Bab 29

39 14 0
                                    

Menjelang Rabu malam, keadaanku sudah boleh dibilang normal kembali. Aku sudah punya kartu kredit, SIM, dan uang. Uang muka untuk bukuku sudah ditransfer ke rekeningku melalui bank di dekat penginapanku. Istri pengelola apartemen di Atalanta telah mengepak beberapa potong pakaian untukku, dan mengirimkannya tadi malam. Lepuh di telapak kakiku sudah memulih, dan aku bahkan sempat merapikan rambutku di salon.

Yang paling penting, aku sudah membuat janji temu untuk hari Kamis sore di Boston dengan Jeong Seung Woon, mantan murid Arbinger yang bersekolah dengan beasiswa, yang pada usia empat belas tahun pernah dihajar habis-habisan oleh Yoo Ah In.

Aku sudah memasukkan dalam situsku pengalaman Dr. Yang Jin Sung yang lengannya pernah dipelintir oleh Yoo Ah In dan mendapat bayaran $500 dari ayahnya untuk tidak mengajukan tuntutan.

Aku sudah mengirim teksnya lewat e-mail sebelum aku memasukkannya ke Internet. Ia tidak hanya menyatakan oke, tapi juga memberikan opininya secara profesional, bahwa prilaku kekerasan dan letupan emosi yang pernah dialaminya mungkin saja merupakan reaksi yang sama dari Yoo Ah In yang berakibat terbunuhnya Min Young waktu itu.

Sementara itu, Jessica telah menghubungi teman-teman dekat Min Young di masa sekolah menengahnya, dan ia melaporkan tak seorang pun di antara mereka pernah melihat Min Young memakai liontin itu, kecuali liontin yang diberikan ayahnya padanya.

Setiap hari aku memberikan deskripsi liontin itu di situsku, dengan harapan akan memperoleh informasi yang mungkin saja akan diberikan seseorang. Sejauh ini memang belum ada hasilnya. E-mail-ku selalu penuh dengan tanggapan orang-orang. Selain itu ada juga beberapa pengirim pesan iseng. Dua mengakui sebagai pelaku pembunuhan itu. Satu menyatakan Min Young masih hidup dan mengharapkan aku menyelamatkan dirinya.

Beberapa surat isinya mengancamku. Satu yang kurasa bukan gertakan menyatakan ia sangat kecewa melihat aku berhasil lolos dari kebakaran itu. Ia menambahkan, "Baju tidurmu lucu—dari L.L. Bean, bukan?"

Apakah si penulis kebetulan mengawasi peristiwa itu dari pepohonan, atau mungkin dia si pengusup yang memasuki apartemenku, dan kebetulan melihat baju tidurku menggantung du lemari pakaian kamar tidur? Apa pun prospeknya, niatnya adalah mengintimidasi, dan kuakui dua-duanya sama menakutkan.

Aku menghubungi Mrs. Park beberapa kali dalam sehari, dan sewaktu keadaan Yoochun semakin membaik, nada lega mulai mewaranai suaranya. Namun ia masih cemas, "So Eun, kalau sampai ada sidang ulang, Yoochun terpaksa harus bersaksi. Aku khawatir dia akan melakukan ini lagi pada dirinya. Dia pernah mengatakan padaku, "Mama, dalam sidang aku tidak bisa menjawab mereka sampai mereka mengerti maksudku. Aku khawatir waktu Min Young ingin bertemu Ah In. Aku tidak pernah mengancam Min Young.'"

Kemudian ia menambahkan, "Teman-temanku meneleponku. Mereka mengikuti situsmu. Mereka bilang semua orang seharusnya punya teman seperti kau. Aku menceritakan itu pada Yoochun. Dia ingin kau datang menengoknya."

Aku berjanji akan ke sana pada hari Jumat.

Selain untuk melakukan beberapa keperluan, selama ini aku tinggal di dalam kamarku, mengerjakan buku itu. Dan aku meminta makananku diantar ke kamar. Namun pada hari Rabu pukul tujuh malam, aku memutuskan pergi ke bawah untuk makan malam.

Ruang makan penginapan ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di Parkinson Inn, meski kesannya lebih formal. Letak meja-mejanya lebih berjauhan, dan taplaknya dari bahan linen putih, bukan bercorak kotak-kotak merah-putih. Hiasan meja di Parkinson adalah tempat lilin yang lucu, bukan vas kecil berisi bunga. Mereka yang makan di sini jelas lebih tua—orang-orang berumur dari kelas yang lebih tinggi, bukan kelompok-kelompok yang masih suka berhura-hura yang biasanya memenuhi Parkinson.

Tapi makanannya sama enaknya, dan setelah berdebat dengan diriku sendiri antara menu iga kambing dan ikan, aku memilih yang betul-betul ingin kumakan. Aku memesan kambing.

Aku mengeluarkan dari tasku buku yang memang ingin kubaca, dan selama satu jam berikutnya menikmati kombinasi yang aku suka—makan malam enak dan buku bagus. Aku ingin tenggelam dalam ceritanya, sehingga ketika seorang pelayan muncul untuk mengangkat piringku dan berbicara denganku, aku mengangkat wajahku denga kaget.

Aku bilang ya, aku mau kopi dan tidak, aku tidak mau hidangan pencuci mulut.

"Tuan yang duduk di meja itu ingin menawarkan segelas minuman pada Anda."

Aku sudah tahu itu Yoo Ah In, bahkan sebelum aku menoleh. Ia duduk kurang dari 1,8 meter dariku, dengan segelas anggur di tangannya. Ia mengangkat gelasnya, sok mengajak bersulang, kemudian tersenyum.

"Dia menanyakan padaku apakah aku tahu nama Anda, Miss. Aku bilang padanya siapa Anda, lalu dia menulis ini untuk Anda."

Ia menyerahkan kartu padaku, dengan nama lengkap Yoo yang diembos di atasnya, Yoo Ah In. Ya Tuhan, dia melakukannya secara terbuka, itulah yang terpintas di kepalaku saat aku membalik kartu itu.

Di atasnya ia menulis: "Min Young memang manis, tapi kau cantik."

Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya, kemudian menyobek kartu namanya, dan menjatuhkannya ke dalam gelas anggurnya. "Mungkin kau mau memberiku liontin yang kauambil kembali setelah membunuhnya," usulku.

Pupil matanya melebar, dan ekspresi mengajak bercanda dalam matanya yang coklat terang menghilang. Sesaat aku mengira ia akan melompat berdiri dan menyerangku seperti ia menyerang Dr. Jin Sung di restoran itu sekian tahun lalu. "Kalung itu sempat membuatmu cemas sekali waktu itu, bukan?" ujarku. "Yah, kurasa sekarang pun masih, dan aku akan mencari tahu alasannya."

Si pelayan sedang berdiri di antara kedua meja jamu, ekspresinya bingung. Jelas ia tidak mengenali Ah In, dan aku bertanya-tanya sudah berapa lama ia berada di kota Oldham ini.

Dengan kepalaku aku menunjuk Ah In. "Bawakan Mr. Yoo segelas anggur lagi, dan masukkan tagihannya ke dalam rekeningku."

Entah kapan, malam itu, sistem alram mobilku dirusak orang dan tangki bensinku dibuka paksa. Cara yang sangat efisien untuk merusak mobil adalah dengan menuangkan pasir ke dalam tangki bensinnya.

Dinas kepolisian Oldham dalam wujud Detektif Lee muncul menanggapi teleponku mengenai BMW-ku yang berantakan. Secara tak langsung ia menanyai dari mana aku memperoleh pasir, dan ia menyebutkan kebakaran di garasi Mrs. Choi memang terjadi secara sengaja. Ia juga menyatakan sisa-sisa handuk dengan bekas rendaman bensin yang merupakan penyebab kebakaran itu sudah diidentifikasi mirip dengan handuk-handuk yang ditinggalkan Mrs. Choi di lemari seprai apartemennya.

"Benar-benar suatu kebetulan, Ms. Kim," ujarnya. "Bukankah begitu?"

24/03/21

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang