Sekali lagi aku menatap Cakra yang ada di meja seberang. Pria itu langsung tersenyum manis begitu netranya bertubrukan dengan netraku. Senyuman pria itu memberikan sedikit ketenangan di hatiku yang sejak tadi gundah—karena jujur saja berhadapan dengan seorang Dimas tidak pernah mudah. Sebab pria itu selalu mengingatkanku dengan berbagai kenangan buruk dari masa lalu. Bagiku, Dimas bagaikan cermin di mana aku selalu bisa berkaca dan bayanganku tiga belas tahun lalu yang selalu muncul. Dan itu membuatku semakin membenci diriku sendiri.
Jujur saja aku tidak pernah menyangka hari ini akan datang, karena selama tiga belas tahun terakhir aku selalu memikirkan bagaimana cara untuk menghindar dari situasi ini. Namun, di sinilah aku sekarang duduk di bangku kedua Queen Bakery dengan secangkir teh hangat yang asapnya masih terlihat mengepul samar. Saat ini aku tengah menunggu Dimas datang. Setelah matian-matian menghindari pria itu, akhirnya kemarin aku memutuskan untuk mengajaknya bertemu.
Aku tidak pernah berani membayangkan tentang masa depan, tapi saat ini aku punya banyak impian. Pria di seberang sana memberiku satu, dan aku sama sekali tidak ingin melewatkan yang satu ini. Oleh karena itu, hari ini dengan berani aku melawan diriku sendiri.
Jantungku berdetak semakin kencang saat aku melihat Dimas memasuki restoran dengan senyuman lebar yang bertengger di bibirnya. Kali ini aku menatap netra Dimas dalam, membuat pria itu juga menatap mataku intens.
Aku sontak menarik sudut bibirku saat aku melihat bayangan diriku sendiri di netra hitam legam pria itu. Bukan Sonya remaja lagi yang ada di sana, tapi Sonya yang memakai baju berwarna merah maroon dan jepitan bunga matahari pemberian Cakra.
“Hai, maaf aku telat.”
“Nggak papa gue juga baru dateng.”
Untuk beberapa saat kami berdua hanya terjebak dalam keheningan. Begitu banyak kata yang ingin aku sampaikan pada Dimas. Namun, entah mengapa sejak tadi aku malah bungkam tanpa suara, karena jujur saja aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.
“Aku mutusin pertunangan aku sama Marisa,” ujar Dimas tiba-tiba. “Alasannya kamu,” sambung pria itu.
“Aku?” tanyaku seraya tertawa sinis. Jujur saja menyedihkan sekali saat aku tahu kalau Dimas tidak berubah sama sekali. Pria itu masih menjadi si plin-plan yang sama.
Dimas meraih tanganku yang ada di meja. “Setelah pertemuan kita waktu itu, aku sadar kalo ternyata aku masih cinta kamu, Nya.”
“Lo pasti bercanda!”
“Aku tahu ini bikin kamu kaget. Tapi aku benar-benar masih cinta kamu. Aku berusaha buat ngelupain kamu setelah pertemuan kita waktu itu, tapi sayangnya aku nggak bisa. Makanya ayo kita balikan,” ujar pria itu mantap.
Aku melepaskan genggaman tangan Dimas. Lalu menatap pria itu dengan pandangan kasihan. “Dim, pernah nggak sih sekali aja lo ngerasa bersalah sama apa yang kita lakuin tiga belas tahun lalu. Kenapa lo bisa semudah itu ngajak balikan? Seolah semuanya nggak pernah terjadi. Karena jujur aja, tiga belas tahun terakhir ini gue seperti hidup di neraka. Sejauh apa pun gue kabur atau lari, gue bakal selalu kembali berhenti di tempat yang sama. Dan, Dim ... itu terasa sangat menyiksa,”
“Kamu keguguran waktu itu dan itu bukan salah kita,” jawab pria itu datar. “Mungkin itu rencana Tuhan karena bikin kamu jatuh di kamar mandi. Dan kita nggak bisa ngelakuin apa-apa soal itu.”
“Tapi kita ke sana, Dim! Ke klinik aborsi itu! Andai aja kita nggak ke sana, mungkin sampai saat ini Kiara masih di sini. Selama tiga belas tahun terakhir gue selalu berandai-andai tentang banyak hal; dan andai gue diberikan kesempatan untuk balik ke masa lalu, gue pasti tanpa mikir dua kali bakal langsung milih hari itu. Tapi sayangnya kesempatan kayak gitu nggak bakalan pernah ada. Gue nggak tahu lo juga merasakan ini apa nggak, Dim. Tapi bagi gue penyesalan adalah hukuman paling buruk, dan gue bakal nerima hukuman ini selamanya karena gue tahu gue pantas dapetin ini.”
“Tapi ... katanya gue juga berhak bahagia, karena manusia berhak buat itu. Makanya mungkin ini saatnya gue memaafkan diri gue sendiri. Dan Dimas ... gue cuma mau bilang, apa pun yang pernah kita punya gue nggak menyesali semuanya, tapi gue amat sangat menyesali hari itu. So, biar kita menerima apa yang kita tanam.”
Aku menghela napas panjang sebelum berkata, “Dimas ... gue juga maafin lo. Gue harap suatu hari nanti saat lo akhirnya merasakan apa yang gue rasain, ini bakal bikin lo lega. Ah ya, Dim, thanks karena udah nemuin gue hari ini. Sebelum gue pergi, gue cuma mau bilang; penyesalan adalah hukuman paling menyakitkan yang pernah ada. So, lebih baik lo pikirin lagi soal hubungan lo sama Marisa. She loves you, I can see it in her eyes. It’s kinda stupid if you decide to let her go.”
Setelah mengatakan itu aku segera beranjak dari dudukku dan Cakra langsung menyambutku ke dalam pelukannya. Pria itu mengecup kepalaku seraya membisikan kata-kata seperti ‘good job, kamu sudah melakukannya dengan baik, dan terakhir I love you’ dan jujur aja itu membuat hatiku menghangat.
Sebelum meninggalkan Queen Bakery aku kembali menghampiri Dimas dan memberikan selembar kertas di atas meja. Aku tak tahu pria itu akan datang apa tidak, tapi yang jelas aku merasa lega luar biasa karena sudah berdamai dengan semuanya.
Lalu aku dan Cakra meninggalkan Queen Bakery dengan tangan yang melingkar di punggung satu sama lain. Enam hari lagi Cakra akan kembali ke Singapura, kami punya banyak kegiatan yang harus dilakukan sebelum berpisah.
Aku tak tahu hubungan kami akan berjalan ke mana, tapi yang jelas dengan Cakra aku tidak punya rasa takut sama sekali. Aku merasa aman dan aku akan ikut pergi ke mana pun pria itu pergi. Hubungan LDR kami juga mungkin tidak akan mudah, tapi siapa yang peduli untuk saat ini kami hanya ingin bahagia.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...