Satu jam kemudian, udara mulai berubah. Suara getaran lembut kaca yang longgar dari jendela di atas tempat cuci piring menunjukkan gejala pertama perubahan kecepatan angin. Aku menghela diriku untuk menaikkan thermostat—pengatur suhu ruang, setelah itu aku duduk di muka komputer. Menyadari bahwa aku hampir-hampir merasa kasihan pada diriku sendiri, aku mulai mengerjakan awal bab pertama bukuku.
Setelah mencoba beberapa kali, aku tahu seharusnya aku memulai dengan kenangan terakhirku tentang Min Young, dan saat aku menulis, kenanganku terasa nyata. Aku bisa membayangkan kamarnya dengan seprai putih dari bahan organdi dan tirai berumbai-rumbai. Jelas terbayang olehku detail lemari bufeto kuno yang dengan begitu cermat dibuat tampak cantik oleh ibuku. Aku bisa melihat foto-foto Min Young dan teman-temannya yang diselipkan dalam bingkai cermin di atas lemari bufet itu.
Terbayang olehku Min Young berurai air mata saat berbicara di telepon dengan Yoo Ah In, dan setelah itu aku melihatnya mengenakan liontinnya. Saat menulis, aku menyadari ada sesuatu mengenai liontin itu yang masih tetap menggangu pikiranku. Aku tahu aku tidak dapat secara positif mengenalinya kembali sekarang, kalaupun aku melihatnya, tapi waktu itu aku memberikan deskripsi yang jelas mengenai liontin itu pada polisi—deskripsi yang sekian tahun lalu disisihkan begitu saja dan dianggap khayalan seorang bocah.
Namun aku tahu ia mengenakan liontin itu saat aku menemukan dirinya, dan aku yakin mendengar suara Yoo Ah In di garasi yang merupakan tempat persembunyian itu. Ibuku menceritakan padaku sesudahnya bahwa ia dan ayahku membutuhkan waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk menenangkan aku, sampai aku cukup dapat mengendalikan diri dan bisa mengungkapkan pada mereka di mana aku menemukan tubuh Min Young. Waktu yang cukup bagi Yoo Ah In untuk meninggalkan tempat itu. Dan ia telah membawa liontin itu bersamanya.
Di atas mimbar saksi ia menyatakan sedang pergi jogging waktu itu, dan bahwa ia sama sekali tidak berada di sekitar garasi itu. Namun ia telah mencuci dan menggunakan pemutih untuk semua pakaian yang dikenakannya pagi itu, bersama pakaian-pakaiannya yang kena darah dari malam sebelumnya.
Sekali lagi aku sempat tertegun membayangkan risiko yang diambilnya dengan kembali ke garasi itu. Untuk apa ia mencoba mengambil kembali liontin itu? Apakah ia takut benda itu bisa menjadi bukti yang cukup kuat bahwa Min Young bukan sekedar gadis yang mengejar-ngejarnya? Bahkan pada saat aku mengingat-ingat kejadian pagi itu, suara napas memburu dengan dengus tertahan yang dikeluarkannya saat ia bersembunyi di sisi lain mobil pickup itu, tanganku terasa lembap di atas tuts-tuts komputerku.
Andai aku tidak menerobos hutan sendirian, tapi mengajak ayahku bersamaku? Ah In pasti tertangkap di dalam garasi itu. Apakah melulu rasa panik yang membawanya ke sana? Apakah mungkin ia butuh memastikan bahwa apa yang telah dilakukannya bukan sekedar mimpi buruk? Atau, lebih parah lagi, apakah ia kembali untuk memastikan Min Young betul-betul sudah tidak bernyawa lagi.
Jam tujuh aku menyalakan oven dan memasukkan sebutir kentang untuk dipanggang, setelah itu aku kembali bekerja. Tak lama kemudian, pesawat telepon berdering, ternyata Kim Sang Bum.
"Hai, So Eun."
Nada suaranya mengingatkanku untuk langsung bersiap-siap.
"Ada apa, Bum?"
"Kau tidak punya waktu buat basa-basi lagi, ya?"
"Kita tidak bisa berbasa-basi. Itu kesepakatan kita."
"Begitu rupanya. So Eun, usaha persuratkabaran kita akan dijual. Itu sudah pasti sekarang. Pengumumannya akan disebar pada hari Senin. Semua akan di PHK."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's Little Girl ✔
RomanceKetika Kim So Eun berusia delapan tahun, kakaknya, Min Young, tewas dibunuh di dekat rumah mereka di Oldham-on-the-Hudson. Ada tiga tersangka: Yoo Ah In, pemuda tampan dari keluarga kaya setempat, yang diam-diam menjalin hubungan dengan Min Young; P...