Warm

18K 2.5K 24
                                    

Sebab malam semakin larut, aku pun memutuskan untuk menginap di rumah Oma. Aku menempati kamar lantai atas, kamar yang biasa aku tempati saat menginap waktu aku kecil.

Aku menjatuhkan tubuh ke kasur. Lalu memandang langit-langit kamar lama sebelum mengecek ponsel dan membalas beberapa pesan yang masuk.

Tanganku tiba-tiba gemetaran saat aku membaca sebuah pesan yang masuk dua jam lalu. Sialan! Bagaimana si bangsat itu bisa mendapat nomorku? Dengan jari gemetar aku langsung menghapus lima pesan yang tidak sudi aku baca itu. Lalu dengan segera aku mematikan ponselku dan menaruhnya di bawah bantal.

Setelah itu aku mematikan lampu kamar dan hanya tidur diterangi cahaya lampu duduk yang remang-remang. Aku memejamkan mata, dan bayangan-bayangan menyesakkan tiga belas tahun lalu kembali memenuhi kepala.

Aku meremas seprai kencang dengan dahi dipenuhi keringat dingin saat bayangan darah yang menetes di lantai kembali terbayang. Aku mengerang saat rasa sakit yang amat sangat menyerang perutku, membuat mataku yang terpejam meneteskan air mata.

Aku meringkuk di kasur seraya memegangi perutku yang terasa sakit luar biasa. Rasa sakitnya seperti perlahan-lahan akan membunuhku. Sehingga aku mengerang sendiri dalam gelap.

Aku ingin membuka mata dan mengakhiri mimpi buruk ini. Namun sialnya mataku tak mau terbuka. Otakku memasakku terus melihat kembali kejadian itu sampai tuntas, sampai rasanya menyesakkan luar biasa. Aku tahu ini hukuman yang pantas aku terima selamanya. Sampai aku membusuk di kerak neraka.

Setelah bayangan mengerikan itu selesai dan hanya terlihat langkah-langkah yang meninggalkan tanah basah pemakaman, barulah mataku kembali terbuka. Aku langsung terduduk seraya meremas dadaku yang terasa sesak. Aku menggigit bibir bawahku kencang untuk menahan isak tangisku.

Semalaman aku terus menangis dalam diam. Sampai akhirnya tangisku berhenti karena ragaku lelah, tapi sialnya mataku tak mau terpejam. Alhasil aku hanya menatap gelapnya langit-langit kamar dalam diam dan pikiran melayang ke mana-mana.

***

Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku pun memutuskan bangkit dari kasur lalu berjalan gontai menuju kamar mandi. Di cermin kamar mandi aku menatap miris wajahku sendiri yang tampak pucat dan berantakan. Aku tidak tidur semalaman, tapi anehnya aku tidak mengantuk sama sekali.

Aku mencuci muka dengan air dingin, lalu menggosok gigi sebelum keluar dari dalam kamar mandi dengan tubuh yang terasa lebih segar. Setelah itu aku mengganti piyama dengan hoodie dan celana training panjang. Tidak lupa memakai sepatu olahraga yang ada di rak.

Setelah menyumpal kedua telinga dengan headset, aku pun segera berlari kecil menuju taman yang ada di depan komplek rumah Oma. Sesampainya di taman aku langsung memutari jogging track bersama beberapa orang yang juga tengah lari pagi. Aku terus berlari tak peduli kakiku sudah terasa lemas dan tubuhku sudah dibanjiri keringat. Aku terus berlari dan berlari, hingga terpaksa berhenti karena ada sebuah tangan yang menarikku dan menuntunku duduk di bangku taman yang tersedia.

“Nih, minum dulu!” perintah Cakra seraya memberikan sebotol air mineral yang sudah pria itu buka tutupnya.

“Ngapain kamu di sini, Ta?” tanyaku dengan napas ngos-ngosan.

“Minum dulu, Mbak. Lagian kamu ngapain sih lari pagi kayak orang kesurupan?” tanya pria itu masih menyodorkan air mineral yang ada di tangannya.

Aku menerima air mineral yang diberikan Cakra dan meminumnya hingga tinggal setengah. “Thanks, airnya. Ta, kamu belum jawab pertanyaan saya. Kok, kamu bisa di sini?”

“Harusnya saya yang nanya begitu. Ngapain Mbak Sonya di sini? Kalo saya sih memang sudah biasa jogging di sini setiap hari Minggu. Karena taman ini deket kosan saya, tuh kos-kosan saya di sana,” jelas pria itu seraya menunjuk sebuah bangunan berlantai tiga yang atapnya terlihat jelas dari sini.

“Semalam saya nginep di rumah Oma. Rumah Oma di deket sini, karena bangun pagi jadi saya jogging aja sekalian,” jelasku yang sontak direspons dengan anggukan mengerti oleh Cakra.

Ya, lo memang pembohong handal Sonya. Bangun pagi apaan? Lo bahkan nggak tidur sama sekali!

“Bang Cak! Katanya mau lari? Ngapain malah duduk-duduk?” teriak seorang bocah yang memakai sepatu bergambar Spider-Man menyala.

Cakra mencubit kedua pipi bocah itu. “Udah dibilang jangan panggil Cak! Emangnya Abang mirip cicak apa? Panggil Bang Ata, Gas! Bang Ata!” seru Cakra gregetan.

Si bocah sepatu Spider-Man menatap Cakra serius. “Kalo diliat dari deket Bang Cak memang mirip cicak, sih. Tapi jangan bilangin Bunda, ya? Nanti Bagas dijewer Bunda gara-gara ngeledek orang. Terus aku ndak mau manggil Ata. Bagusan cak cak cak!” ledeknya seraya memeletkan lidah.

“Bodo amat! Abang bakal aduin kamu ke Bunda, Gas!”

“Ih, Bang Cak nggak seru! Eh, Kakak ini siapa, Bang?”

“Itu teman Abang. Namanya Sonya, salim dulu sana!” perintah Cakra yang langsung dituruti oleh bocah itu.
Aku menerima uluran tangan Bagas seraya tersenyum lebar. “Halo, Kak, aku Bagas. Kata Bunda, aku nggak boleh kayak Bang Cak karena jarang mandi dan kucel nggak ganteng. Jadi, Kakak jangan pacaran sama Bang Cak, ya?” nasihatnya serius yang sontak membuatku menyemburkan tawa.

“Saya memang seneng liat Mbak Sonya ketawa. Tapi ini nggak lucu, lho, Mbak!” tutur Cakra cemberut.

“Badut. Bang Cak kayak badut makanya Kak Sonya ketawa. Iya kan, Kak?” ledek Bagas lagi. Oke, ini sangat menarik, ternyata yang bisa mengimbangi kecerewetan Cakra adalah bocah berumur lima tahun. Astaga ... mereka berdua lucu sekali.

Bagas terus meledek Cakra mirip badut, hingga kini dua makhluk berkromosom XY beda generasi itu saling kejar-kejaran mengelilingi taman. Membuat mereka jadi pusat perhatian karena tawa yang menggema dan mungkin juga sepatu Spider-Man menyala yang dipakai Bagas. Sedangkan aku hanya bisa geleng-geleng kepala masih dengan sisa-sisa tawa.

Bagas membungkuk seraya menaruh dua tangan mungilnya di lutut. Bocah lima tahun itu tampak ngos-ngosan sehingga menarik napas pendek-pendek. Cakra pun segera membukakan botol air mineral yang langsung disambar bocah lima tahun itu.

“Bang Cak! Kalo airnya doang nggak kenyang dong! Bubur ayam sekalian, ya?” pinta Bagas setelah meminum air mineralnya.

Cakra menjitak kepala Bagas. “Eh, bocah! Malah nawar lagi lo!”

“Kalo mau baik itu nggak boleh tanggung-tanggung, Bang.” Bagas menyeret tangan Cakra. “Ayok beliin bubur ayam! Sate telornya tiga, ya!” serunya tak peduli kalau saat ini wajah Cakra sudah cemberut.

Cakra berdecak keras lalu meraih tanganku sehingga kini kami berdua mengikuti langkah Bagas. “Ta, saya....”
Cakra melihat ke arahku dengan senyum manis sialan yang sampai ke mata itu. “Sekalian saya traktir kamu bubur ayam. Saya emang karyawan terbaik, kan? Bulan depan emang harus dikasih bonus. Astaga, Gas, pelan-pelan woy! Buburnya nggak bakal kabur, kok!”

“Kabur ke perut orang kalo nggak cepet-cepet, Bang!”

Cakra hanya menanggapi perkataan Bagas dengan geleng-geleng kepala. Pria itu tidak protes lagi dan memilih mengikuti langkah mungil Bagas. Sedangkan aku entah kenapa berubah jadi orang idiot yang menurut ke mana pun Cakra menyeretku. Sebenarnya, bisa saja aku protes, tapi sialnya bibirku hanya bungkam tanpa suara.

Aku memandangi lama tangan Cakra yang menggenggam tanganku. Rasanya hangat.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang