Bab 23

79 13 0
                                    

Dari meja resepsionis Parkinson Inn aku bisa melihat ke dalam restoran, dan menyaksikan mereka yang sedang menikmati makan siang akhir minggu. Suasana hari itu rupanya ekstra menyenangkan. Aku bertanya-tanya apakah sore yang hangat di musim gugur memang memberikan efek itu setelah beberapa hari yang terus mendung di awal minggu ini.

"Aku khawatir keenam kamar kami sudah penuh untuk akhir minggu ini, Ms. Kim," ujar si resepsionis. "Memang begitu setiap akhir minggu sejak musim gugur ini, dan itu masih akan terus sampai liburan Natal."

Oke, kalau begitu. Percuma tinggal di sini selama tengah mingggu, kemudian pindah pada hari minggu. Aku harus mencari tempat lain. Namun aku enggan berkeliling dari satu penginapan atau motel ke motel lain. Aku memutuskan akan jauh lebih efisien kalau aku kembali ke apartemen, mengeluarkan buku telepon, dan mulai menelepon untuk memastikan di mana aku bisa tinggal selama beberapa minggu berikut ini. Lebih ideal lagi kalau aku bisa menemukan tempat yang tidak membuatku bangkrut sama sekali.

Sejak pagi aku baru makan sepotong muffin jagung. Waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh, dan aku sedang tidak ingin makan roti sandwich dengan keju Amerika, tomat, dan selada, yang seingatku merupakan satu-satunya yang masih ada di apartemenku.

Aku masuk ke restoran itu dan langsung mendapat tempat duduk. Secara teknis meja itu untuk dua orang, meskipun orang yang akan menempati kursi satunya harus memiliki postur sekurus tengkorak. Kursi itu diletakkan di sudut tajam pojok tempat aku dipersilahkan duduk, tanpa ruang gerak. Di sebelahku terdapat meja untuk enam orang, dangan tanda sudah dipesan bersandar pada tempat garam dan mericanya.

Dalam perjalanan kelilingku, aku baru sekali ke Boston, ketika sedang mengolah kelanjutan berita yang kuliput. Kunjungan singkat itu meninggalkan rasa suka yang permanen pada clam chowder—sup tiram ala New England, yang menurut menu merupakan hidangan istimewa hari itu.

Aku memesannya, berikut salad hijau dan sebotol Perrier. "Aku suka supku panas sekali," ujarku pada si pelayan. Sementara menunggu dilayani, aku mencamil roti renyah dan mulai menganalisis kenapa aku merasa tidak enak, dan bahkan gelisah.

Tidak sulit sebetulnya untuk menemukan alasannya, putusku. Beberapa minggu yang lalu, ketika aku kemari, aku merasa seperti semacam Don Quixote perempuan yang hendak menantang kincir angin. Tapi kenyataan yang menyedihkan adalah bahkan mereka yang tadinya kuperhitungkan akan sama yakinnya seperti aku mengenai status bersalah Yoo Ah In ternyata tidak berada di pihakku.

Mereka mengenalnya. Mereka tahu seperti apa dia. Tapi toh masih menganggap mungkin ia telah melewati usia dua puluh dan tiga puluhannya di penjara sebagai orang yang tidak bersalah, sebagai korban tindak pembunuhan itu. Seberapa besar pun rasa simpati mereka terhadapku, di mata mereka aku dianggap anggota keluarga yang terobsesi dari gadis yang sudah lama meninggal itu, ngotot dan tidak masuk akal di satu pihak, nyentrik dan tidak stabil di pihak lain.

Aku tahu dalam beberapa hal aku memang arogan. Saat aku merasa diriku benar, kekuatan surga maupun neraka tidak akan bisa menggoyahkanku. Mungkin karena itulah aku reporter investigasi yang andal. Aku memliki reputasi yang bisa menerobos hal-hal yang tidak mungkin, bersikukuh pada apa yang kuanggap kebenaran, dan setelah itu membuktikannya. Kini, saat duduk di restoran ini, tempat dulu sekali aku pernah duduk sebagai anggota paling kecil sebuah keluarga bahagia, aku mencoba bersikap jujur pada diriku sendiri. Mungkinkah tekad kuat yang telah membuatku menjadi reporter yang baik, pada saat ini justru berdampak sebaliknya? Apakah aku sedang melakukan sesuatu yang berdampak tidak baik terhadap orang-orang seperti Mrs. Choi dan Jessica Jung, pada Yoo Ah In yang begitu aku benci?

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang