Bab 34

41 15 0
                                    

"Dia punya alasan mengatakan itu. Kau harus mempercayai aku. Kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan," ujar Mrs. Park padaku sambil mengisak, saat kami berada di lorong luar kamar Yoochun.

"Kita harus bicara, dan Anda harus betul-betul jujur padaku," ujarku. Namun kami tidak mendapatkan peluang itu pada saat itu—dokter yang merawat Yoochun tampak berjalan ke arah kami.

"So Eun, aku akan meneleponmu besok," janji Mrs. Park. "Aku sedang bingung sekali saat ini." Sambil menggeleng dan memutar tubuhnya, Mrs. Park berusaha mengembalikan kendali dirinya.

Aku kembali ke tempat penginapan itu sambil menyetir secara otomatis. Mungkinkah selama ini aku keliru? Apakah Yoo Ah In—dan seluruh keluarganya—benar-benar telah menjadi korban kekeliruan dalam proses penegakan keadilan?

Dia memelintir lenganku... Dia menyelinap di belakangku dan menghajar leherku... Dia bilang, "Aku menghajar Cha sampai mati, dan rasanya bukan main."

Reaksi Yoochun menanggapi serangan verbal pengurus rumah tangga Mrs. Yoo adalah melukai dirinya sendiri, dan bukan orang lain.

Aku tidak percaya Yoochun yang membunuh Min Young, namun aku yakin sekian tahun yang lalu Mrs. Park pernah membuatnya tidak mengatakan sesuatu yang ia ketahui.

Liontin itu.

Saat memasuki pelataran parkir tempat penginapan, aku dilanda perasaan tidak enak, menanggapi ironi yang sedang kuhadapi. Tak seorang pun, benar-benar tak seorang pun mempercayai Yoo Ah In pernah memberikan liontin pada Min Young, dan Min Young mengenakannya pada malam ia meninggal.

Namun kini keberadaan liontin itu telah dinyatakan oleh satu-satunya orang yang mungkin takut mengakui secara terbuka bahwa ia tahu sesuatu mengenainya.

Aku mengawasi sekelilingku saat turun dari mobil. Sekarang pukul empat seperempat, bayang-bayangan sudah tampak panjang dan miring. Matahari yang masih tersisa sebentar muncul sebentar hilang di balik awan, dan angin semilir menghembus sisa-sisa daun terakhir dari pepohonan. Suaranya menggerisik di pelintasan, dan dalam pikiranku yang sedang kacau kesannya seperti bunyi langkah-langkah kaki.

Pelataran parkir itu hampir penuh, dan kemudian aku ingat aku melihat kesibukan untuk menyiapkan resepsi pernikahan sewaktu berangkat tadi siang. Untuk mendapatkan tempat kosong, aku terpaksa mengitari pelataran parkir itu sampai ke bagian paling pojok, sehingga aku tidak terlihat dari arah penginapan. Hatiku semakin tidak enak, rasanya seseorang sedang menunggu di sana, mengawasiku.

Aku tidak lari, tapi aku toh berjalan cepat-cepat saat menyusuri deretan kendaraan yang diparkir, menuju tempat yang lebih aman. Saat aku melewati sebuah mobil pick-up tua, pintunya tiba-tiba terbuka, seseorang lelaki melompat dan mencoba menarik lenganku.

Aku mulai lari, dan mulai berhasil menempuh jarak sekitar tiga meter ketika aku tiba-tiba tersandung gara-gara sepatu moccasin ekstra besar yang baru kubeli untuk alas kakiku yang masih dibebat perban.

Saat salah satu sepatuku terbang entah kemana, aku merasa tubuhku terhuyung, siap jatuh terjembap, dan dengan panik aku berusaha menemukan kembali keseimbanganku, tapi terlambat. Telapak tangan dan tubuhku menjadi korban paling parah ketika aku jatuh, dan boleh dibilang untuk sesaat aku merasa kehabisan napas.

Lelaki itu segera bersimpuh di atas satu lutut di dekatku. "Jangan teriak," ujarnya cepat. "Aku tidak berniat melukaimu: aku mohon jangan teriak!"

Aku memang tak mungkin berteriak. Selain itu, aku juga tak mungkin bisa meloloskan diriku lagi dari cengkramannya dan lari ke tempat penginapan itu. Seluruh tubuhku bergetar sebagai reaksi benturan dengan permukaan pelataran yang keras itu. Mulutku terbuka, dalam keadaan panik aku berusaha menghirup udara.

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang