Bab 11

235 31 2
                                    

Liz kembali ke mejaku, membawa sekeranjang roti renyah. Ia berbasa-basi sebentar. "Tadi Anda menyebut-nyebut roti sandwich dengan jelly dan selai kacang. Anda tentunya sering kemari dulu."

Aku merasa tergugah oleh rasa ingin tahunya.

"Dulu sekali," sahutku, sambil berusaha tampak wajar. "Kami pindah ketika aku masih kecil. Aku tinggal di Atlanta sekarang."

"Aku pernah pergi ke sana sekali. Kota yang indah." Ia pergi.

Atlanta, pintu gerbang daerah Selatan. Ternyata memang tempat yang sesuai untukku. Di saat begitu banyak rekanku sesama jurnalis hanya tertarik menekuni dunia pertelevisian, entah mengapa dari awal aku lebih berminat berkecimpung di media cetak. Dan akhirnya aku merasa menemukan diriku di sini.

Lulusan baru perguruan tinggi biasanya tidak dibayar banyak di penerbitan koran, namun berkat tunjangan asuransi yang diwariskan ibuku, aku bisa leluasa menata sebuah apartemen kecil dengan tiga kamar. Aku berbelanja dengan hati-hati di toko mebel bekas dan tempat-tempat obralan. Setelah selesai mendandani apartemenku, aku agak terkejut begitu melihat bahwa tanpa sadar aku mencipta ulang efek keseluruhan ruang duduk rumah lama kami di Oldham. Nuansa biru dan merah pada karpetnya. Sofa berlapis kain biru dan kursi bersandaran rendah. Bahkan satu set sofa bergaya ottoman, lengkap dengan bangku kecil pasangannya, walau kesannya sedikit dipaksakan.

Suasana itu membangkitkan kembali begitu banyak kenangan; ayahku yang tertidur di sofa, kaki-kakinya yang panjang berselonjor di atas bangku kecil; Min Young tanpa banyak bicara mendorong kaki-kakinya, kemudian duduk di sana; mata ayahku membuka, senyumnya mengembang menyambut anak emasnya yang cantik dan menggemaskan...

Aku selalu berjingkat-jingkat di seputar rumah kalau ia sedang beristirahat, agar tidak mengganggu tidurnya. Saat Min Young dan aku membereskan meja setelah makan, aku mendengarkan dengan seksama begitu ayahku menceritakan pada ibuku sambil menikmati secangkir kopinya yang kedua, apa yang terjadi hari itu di tempat kerjanya. Aku sangat kagum padanya. Ayahku, ujarku selalu pada diriku dengan bangga, menyelamatkan nyawa banyak orang.

Tiga tahun setelah mereka bercerai, ayahku menikah lagi. Sementara itu aku sudah melakukan kunjunganku yang kedua kali dan terakhir ke Irvington. Aku tidak menghadiri pernikahannya, juga tidak peduli ketika ia menulis untuk mengabari bahwa aku mempunyai adik laki-laki. Perkawinannya yang kedua telah memberinya anak laki-laki yang tadinya ia harapkan adalah aku. Kim Jaehyun sekarang berumur sekitar tujuh belas tahun.

Kontak terakhirku dengan ayahku adalah ketika aku menulis untuk mengabarinya bahwa ibuku telah meninggal dunia, dan aku ingin abunya dikirim ke Pemakaman Gate of Heaven untuk disatukan dalam makam Min Young. Kalau ia tidak setuju, aku akan menguburnya bersama kedua orang tuanya sendiri di makam keluarga mereka.

Ia membalasku, menyatakan bela sungkawa, dan bahwa ia mengatur semuanya sesuai yang kuinginkan. Ia juga mengundangku datang mengunjunginya di Irvington.

Aku mengirim abu jenazah ibuku, tapi menolak undangannya.

Sup bawang itu berhasil menghangatkan tubuhku, namun kenangan-kenangannya sempat membuatku gelisah. Aku memutuskan naik ke atas, ke kamarku, untuk mengambil jaket, setelah itu keliling kota naik mobil. Saat itu baru pukul setengah tiga, dan aku sudah mulai bertanya-tanya kenapa tidak menunggu sampai besok untuk datang kemari. Aku sudah membuat janji dengan orang bernama Lee Sang Yeob di kantor pengadilan, jam sepuluh pagi hari Senin. Aku akan benar-benar berusaha membuatnya yakin bahwa Yoo Ah In sebaiknya tidak dibebaskan, tapi seperti sudah dikatkan Kim Bum padaku, upayaku mungkin akan sia-sia.

Lampu pesawat telepon kamarku berkedip-kedip. Aku mendapat pesan untuk segera menelpon Kim Bum. Ia langsung menjawab pada deringan pertama. "Sepertinya kau punya insting untuk berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, So Eun," ujarnya. "Barusan aku dapat kabar. Keluarga Yoo akan mengadakan konferensi pers lima blas menit lagi. CNN yang meliputnya. Lee Kwang Soo, si pekerja serabutan yang diperiksa dalam kasus pembunuhan kakakmu, telah membuat pernyataaan bahwa dia melihat Park Yoochun di dalam mobil Yoo Ah In di malah Min Young terbunuh. Dia mengaku melihat Yoochun memasuki garasi dengan memegang sesuatu di tangannya, lalu lari keluar sepuluh menit kemudian, kembali ke dalam mobil, dan setelah itu meluncur pergi."

"Mengapa Kwang Soo tidak bilang apa-apa waktu itu?" sergahku.

"Dia mengaku takut ada yang menuduhnya sebagai penyebab kematian kakakmu."

"Bagaimana dia bisa melihat semua itu?"

"Dia sedang berada di rumah nenek Yoo. Dia habis melakukan beberapa resparasi, dan tahu kode untuk menyalakan alaram rumah itu. Dia juga tahu si nenek punya kebiasaan meninggalkan uang kontan di laci-laci dalam rumah. Dia sedang bangkrut waktu itu, dan butuh uang. Dia sedang berada di kamar tidur utama yang jendelanya menghadap ke garasi, dan ketika pintu mobil itu dibuka, dia melihat jelas tampang Park."

"Dia bohong," sahutkku datar.

"Ikuti konferensi pers itu," anjur Kim Bum, "setelah itu liput ceritanya. Kau wartawan investigasi." Ia terdiam sebentar. "Kecuali kalau itu terlalu berat untukmu."

"Tidak," sahutku. "Aku akan bicara denganmu lagi nanti."

04/10/19

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang