Vanila

22.5K 2.9K 28
                                    

“Wow! Coba liat siapa yang lagi neguk miras sekarang. Si Anya anak baik-baik yang lebih milih minum teh anget manis daripada bir rendah alkohol pas pesta kelulusan.”

Aku mengerutkan kening saat suara yang sangat familiar itu menembus gendang telinga, lalu aku memutar kepala ke belakang dan langsung berdecak saat melihat geng rusuh SMA Pelita menghampiri mejaku.

“Astaga! Di seumur hidup gue, gue nggak pernah ngebayangin bakal ngeliat Anya main di Olivers. Benar-benar keajaiban! Apa sekarang lo udah nggak kebal sama bisikan setan?” ejek Satria dengan mimik kaget dibuat-buat.

Aku berdecak keras. “Mulut lo dari dulu nggak pernah berubah, Sat. Masih aja nyinyir kayak mulut tetangga.”

Satria memutar bola mata malas. “Sama, Nya, mulut lo juga nggak berubah. Masih pedes kayak bon cabe level seratus.”

“Udahlah, sesama mulut mercon harus akur dong,” ujar Jacob.

Aku terbahak. “By the way, tumben amat geng rusuh kumpul formasi lengkap. Reunian kalian?” tanyaku.

“Anjir! Julukan itu nggak pernah berubah, ya. Padahal sekarang gue udah jadi orang kalem,” sahut Lisa.

“Kalem tai kocheng!”

“Berisik lo mulut lemes!”

“Nggak bakal terlupakanlah. Geng paling berisik se-SMA Pelita.”

“Bangke! Padahal dulu kita cuma memeriahkan suasana. Lagian; sekolah, masuk, nugas, nugas lagi, nugas lagi sampai mampus, terus pulang, dan masih ngerjain PR apa enaknya, sih? Sesekali memberontak nggak papa. Ada quotes yang bilang aturan ada untuk dilanggar.”

“Ngelanggar satu kali dua kali nggak papa. Tapi kalo ngelanggar berkali-kali namanya idiot,” sambar Satria.

“Wow! Wow! Apa sekarang lo menyadari kalo lo orang idiot, Sat?” ejek Lisa.

“Ngaca, Lis, bukannya lo ketua geng rusuh? Berarti lo yang super duper idiot dong?”

“Sialan! Sini lo! Belum pernah cipokan sama stilleto, kan?”

“Please, deh, masalah rumah tangga nggak usah dibawa-bawa ke publik. Kalo mau cipokan di rumah aja sana!”

Aku tertawa seraya geleng-geleng kepala. “Kalian nggak pernah berubah. Percuma reuni kalo cuma adu bacot.”

“Idih siapa bilang kita reunian? Kita lagi bikin perayaan tahu!”

“Weh siapa yang ulang tahun?”

“Nggak ada. Tapi kita lagi ngerayain perceraian Miranda. Yey!” seru Lisa antusias.

Aku menatap Miranda tulus. “Lo keliatan lebih bahagia sekarang, Mir.”

“Thanks, Nya. Karena jujur aja, gue emang ngerasa lebih bahagia.”

Lisa menyampirkan tangannya di bahu Miranda. “Tentu aja lo harus bahagia, Mir. Lo abis ngerasain kebebasan setelah dikekang. Inget, lo emang berhak bahagia. Berhenti menganggap perceraian sebagai kegagalan. Lo nggak gagal hanya karena mencoba melepaskan diri dari tekanan.”

Miranda tersenyum lebar. “Thanks, Lis. By the way, Nya, Ganesha nggak ikut?” tanya gadis itu seraya celingukan.

“Kenapa, Mir? Kangen sama Babang G, ya?” tanya Lisa menggoda.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang