Aku mendesah keras saat ponselku berdering nyaring. Nama ‘Ibu Negara’ terpampang jelas di layar. Membuatku sontak mengerutkan kening yang mendadak pening. Sarah yang baru saja cuti hamil sudah membuatku cukup uring-uringan karena harus menyelesaikan semua pekerjaan sendirian. Sungguh, ocehan Mama bukanlah hal yang saat ini ingin aku dengar.
Dengan ogah-ogahan aku mengangkat telepon Mama. “Halo, Ma—“
“Gimana udah liat biodata Djiwo belum? Lumayan kan orangnya? Ganteng, kan? Kamu tertarik, kan? Mama bilang juga apa, kamu pasti suka! Tebakan Mama nggak mungkin salah. Ya, sama-sama nggak usah bilang terima kasih,” cerocos Nyonya Liliana Sekardewi—Mamaku dari ujung sana.
Aku memijat pelipisku yang terasa nyeri. “Aku udah liat biodata Djiwo dan aku sama sekali nggak tertarik. Gila aja, Ma! Orangnya lurus banget kayak penggaris bocah TK! Nggak bakal cocok sama aku yang kata Mama kayak sapi gila di luar kendali ini. Aku tahu, Mama udah tahu ini dari awal dan sekarang hanya sedang menghibur diri. Please, berhenti bohongin diri sendiri kalo nggak mau cepet tua dan berhenti jodohin aku sama anak temen-temen Mama. Emangnya aku Siti Nurbaya!”
Mama mendesah keras. “Hah, udah Mama duga! Dasar sapi betina! Tapi nggak ada salahnya kan kalo kamu kenalan dulu sama Djiwo? Mama liat-liat anaknya baik, kok. Dia juga dari keluarga baik-baik.”
“Udah aku bilang, aku nggak tertarik. Katanya Mama mau jadi ibu-ibu keren yang bakal meninggalkan budaya kolot yang kebanyakan nggak masuk akal itu. Terus sekarang kenapa kekeh banget pengen jodohin aku? Perjodohan itu bukan cuma kolot, kan? Tapi peninggalan jaman prasejarah!” Telak. Nyonya Liliyana Sekardewi langsung bungkam tanpa suara.
Tetapi kemudian ia berkata, “Jangan harap Mama berhenti jadi orang tua kolot kalo kamu masih begini-begini aja. Makanya cari cowok sana! Terus nikah, punya anak, dan bahagia sampai jadi nenek-nenek.”
Aku tersenyum kecut. Memangnya ada yang mau nerima wanita cacat kayak aku, Ma?
“Ini juga lagi nyari, Ma...,” rengekku putus asa.
“Dari lima tahun lalu kamu juga bilang lagi nyari. Tapi sampai sekarang masih aja jomlo!”
“Sabar dong, Ma! Emangnya nyari cowok itu segampang mungut sampah plastik di pinggir jalan, apa? Setiap meter ada?”
“Pokoknya Mama nggak mau tahu, di acara keluarga Minggu depan kamu harus bawa cowok. Lelah Mama! Dinyinyirin mulu sama tante-tante kamu yang mulutnya busuk itu! Kalo gitu udah dulu, ya? Teman-teman arisan Mama udah pada kumpul semua. Jangan lupa—“
“Iya, Mama, besok aku bawa cowok ke acara kumpul keluarga!” potongku frustrasi.
“Bagus, Mama tunggu. Pokoknya jangan lupa makan, jangan kerja berlebihan, selalu minum vitamin, dan jangan sampai sakit. Pulang! Nanti Mama masakin makanan kesukaan kamu.”
Aku tersenyum simpul karena ucapan Mama membuat rasa nyaman menyelimuti dada. “Iya, Ma. Mama juga istirahat yang cukup, rajin olahraga biar nggak sakit punggung, dan nyinyirin balik aja saudara-saudara Mama yang mulutnya busuk itu!”
“Sorry, I don’t have time for that. Emangnya kamu pikir Mama kurang kerjaan sampai sempet nyinyirin orang? Nggak dong, Mama orang sibuk. Sorry-sorry aja!”
“Wohooo~ itu baru Mama aku! Oh ya, Ma, jangan lupa medical check up minggu ini. Ganesha tadi ngingetin.”
“Iya, iya siap! Kalo gitu udah dulu, ya? Bye, Sayang! Jangan lupa bawa cowok hari Minggu nanti!”
Setelah itu Mama mematikan telepon tanpa menunggu jawabanku. Aku pun menaruh ponsel di meja, lalu duduk menyandar di kursi kebesaranku ini. Saat ini aku benar-benar lelah luar biasa dan aku benar-benar butuh asisten secepatnya kalau tidak mau berakhir di rumah sakit karena tipes.
Mataku yang terpejam sontak terbuka saat pintu ruanganku dibuka dari luar. Terlihat sepupu tengilku Ganesha Wiratama memasuki ruangan dengan senyum menyebalkan yang bertengger di bibirnya.
Ganesha duduk di depanku. “Kenapa lo? Muka lo lecek banget, Nya. Udah mirip serbet warteg,” ejeknya.
“Biasa Ibu Negara baru aja bersabda.”
“Nyuruh lo kawin lagi?”
“Yups!”
“Masih dengan alasan yang sama?”
Aku mengangguk mengiakan. “Ya, masih dengan alasan super kolot itu. Kalo rahim wanita punya masa expired sedangkan kecebong laki-laki itu unlimited. Kamu udah tua Anya, mau nikah kapan? Kalo nikahnya kelamaan nanti susah punya anak, lho.”
Kayak gue bisa punya anak aja!
“Menyedihkan! Seolah wanita belum jadi manusia sempurna kalo belum nikah, hamil, melahirkan secara normal, dan punya anak pertama laki-laki.” Aku tertawa sumbang. “Dunia emang nggak adil!”
“Sialan lo samain bangsa gue sama kodok!” protes sepupuku itu.
“Sorry to say, G. Kalo lo mah bukan kodok tapi buaya darat!” seruku seraya tertawa keras.
“Kampret!” makinya. “Tapi lo bener, dunia emang nggak adil. But, yeah, namanya juga hidup. Dan hidup nggak pernah ramah ke siapa pun, kan? Jadinya, kita nggak punya pilihan lain selain terus menjalaninya dengan baik.”
“Ya ... gue setuju. By the way, G, bisa nggak lo cariin gue asisten buat hari Senin? Mungkin teman lo ada yang lagi butuh kerjaan?”
“Bisa aja asal kriterianya nggak ribet kayak lagi nyari wakil presiden!”
“Nggak separah itu kali, G. Gue cuma nyari orang yang kompeten.”
“Tapi kompeten ala lo itu beda level, Anya. Semua harus memenuhi syarat gila lo yang bikin sakit kepala, ya, kampret!”
Aku mendesah kasar. “Yaudah deh kali ini terserah lo. Asal dia bener-bener kompeten dan bisa kerja. Bisa ambruk gue kalo kerja sendiri mulu.”
“Oke, tunggu aja hari Senin langsung beres.” Ganesha berdiri dari duduknya. “Kalo gitu gue balik rumah sakit dulu. Thanks, traktiran makan siangnya.” Lalu sepupuku itu langsung meninggalkan ruanganku.
Aku mendesah lega karena akhirnya hari Senin nanti penderitaanku akan segera berakhir. Walau cuma asisten asal comot ala Ganesha juga tidak apa-apa. Aku tahu sepupuku itu tidak akan mengirim orang yang tidak bisa bekerja.
Lalu, siapa sangka, kalau asisten asal comot ini juga akan menjungkir balikkan hidupku dalam sekejap?
Surprise!
Selamat menikmati ceritaku yang di mulai di Senin pagi cerah itu....
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...