Bab 41

48 12 0
                                    

Andai semula aku mengharapkan sedikit keromantisan dalam pertemuan kami, harapan itu segera sirna. Kim Bum menyambutku dengan sapaan, "Kau kelihatan hebat," yang disusul kecupan ringan di pipi.

"Dan kau begitu keren, tampangmu seperti baru memenangkan undian belanja gratis selama lima belas menit di Bloomingdale's," sahutku.

"Dua puluh menit," ujarnya mengoreksi. "Aku sudah lapar sekali, kau?"

Aku sudah memesan tempat di Cathryn's, dan saat kami meluncur ke sana, aku berkata, "Ada satu permintaan serius."

"Oke."

"Malam ini aku tidak ingin membicarakan apa yang kulakukan selama beberapa minggu terakhirku ini. Kau sudah membaca situsku, jadi kau tahu bagaimana perkembangannya. Tapi aku butuh melupakan itu selama beberapa jam. Jadi, malam ini akan menjadi malammu. Ceritakan padaku ke mana saja kau persisnya, sejak aku melihatmu terakhir kali di Atlanta. Aku mau tahu setiap detail wawancara-wawancaramu. Setelah itu, ceritakan padaku kenapa kau begitu antusias mengenai pekerjaan yang akan kauambil itu. Kau bahkan boleh mengungkapkan padaku apakah kau sempat menemui kesulitan memilih antara dasi merah bagus yang jelas masih baru itu, atau yang lain."

Kim Bum mempunyai kebiasaan mengangkat alis. Ia melakukannya sekarang. "Kau serius?"

"Ya."

"Begitu melihat dasi ini, aku tahu aku harus memilikinya."

"Hebat sekali," sahutku. "Aku mau dengar lebih banyak lagi."

Di restoran kami mempelajari menu, memesan ikan salmon asap dan pasta seafood, dan sepakat untuk berbagi sebotol Pinot Grigio. "Untunglah kita sama-sama suka makanan pembuka yang sama," ujar Kim Bum. "Jadi mudah menentukan anggurnya."

"Terakhir kali aku kemari, aku memesan hidangan iga kambing muda," ujarku.

Ia menatapku.

"Aku paling suka bikin kau kesal," kataku.

"Aku tahu."

Saat makan, ia jadi lebih terbuka padaku. "So Eun, aku tahu usaha persuratkabaran itu mengalami penurunan. Itu yang biasanya terjadi pada usaha keluarga yang generasi penerusnya cuma tertarik pada dolarnya. Terus terang, itu membuatku resah. Dalam bisnis ini, kecuali ada alasan bagus untuk berkutat di situ, kau harus bisa membuka mata untuk peluang-peluang lain."

"Lalu kenapa kau tidak angkat kaki dari dulu?" tanyaku.

Ia menatapku. "Aku pernah mempertimbangkan itu. Tapi asa dua hal yang aku tahu pasti. Aku ingin bekerja di bisnis persuratkabaran yang mantap seperti The New York Times, L.A. Times, Chicago Trib, atau Houston Chronicle—atau mencoba menekuni sesuatu yang sama sekali berbeda. Ada penawaran dari beberapa koran, tapi kemudian peluang untuk 'sesuatu yang lain' itu terbuka, dan aku meraihnya."

"Stasiun TV Kabel baru."

"Persis. Aku akan mulai awal. Ada risikonya, tentu saja, tapi beberapa investor yang berbobot sudah menyatakan komitmen mereka."

"Kaubilang pekerjaan ini membuatmu sering harus berpergian?"

"Dengan sering, maksudku ala pengarah acara saat mengincar peliputan besar."

"Maksudmu kau akan menjadi pengarah acara!"

"Mungkin kata itu masih terlalu muluk untuk saat ini. Aku akan bekerja di bagian berita. Singkat, tegas, dan blak-blakan itu gaya masa kini. Mungkin aku akan sukses; mungkin juga tidak."

Aku mempertimbangkan ucapannya. Kim Bum cukup cerdas dan bersemangat, dan selalu menangkap situasinya dengan cepat. "Menurutku kau punya bakat untuk itu," ujarku.

"Ada sesuatu yang menyentuh dari caramu memberiku pujian, So Eun. Jangan terlalu tinggi menilaiku, bisa-bisa aku besar kepala nanti."

Aku tidak menanggapi. "Kalau begitu, basismu nanti di New York City. Apa kau akan pindah ke sana?"

"Aku sudah pindah ke sana. Aku sudah menemukan apartemen di SoHo. Tidak mewah, tapi lumayan sebagai awal."

"Apakah itu bukan langkah yang terlalu besar untukmu? Seluruh keluargamu ada di Atlanta."

"Kakek-nenek dari kedua orangtuaku orang New York. Aku bisa mengunjungi mereka sewaktu aku masih anak-anak."

"Begitu."

Kami terdiam saat meja dibersihkan. Kemudian, setelah kami memesan kopi espresso, Kim Bum berkata, "Oke, So Eun, kita sudah memainkan ini sesuai peraturanmu. Sekarang aku memasukkan koin-koinku. Aku ingin mendengar semua rencanamu, semuanya."

Sementara itu, aku sudah merasa siap membicarakannya, karena itulah aku mulai mengungkapkan semuanya, termasuk mengenai kunjungan Taehyung. Setelah aku selesai, Kim Bum berkata, "Ayahmu benar. Sebaiknya kau pindah ke tempatnya, atau setidaknya tidak terlihat di seputar Oldham."

"Kurasa dia benar mengenai itu," aku mengakui dalam nada enggan.

"Aku harus ke Chicago besok pagi, untuk pertemuan dengan dewan direksi Packard Cable. Aku akan pergi sampai hari Sabtu. So Eun, kumohon kau ke New York dan tinggal di apartemenku. Kau bisa tetap berhubungan dengan Cho Jin Woong, Mrs. Choi, dan Mrs. Park dari sana, dan kau juga masih bisa meneruskan situsmu. Tapi kau akan aman. Kau mau, kan?"

Aku tahu ucapannya benar. "Untuk beberapa hari, sampai aku tahu ke mana aku akan pergi, oke."

Begitu kami tiba kembali di tempat penginapan, Kim Bum meninggalkan mobilnya di jalan mobil dan mengantarku masuk ke dalam. Si petugas malam sedang berada di mejanya. "Apa ada yang mencari Ms. Kim?" tanya Kim Bum padanya.

"Tidak ada, Sir."

"Ada pesan untuknya?"

"Mr. Cho dan Mrs. Choi membalas telepon Ms. Kim."

"Terima kasih."

Di kaki tangga ia meletakkan tangannya di pundakku. "So Eun, aku tahu kau merasa harus melakukan ini semua, dan aku mengerti itu. Tapi sekarang kau tidak bisa melakukannya sendirian lagi. Kau butuh kami."

"Kami?"

"Ayahmu, Taehyung, dan aku."

"Kau sudah berhubungan dengan ayahku, ya?"

Ia menepuk pipiku. "Tentu saja sudah."

14/06/21

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang