Bab 8

256 34 2
                                    

Ketika merasa air mataku mulai merebak, aku menjauhi jendela, meraih tas ranselku, dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Aku hampir tersenyum saat membongkarnya, membayangkan bisa-bisanya aku mengkritik koleksi pakaian Kim Bum yang seadanya. Aku mengenakan jeans dan sweater berleher tinggi. Di dalam tasku, selain baju tidur dan pakaian dalam, aku hanya membawa sehelai rok panjang dari wol dan dua sweater lagi. Aku suka sepatu model kelom, karena cocok untuk posturku yang 176 senti. Rambutku masih tetap berwarna arang. Aku membiarkannya tumbuh panjang, kadang-kadang menyanggulnya ke atas, atau menjepitnya begitu saja di belakang leherku.

Min Young yang cantik dan feminim amat mirip ibuku. Aku sendiri lebih memiliki postur kasar ayahku, yang lebih cocok untuk sosok laki-laki daripada wanita. Tak seorang pun akan menyebut aku seperti bintang di pohon Natal.

Aroma menggoda menebar keluar dari dalam ruang makan, dan aku mulai lapar. Aku memilih penerbangan pagi dari Atlanta, sehingga tentu saja aku harus tiba di bandara jauh sebelum jam keberangkatanku. Hidangan makanannya—maaf, hidangan minumannya—ternyata secangkir kopi yang sama sekali tidak enak.

Jam satu tiga puluh aku turun ke ruang makan, orang-orang yang makan siang sudah mulai meninggalkan tempat itu, sehingga dengan mudah aku mendapatkan meja di pojok, dekat perapian. Aku baru menyadari bahwa aku agak kedinginan ketika hawa hangat menerpa tangan dan kakiku.

"Anda mau memesan minuman?" tanya si pelayan, wanita berambut abu-abu dengan wajah tersenyum dan tanda nama "Liz".
Kenapa tidak? batinku, kemudian aku memesan segelas anggur merah.
Begitu ia kembali, kukatakan padanya aku ingin memesan sup bawang, dan ia menyatakan itu memang hidangan kesukaan banyak orang.

"Apa kau sudah lama disini, Liz?" tanyaku.

"Dua puluh lima tahun. Coba bayangkan."
Ia tentunya pernah melayani kami bertahun-tahun lalu. "Masih menyimpan roti sandwich dengan jelly dan selai kacang?" tanyaku lagi.
"Ya tentu, apa Anda sering memesannya dulu?"

"Ya." Mendadak aku menyesal mengatakan itu. Aku sama sekali tak ingin orang-orang mengenaliku sebagai "adik perempuan gadis yang dibunuh dua puluh satu tahun yang lalu."

Namun Liz sepertinya sudah terbiasa mendengar basa-basi dari mereka yang pernah makan di losmen itu bertahun-tahun yang lalu, dan tanpa berkomentar lagi ia meninggalkan mejaku.

Aku mencicipi anggur itu, dan perlahan-lahan mulai mengingat kejadian-kejadian khusus saat kami duduk di sini sebagai keluarga, ketika kami masih hidup sebagai keluarga. Saat ada yang berulang tahun, biasanya, atau kalau mampir untuk makan dalam perjalanan pulang setelah berpergian. Terakhir kali kami kemari adalah ketika nenekku datang berkunjung setelah tinggal di Florida selama hampir setahun. Aku masih ingat saat ayahku menjemputnya di bandara, kemudian bertemu dengan kami di sini. Kami memesan kue untuknya, dengan huruf-huruf berwarna pink di atas glasir putih yang berbunyi, "Selamat datang, Grandma."

Ia mulai mengucurkan air mata. Air mata bahagia. Air mata bahagia terakhir yang diuraikan dalam keluarga kami. Kenangan itu mengingatkan aku kembali pada banjir air mata di hari pemakaman Min Young, dan percekcokan terbuka antara kedua orangtuaku di depan banyak orang.

Nb : Saya tahu postur tubuh So Eun eonni kurang lebih hanya 163 cm, tapi demi kebutuhan cerita, kalian coba bayangkan saja ya 😁
Dan terima kasih sudah mampir membaca 😄


29/11/18

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang