Bab 45

146 13 0
                                    

Beberapa saat setelah hari gelap, kabut tipis berubah menjadi hujan keras dan dingin. Wiper mobil sewaanku sudah perlu diganti, dan sebelum sempat mengendarainya lebih dari satu mil, aku sudah kesulitan melihat jalanan.

Lalu lintas di Route 9 jadi semakin jarang, semakin jauh aku menuju ke utara. Dari yang dapat kubaca di dasbor, aku tahu temperatur di luar terus turun, dan dalam bilangan menit aku melihat air hujan telah berubah menjadi es. Begitu mulai mengumpul di kaca depan, es akan mengeras, sehingga semakin sulit melihat lebih daripada beberapa meter di depan. Aku terpaksa menggunakan jalur sebelah kanan dan mengemudikan kendaraanku perlahan-lahan.

Setelah beberapa menit berlalu, aku mulai cemas akan berselisih jalan dengan Rosita. Ia kedengaran demikian gugup, sehingga aku yakin ia tidak akan menunggu lama-lama jika aku tidak muncul tepat pada waktunya.

Aku memusatkan seluruh konsentrasiku untuk mengawasi jalan di depanku, dan baru kemudian menyadari aku mulai menaiki tanjakan. Terpikir olehku sudah beberapa waktu aku tidak melihat sorot lampu dari arah berlawanan.

Aku melirik ke odometer. Letak Phillipstown Hotel seharusnya tidak lebih sepuluh mil dari Hudson Valley Inn, tapi aku sekarang sudah menempuh dua belas mil, dan belum juga sampai di tempat tujuanku. Rupanya aku telah meninggalkan Route 9. Jalan tempatku berada sekarang jelas bukan jalan besar, dan terasa semakin menyempit.

Aku melirik kaca spionku, untuk melihat apakah ada lampu menyorot di belakangku. Tidak ada. Dengan perasaan kesal dan frustasi, aku menginjak rem dengan keras—tindakan bodoh sekali, karena mobilku mulai selip. Aku berhasil mengendalikan kemudinya, dan dengan hati-hati memutar balik. Pada saat itulah aku melihat lampu rotator merah menyala berkedip-kedip di belakangku. Sorot lampu itu menyilaukan mataku. Aku menginjak rem, dan mobil polisi berhenti di sampingku.

Terima kasih, Tuhan! batinku. Aku menurunkan kaca jendela untuk menanyakan pada polisi itu arah ke Phillipstown Hotel.

Kaca jendela kendaraan yang baru berhenti itu juga diturunkan, dan orang yang duduk di bangku penumpangnya menoleh ke arahku.

Meskipun tidak ada cahaya yang menyorot langsung ke wajahnya, aku langsung mengenalinya sebagai Yoo Ah In. Dalam logat Hispanik dan suara ditinggikan seperti suara wanita, ia mengejekku dengan berteriak, "Dia jahat sekali. Dia mengejek cara bicaraku. Dia memaksaku memanggilnya Tae Oh."

Jantungku nyaris berhenti. Dengan perasaan tidak keruan aku menyadari Ah In telah berpura-pura menjadi Rosita dan meneleponku untuk memancingku. Aku mengenali wajah si pengemudi yang duduk di sebelahnya—laki-laki yang mengancamku di pelataran parkir stasiun kereta api dekat penjara Sing Sing.

Dengan panik aku menoleh ke sana kemari, mencari jalan untuk kabur. Aku tidak dapat menyalip kendaraan mereka. Harapanku hanyalah terus lurus ke depan. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, dan terus melesat lurus ke depan. Aku sama sekali tidak tahu ke mana jalan ini menuju. Saat aku mempercepat laju jalanku, aku melihat pepohonan di kiri-kananku, sementara jalan semakin lama semakin menyempit. Ban mobilku mulai selip, sehingga bagian belakangnya oleng, meliuk-liuk seperti ekor ikan.

Aku tahu aku tidak akan bisa lolos dari kejaran mereka, namun lampu depan mereka masih menyorot langsung ke kaca spionku. Kemudian mereka mulai mempermainkanku.

Mereka menyalip dari sebelah kiri, dan menabrakkan mobil mereka ke bagian samping kendaraanku. Pintu di belakang bangkuku kena, kemudian aku mendengar gesekan metal sementara mobilku hilang kendali dan kepalaku membentur roda kemudi.

Mereka menghindar dengan menjaga jarak di belakangku saat mulai meliuk-liuk. Aku tahu darah mulai mengucur dari luka di dahiku, tapi aku berhasil mengendalikan kemudiku dan menjaga kendaraanku untuk tetap berada di permukaan jalan.

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang