Bab 22

88 13 0
                                    

Mrs. Choi telah mengungkapkan padaku bahwa Jessica Jung tinggal di jalan tidak jauh dari Graymoor, biara dan juga tempat retret para bruder dari Orde Fransiskan. Ketika melewati kawasan Graymoor yang indah, samar-samar aku ingat pernah melalui jalan mobilnya berkelok-kelok, untuk menghadiri Misa di kapel utamanya bersama kedua orang tuaku dan Min Young.

Kadang-kadang ibuku membicarakan kembali tentang terakhir kali kami ke sana; dan itu terjadi tak lama sebelum Min Young meninggal. Min Young sedang sedikit konyol hari itu, dan terus saja membisikkan sesuatu yang lucu di telingaku; selagi kebaktian, aku sampai tak bisa menahan tawa. Dengan tegas ibuku memisahkan kami, dan setelah Misa mengatakan pada ayahku sebaiknya kami langsung pulang ke rumah dan melupakan acara makan yang telah kami tunggu-tunggu di the Bear Mountain Inn.

"Bahkan Min Young tidak bisa meluluhkan hati ayahmu hari itu," ujar ibuku mengenang. "Tentu saja saat semuanya terjadi beberapa minggu kemudian, aku menyesal kita tidak menikmati waktu menyenangkan terakhir itu bersama-sama."

Pada hari sebelum... waktu menyenangkan terakhir... Aku bertanya-tanya apakah kelak aku akan terbebas dari ungkapan-ungkapan seperti itu. Yang jelas, tidak hari ini, batinku, saat aku melambatkan laju kendaraanku untuk mengecek alamat Jessica kembali.

Ia tinggal di rumah berlantai tiga, di daerah yang penuh pohon rindang. Dinding-dindingnya yang terbuat dari papan putih tampak berkilau di bawah cahaya matahari, serasi dengan daun-daun jendelanya yang berkisi-kisi dalam nuansa hijau pakaian pemburu. Aku parkir di jalan mobilnya yang membentuk setengah lingkaran, menaiki tangga ke terasnya kemudian menekan bel.

Jessica yang membuka pintu. Seingatku ia jangkung, tapi aku langsung melihat bahwa ia tidak tumbuh sesenti pun selama dua puluh tahun ini. Rambutnya yang panjang kecokelatan kini hanya sampai batas kerahnya, dan tubuhnya yang dulu ramping sekarang berisi. Seingatku ia sangat menarik. Bisa kulihat bahwa itu tidak berubah, setidaknya sampai ia tersenyum—ia termasuk orang yang memiliki senyum begitu hidup dan hangat, hingga membuat seluruh wajahnya tampak cantik. Sewaktu kami saling menatap, mata cokelat Jessica berkaca-kaca sesaat, kemudian ia menggenggam tanganku.

"So Eun kecil," ujarnya. "Ya Tuhan, tadinya aku membayangkan kau lebih pendek daripada aku. Kau begitu mungil sewaktu masih kecil."

Aku tertawa. "Aku tahu. Orang-orang yang mengenalku juga bilang begitu."

Ia menggamit lenganku. "Ayo masuk, aku sudah menyiapkan sepoci kopi, dan aku akan menghangatkan beberapa kue muffin dalam oven. Belum tentu enak. Kadang-kadang rasanya oke, sekali waktu seperti bola-bola dari timah."

Kami melintasi ruang duduk yang membujur dari depan sampai ke bagian belakang rumah. Tipe ruangan yang kusukai—sofa-sofa nyaman, kursi rotan, dinding penuh buku, pendiangan, jendela-jendela lebar dengan panorama daerah perbukitan sekitar.

Kami memiliki selera yang sama, batinku. Kemudian aku menyadari bahwa selera berpakaian kami juga sama. Kami sama-sama merasa nyaman dalam sewater dan celana jeans. Tadinya aku membayangkan akan bertemu wanita bertubuh jangkung yang modis dengan rambut panjang. Selain mengharapkan tubuhku kecil, aku yakin tadinya ia membayangkan aku akan mengenakan pakaian yang penuh renda. Selera ibuku dalam memilih pakaian untuk Min Young dan aku memang amat sangat feminin.

"Tyler sedang pergi keluar dengan anak-anak," ujarnya. "Untuk mereka bertiga, hidup hanya berkisar seputar permainan basket."

Meja di ruangan sarapan sudah siap untuk kami berdua. Mesin pembuat kopi tampak menyala di atas lemari bufet. Jendelanya menggelar panorama memukau hamparan tebing yang terjal dan Sungai Hudson.

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang