Si Bocah Tengik

29.1K 3.5K 52
                                    

Sekali lagi aku mengecek arloji di lengan kiri. Si tengik itu pasti tidak mendengar apa pesanku kemarin. Sehingga saat ini ia belum datang padahal aku memintanya datang lebih awal.

Harus aku akui, Cakra adalah pekerja yang kompeten walau kadang ceroboh seperti saat ini. Semua pekerjaannya berakhir dengan rapi dan memuaskan. Makanya aku memutuskan untuk menjadikannya asisten tetapku.

Aku mengembuskan napas lega karena akhirnya Cakra menampakkan batang hidungnya. Cakra berlari ke arahku, mengelap keringat yang mengalir di dahi, lalu tersenyum manis seperti biasanya. “Pagi, Mbak Sonya!” sapanya ramah.

Aku menatap Cakra datar. “Kamu telat, Ta,” ujarku malas.

Segera Cakra mengecek jam tangannya. “Masih jam tujuh lebih dua puluh menit, Mbak. Bukannya telat saya malah kecepetan sepuluh menit, hehe,” ujarnya cengengesan.

“Kamu lupa kemarin saya bilang apa?”

Cakra mengerutkan kening tampak berpikir. “Oh! Kemarin Mbak Sonya bilang saya nggak boleh makan permen karet pas kerja karena suara kunyahannya annoying. Jadi, sekarang saya nggak kunyah permen karet lagi. Sebenarnya tadi saya kunyah sih, tapi saya udah buang di tempat sampah halte busway,” jelas Cakra tidak penting.

“Cuma itu yang kamu ingat?” tanyaku seraya menatap Cakra malas.

Cakra menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Emangnya ada lagi?” Lalu pria itu meringis seraya mengamati kemejanya yang berwarna merah jambu. “Kemeja saya yang warna putih belum pada kering, Mbak. Adanya yang warna baby pink. Maaf, kalo warna baju saya hari ini bikin Mbak Sonya sakit mata.”

Astaga bocah tengik satu ini!

“Saya nggak peduli kamu mau pake baju pink, baby pink, ijo daun, atau black pink! Kamu bener-bener lupa kemarin saya pesen apa, Ta?”

Cakra membuka note yang ada di kantong kemejanya, lalu mulai mengamati tulisan yang ada di sana. Netra pria itu melebar, kemudian ia menatapku dengan pandangan menyesal. “Sorry, Mbak, tadi malam Mbak Marisa menghubungi saya kalo beliau memundurkan jam meeting dari jam 6 ke jam 8. Maaf saya lupa mengabari Mbak Sonya. Sepertinya tadi malam saya ketiduran.”

Aku memejamkan mata untuk meredakan emosi yang hampir meledak di ubun-ubun, lalu berbalik dan berjalan ke arah mobil, meninggalkan Cakra yang mengekor di belakangku.

Hah ... Bisa-bisanya si tengik itu sampai lupa mengabariku dan membuatku menunggu 2 jam di pagi buta! Awas saja dia....

“Mbak, saya benar-benar minta maaf, oke? Saya janji besok nggak bakalan lupa-lupa lagi. Saya bakal pin chat Mbak Sonya biar selalu ada di atas dan saya juga bakal bikin memo kalo ada hal-hal penting. Kalo perlu memonya saya tempel di jidat saya sekalian cosplay jadi vampir cina,” ujarnya seraya terkekeh kecil.

Aku menatap Cakra datar sebelum masuk ke dalam mobil. Jujur saja aku tidak tahu apa yang tengah ditertawakan oleh pria itu. Dasar bocah gemblung!

“Candaan saya nggak lucu ya, Mbak?” tanya Cakra begitu ia duduk di kursi kemudi.

“Tadi kamu ngelawak?” tanyaku dengan kening berkerut.

Cakra menepuk jidatnya. “Astaga! Saya lupa kalo Mbak Sonya nggak punya selera humor.”

Idih, padahal candaan dia emang nggak lucu.

Bocah itu melirikku sekilas sebelum kembali fokus mengemudi. “By the way, saya bukannya niat modus ya, Mbak. Tapi sumpah deh, Mbak Sonya cantik kalo senyum atau ketawa.”

Aku hanya tersenyum miris saat mendengar ucapan Cakra. Sialnya, aku sudah terlalu lelah menertawakan kebodohanku sendiri di masa lalu.

“Sok tahu! Emangnya kamu pernah liat saya senyum atau ketawa?” tanyaku ketus.

“Pernah dong! Waktu saya pertama liat Mbak Sonya di depan Istana Bunga seminggu lalu. Waktu Mbak Sonya senyum pas liat bunga matahari, pas Mbak Sonya ketawa bareng Bang Robbi.”

“Oh, waktu kamu ngatain saya jelmaan Medusa, Mak Lampir, sama Perawan Tua?” tanyaku sinis.

“Sorry, Mbak, sumpah saya nggak niat bilang begitu. Bang Ganesha yang nakut-nakutin,” jelas Cakra tak enak yang hanya aku respons dengan dengkusan.

Sepupu tengilku itu memang kampret!

Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di tujuan. Yaitu, sebuah library cafe yang sedang hits akhir-akhir ini, Queen Bakery. Aku dan klienku memang berjanjian di toko roti ini karena tempatnya memang strategis. Tidak jauh dari kantor, mau pun tempat tinggal sang klien.

Diikuti Cakra aku memasuki Queen Bakery dan aroma khas tepung yang bercampur dengan mentega langsung menusuk hidung. Membuat kelenjar parotis bekerja lebih keras dan perutku yang keroncongan langsung bereaksi.

Kami memilih duduk di meja kedua yang kosong. Sembari menunggu klien, aku memutuskan memesan roti bakar keju. Sedangkan Cakra memesan roti bakar rasa stroberi. Untuk minumnya aku memesan teh tawar hangat dan Cakra memesan kopi susu.

Tak berapa lama akhirnya klienku yang bernama Marisa datang, aku pun langsung berdiri untuk menyambut wanita cantik itu.

“Maaf saya terlambat. Biasa, Jakarta pagi selalu macet,” ujarnya seraya duduk di depanku.

Aku mengangguk maklum seraya tersenyum manis. “Nggak papa Mbak Marisa, kami juga baru sampai, kok,” jelasku menenangkan.

Marisa tersenyum lebar. “Kemarin saya udah liat-liat katalog Istana Bunga, lho. Sumpah saya suka banget! Bunga-bunganya cantik semua,” puji gadis itu.

“Terima kasih.” Kali ini aku menatap Marisa serius. “Jadi, Mbak Marisa mau pesan bunga apa?”

Marisa menyentuh dagu runcingnya tampak berpikir. “Sebenarnya saya bimbang, sih, Mbak. Saya pengen lili tapi juga pengen buka tulip.”

Dengan cekatan Cakra segera mengambil buku kecil dari kantongnya dan mencatat segala hal penting yang baru saja disampaikan oleh Marisa. Melihat itu kedua sudut bibirku langsung terangkat, aku sudah hapal kebiasaan Cakra yang satu ini. Cakra selalu melaporkan hal detail, dan itu sungguh banyak membantuku.

“Kalo begitu, Mbak Marisa paling suka bunga yang mana?”

“Saya suka dua-duanya. Jadi, susah milih,” ringis gadis itu.

“Memang bunganya sama-sama cantik, sih. Tapi ini buat acara pertunangan kan, Mbak?”

Marisa langsung mengangguk dengan kedua pipi merona.

“Kalo boleh saya kasih saran, mending bunga tulip aja, Mbak. Soalnya bunga tulip punya arti sempurna dan cinta abadi antara pasangan. Sedangkan bunga lili artinya kesucian dan kesopanan. Jadi, kalo untuk acara pertunangan lebih cocok bunga tulip,” jelasku.

Marisa menatapku antusias. “Oh, begitu, ya? Kalo gitu saya rundingin sama calon tunangan saya deh nanti. Sebentar lagi sampai kok orangnya.” Senyuman Marisa mengembang. “Eh, itu dia udah dateng. Di sini, Sayang!” teriak gadis itu seraya melambaikan tangan.

Aku mengikuti arah pandang Marisa dan tubuhku langsung menegang begitu mataku bertubrukan dengan mata pria itu. Perutku rasanya melilit. Sungguh, aku ingin memuntahkan semua isi perutku walau aku belum makan apa pun hari ini. Karena roti pesananku masih utuh dan sekarang tampak tak menarik lagi.

Sialan! Bagaimana bisa si brengsek itu ada di sini?

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang