Bab 13

216 28 4
                                    

Mrs. Choi masih tinggal di rumah yang sama, di ujung jalan. Ada empat rumah lain sekarang yang memisahkannya dari tempat yang pernah kami tinggali selama beberapa tahun itu. Jelas tampak bahwa mereka yang sekarang menghuni rumah kami telah mewujudkan impian Ibu untuk tempat itu. Kedua sisinya mengalami perluasan, juga bagian belakangnya. Asalnya memang rumah pertanian berukuran ideal, tapi kini bangunan itu tampak sebagai rumah kediaman yang betul-betul indah, megah namun ramah, dengan dinding papan putih bersih dan jendela berkisi-kisi dalam nuansa hijau gelap.

Aku melambatkan laju kendaraanku saat melewatinya, dan kemudian, karena merasa yakin di pagi hari Minggu yang tenang ini tidak akan ada yang memperhatikan, aku berhenti.

Pohon-pohonnya sudah lebih besar tentu saja. Cuaca musim gugur tahun ini panas di daerah Timur Laut, dan meskipun saat ini udara terasa dingin, rimbun dedaunan bernuansa emas kemerahan masih tampak berkilauan pada ranting-rantingnya.

Ruang duduk rumah itu jelas sudah diperluas. Bagaimana dengan ruang makannya? batinku. Sesaat aku membayangkan diriku di sana , memegangi dus dengan perangkat sendok-garpu dari perak—atau nampan perak—sementara Min Young dengan cermat menata meja. "Hari ini Lord Malcolm Bigbottom akan menjadi tamu kita."

Mrs. Choi rupanya sudah menunggu kedatanganku. Begitu aku turun dari mobil, pintu depannya terbuka. Beberapa saat setelah itu aku merasakan pelukannya yang hangat. Dari dulu tubuhnya memang kecil, agak gemuk, dengan wajah keibuan dan mata cokelat bersinar. Kini rambut cokelatnya sudah berwarna perak sepenuhnya, dan ada kerut-kerut di sekitar mata dan mulutnya. Namun pada dasarnya ia masih persis seperti yang kuingat. Selama bertahun-tahun ia selalu mengirimi Ibuku kartu Natal dengan surat panjang, dan ibuku, yang tidak pernah mengirim kartu, menulisnya kembali, menekankan hal-hal yang positif mengenai kepindahan kami, serta bagaimana prestasiku di sekolah.

Aku menulisinya untuk mengabari sewaktu ibuku meninggal, dan menerima surat yang hangat dan menghibur darinya. Aku tidak mengabarinya saat aku pindah ke Atlanta, sehingga pasti semua kartu dan surat yang mungkin pernah ia kirim telah dikembalikan ke alamatnya. Pihak kantor pos tidak akan mengupayakan penyampaian surat terlalu jauh sekarang-sekarang ini.

"So Eun, kau jangkung sekali," ujarnya antara tersenyum dan tertawa. "Kau begitu mungil dulu."

"Ini terjadi waktu aku duduk di sekolah menengah," ungkapku.

Sudah ada kopi yang menunggu di atas kompor, dan kue muffin blueberry yang keluar dari oven. Atas desakanku, kami tetap tinggal di dapur dan duduk di bangku pojoknya. Selama beberapa menit ia menceritakan padaku keadaan keluarganya. Aku hampir tidak mengenal kedua anaknya. Mereka berdua sudah menikah saat kami pindah ke Oldham. "Delapan cucu," ujarnya bangga. "Sayangnya, tak seorang pun dari mereka tinggal di dekat sini, tapi aku toh masih sering bisa melihat mereka." Aku tahu ia sudah bertahun-tahun hidup menjanda. "Anak-anakku bilang tempat ini terlalu besar untukku, tapi ini toh rumahku, dan aku merasa betah di sini. Kalau aku sudah tidak bisa kemana-mana lagi, aku akan menjualnya, kurasa, tapi tidak sekarang."

Secara singkat aku menceritakan tentang pekerjaanku, setelah itu kami mulai membicarakan alasanku berada kembali di Oldham. "So Eun, sejak Ah In digiring keluar dari ruang sidang itu dengan tangan terbelenggu, keluarga Yoo tetap bersikeras bahwa dia tidak bersalah, dan terus berjuang keras mengupayakan pembebasannya. Mereka juga berhasil meyakinkan banyak orang tentang itu." Ekspresinya menjadi resah. "So Eun, setelah mengatakan itu, aku harus mengakui sesuatu. Aku juga sudah mulai bertanya-tanya mungkinkah Yoo Ah In dihukum sebagian karena reputasinya sebagai tukang bikin masalah. Dia sudah kepalang dinilai brengsek, sehingga tidak heran dengan mudah orang berpikiran negatif tentang dirinya."

Ia juga menonton konferensi pers itu. "Ada satu hal yang aku percaya dalam ucapan Lee Kwang Soo tadi," ucapnya datar, "yaitu bahwa dia berpotensi menyusup ke dalam rumah Mrs. Yoo untuk mencuri uang. Apakah dia ada di sana malam itu? Mungkin. Di satu pihak, aku juga bertanya-tanya apa saja yang sudah mereka tawarkan padanya agar mau mengungkapkan cerita itu, dan di lain pihak aku teringat reaksi Yoochun begitu mereka mengumumkan kematian Min Young. Aku mengikuti saat gurunya memberikan kesaksian di muka sidang. Belum pernah kulihat saksi yang tampak begitu ragu. Jelas sikapnya sangat protektif terhadap Yoochun, namun dia terpaksa mengakui bahwa saat Yoochun lari keluar dari kelas, dia mendengar Yoochun berkata, 'Kurasa dia tidak mati.'"

"Bagaimana keadaan Park Yoochun sekarang?" tanyaku.

"Keadaannya baik sekali. Selama sepuluh sampai dua belas tahun setelah sidang itu, dia sangat tertutup. Dia tahu ada yang beranggapan dialah yang membunuh Min Young, dan itu ruapanya sangat meresahkannya. Dia mulai bekerja di toko penganan orang tuanya, dan setahuku kebanyakan waktunya dia lebih suka menyendiri. Tapi sejak ayahnya meninggal dan dia terpaksa mengambil alih banyak tanggung jawab, kepribadiannya seakan mendapat kesempatan berkembang. Kuharap cerita Lee Kwang Soo tidak akan membuatnya guncang sekarang."

"Kalau Yoo Ah In sampai disidang kembali dan namanya dibersihkan, kesannya akan seperti Yoochun-lah sebetulnya yang bersalah," ujarku.

"Apakah mereka bisa menahan dirinya, dan mengajukannya ke muka sidang?"

"Aku bukan ahli hukum, tapi kurasa tidak. Kesaksian Lee Kwang Soo akan cukup untuk memungkinkan Yoo Ah In disidang kembali dan namanya dibersihkan, meskipun tidak cukup untuk mengajukan Par Yoochun. Namun dampaknya akan terasa. Yoochun akan menjadi korban Yoo yang berikutnya.

"Mungkin, mungkin juga tidak. Itulah sulitnya." Mrs. Choi tampak ragu, kemudian melanjutkan. "So Eun, orang yang menulis buku tentang kasus ini pernah datang menemuiku. Ada yang mengungkapkan kepadanya bahwa aku dekat dengan keluargamu."

Aku mulai merasa tidak enak mendengar ucapannya. "Seperti apa dia?"

"Sopan. Dia mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sangat berhati-hati menjawabnya. Tapi harus kuakui padamu sekarang, bahwa Mr. Choi punya pandangan sendiri, dan dia akan memastikan fakta-fakta yang bisa mendukungnya. Dia menanyakan, apakah alasan ayahmu begitu tegas pada Min Young karena kakakmu setiap kali diam-diam menemui anak muda yang berbeda."

"Tapi kenyataannya tidak begitu."
"Dia akan membuat seakan kesannya begitu."

"Ya, Min Young semula memang naksir Yoo Ah In, tapi setelah itu dia juga mulai takut pada Ah In." Aku tidak menyangka aku akan mengatakan itu, tapi saat kata-kata itu keluar, aku menyadari bahwa memang begitulah kenyataannya. "Dan aku sempat mencemaskannya," bisikku. "Yoo Ah In begitu marah padanya gara-gara Yoochun."

"So Eun, aku berada di rumahmu waktu itu. Aku berada di sana saat kau memberikan kesaksianmu di muka sidang. Kau tidak pernah bilang bahwa kau ataupun Min Young takut pada Yoo Ah In."

Apakah ia ingin mengingatkan bahwa aku mungkin sudah membangun kembali suatu kenangan yang sebetulnya tidak ada, untuk membenarkan kesaksian yang pernah kuberikan di masa kanak-kanakku? Tapi kemudian ia menambahkan, "So Eun, sebaiknya kau hati-hati. Penulis itu sempat menyatakan padaku kemungkinan kau bocah yang emosional dan tidak stabil ketika itu. Itu tentunya akan dia masukkan dalam bukunya."

Jadi, begitu skenarionya, batinku: Min Young yang suka gonta-ganti pacar, aku yang secara emosional tidak stabil, dan Park Yoochun yang merupakan pembunuh sebenarnya. Kalau sebelumnya aku sempat tidak yakin, kini aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

"Yoo Ah In mungkin akan keluar penjara, Mrs. Choi," ujarku, setelah itu dengan geram aku menambahkan, "tapi begitu aku selesai dengan penyidikanku dan menulis semua detail kehidupannya yang kotor, tak seorang akan mau berjalan bersamanya, siang maupun malam. Dan begitu kasusnya disidangkan kembali, tak seorang juri pun akan memihak kepadanya."

01/02/20

Daddy's Little Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang