitu kau mengenalku."

Aku membalikkan tubuh ke arahnya. "Taehyung, kau kelihatannya anak baik, tapi aku yakin kau bisa menggunakan waktumu dengan lebih baik daripada menghabiskannya denganku. Aku tahu kau dikirim kemari oleh ayahmu. Sepertinya dia tidak menangkap aku tidak pernah mau melihat atau mendengar apa-apa lagi mengenai dirinya."

"Dia juga ayahmu. Entah kau mau percaya atau tidak, dia tidak pernah berhenti menjadi ayahmu. Dia tidak mengirimku kemari. Dia bahkan tidak tahu aku ada di sini. Aku kemari karena ingin bertemu denganmu. Dari dulu aku ingin bertemu denganmu."

Aku menangkap nanda memohon dalam suaranya, "Bagaimana kalau kita minum soda atau apa?"

Aku menggeleng.

"Aku mohon, So Eun."

Entah karena cara ia menyebut namaku, atau mungkin memang sulit bagiku untuk bersikap lebih keras padanya. Ia tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa padaku.

Akhirnya aku berkata, "Ada mesin otomatis di lorong." Aku mulai merogoh dompetku.

"Aku ada. Kau mau minum apa?"
"Air putih."

"Aku juga. Aku akan segera kembali." Senyumannya malu-malu, sekaligus lega.

Aku duduk di kursi rotan untuk dua orang, kemudian mencoba mencari cara untuk mengusirnya pergi. Aku tidak ingin mendengar rengekkannya mengenai betapa baiknya ayah kami, dan sebaiknya merelakan yang sudah berlalu.

Mungkin ayahku memang baik untuk dua anak-anaknya, untuk Min Young dan untukmu, tapi aku sepertinya terselip entah dimana.

Taehyung kembali membawa dua botol berisi air. Aku bisa membaca pikirannya saat ia melihat kursi rotan untuk dua orang itu, dan sebuah kursi. Aku tidak mau ia duduk di dekatku. Saudara sedarah-sedagingku, batinku. Tidak, itu ungkapan untuk Adam dan Hawa, bukan untuk dua orang bersaudara.

Saudara seayah.

"So Eun, maukah kau datang menontonku main basket sekali-sekali?"

Aku sama sekali tidak siap untuk pertanyaan itu.

"Maksudku, apakah setidaknya kita tidak bisa berteman? Dari dulu aku berharap kau mau datang menengok kami, tapi kalau kau tidak mau, mungkin kau dan aku bisa sekali-sekali ketemu. Aku membaca bukumu tahun lalu, mengenai kasus-kasus yang kaukerjakan. Hebat sekali. Aku ingin sekali bicara denganmu tentang itu."

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang