Sesuatu Yang Belum Kejadian Itu Cuma Imajinasi Kita

15K 2.2K 22
                                    

“Jadi, gimana rasanya dikasih bunga favorit terus diajakin makan siang?” tanya Kirana dengan senyum menggoda.

Aku meratakan masker di pipi kanan dan kiri. “Kenyang dan bahagia. Kenyang karena dapat makan siang gratis dan bahagia karena dikasih bunga. Ya, siapa sih cewek yang nggak seneng dikasih bunga kesukaannya?”

“Yaelah, nggak ada perasaan berdebar-debar gitu? Kalo sama si baby dancow gimana?” tanya gadis itu seraya mengangkat salah satu sudut bibirnya.

Aku melempar bantal ke arah Kirana. “Gue ke sini buat nemenin lo tidur, ya. Bukannya ngobrolin kisah romansa gue. Lagian aneh banget deh kalian berdua. Penganten baru mah honeymoon. Uwu-uwu dan lagi anget-angetnya tai ayam, eh, ini malah LDR Jakarta-Hanoi!”

Karena Ghani harus menemui klien penting di Vietnam, tadi siang Kirana memintaku untuk tidur di rumahnya. Katanya gadis itu takut tidur sendirian di rumah baru, takut ada setan iseng. Padahal ia tidak benar-benar tinggal sendirian karena ada pembantu dan juga satpam.

“Kampret! Masker gue rusak oey!” protesnya sebelum membuang masker ke tempat sampah dan berjalan ke kamar mandi. Aku juga membuang maskerku ke tempat sampah, lalu mengikuti langkah Kirana melewati pintu berwarna coklat itu.

Kirana membasuh wajahnya dengan air. “Sedih emang jadi gue. Lawan gue mah bukan pelakor seksi yang punya dada melon, tapi grafik saham yang harus gue akui meliuk-liuknya memang lebih seksi dan menggoda.”

Perkataan  Kirana membuatku sontak terbahak. “Terima nasib, Sis! Saham nomor satu istri nomor dua,” ejekku lewat pantulan kaca.

“Kampret lo!” maki Kirana seraya mencipratkan air ke arahku.

“Besok kalo Mas Ghani pulang nggak usah lo kasih jatah sebulan, Na! Revenge-lah!”

“Tenang gue udah punya rencana,” ujar sepupuku itu seraya tersenyum smirk.

Mataku bertatapan dengan mata kucing Kirana, lalu aku ikut menarik salah satu sudut bibirku. “Gimana kalo lo pake lingerie yang gue kasih aja pas Mas Ghani pulang? Bulu merak lebih baik dari motif macan tutul, kan?”

Kirana memberengut lalu mengusirku keluar kamar mandi. “Sampai dunia kebalik juga nggak bakal gue pake! Mending gue naked aja sekalian, Mas Ghani dijamin suka! Lingerie itu bakal gue balikin kalo besok lo kawin. Kan, lo yang suka cosplay jadi merak dan macan tutul, Sis!” ejeknya seraya menjulurkan lidah.

Aku ingin membalas ejekan Kirana, tapi sepupu kampretku itu sudah lebih dulu menutup pintu kamar mandi. Sehingga aku hanya bisa melampiaskan kekesalanku dengan menendang pintu berwarna coklat itu. “Heh sembarangan! Mana pernah gue punya hobi begitu!” kesalku yang hanya direspons dengan tawa menggelegar dari dalam kamar mandi. Memang sepupu sialan!

Aku pun menjauh dari pintu kamar mandi. Awalnya aku ingin pergi ke balkon untuk menghirup udara segar, tapi album foto yang tergeletak di nakas lebih menarik perhatianku. Sehingga aku membatalkan niatku dan lebih memilih membuka album tersebut.

Senyumku melebar saat halaman pertama album berisi foto saat Kirana masih bayi dan foto saat kami masih kecil. Tawaku pecah saat melihat foto Kirana yang tengah tersenyum lebar padahal salah satu gigi depannya ompong. Ah, anak kecil memang sepolos ini, kan? Mereka bebas melakukan apa pun tanpa peduli perkataan orang, tanpa harus berpikir macam-macam. Coba foto gigi ompong depan itu diambil sekarang, pasti Kirana sudah dikomentari macam-macam.
Lalu aku memilih membuka halaman selanjutnya. Terlihat banyak foto Kirana mulai remaja, di halaman ini juga terdapat banyak fotoku. Umur kami memang hanya berjarak beberapa bulan, jadi kami sangat dekat karena dulu selalu masuk ke sekolah yang sama walau sering beda kelas.

Sesekali aku tersenyum kecil saat melihat momen-momen berharga kami saat remaja. Misal, saat kami ke dufan berdua tanpa pengawasan orang tua untuk pertama kalinya, saat study tour ke Jogja, atau saat merayakan ulang tahun Kirana yang digabung dengan ulang tahunku dan Ganesha yang jelas-jelas berbeda tanggal dan bulan. Tetapi mengingat itu kembali, aku sama sekali tidak menyesal. Sesekali dalam hidup kita memang harus melakukan hal gila, kan?

Tanpa terasa aku sudah ada di halaman terakhir. Di halaman ini penuh dengan foto pernikahan Kirana dan Ghani. Senyumanku ikut mengembang saat melihat senyuman sepupuku yang tampak bahagia. Syukurlah, Kirana mendapat pasangan hidup yang baik.

Netraku terpaku saat aku melihat foto terakhir yang merupakan fotoku saat ber-cheers ria dengan pasangan pengantin dan duo semprul—Lisa dan Satria. Kami memang berfoto berlima, tapi entah kenapa di foto itu aku terlihat begitu bersinar seolah memang akulah model utamanya. Aku mengelus foto itu perlahan, tentu saja aku tahu siapa fotografer yang mengambil foto ini, Cakra.

“Ngapain lo?” tanya Kirana seraya mengelap rambut panjangnya yang basah.

Aku mengalihkan pandangan ke arah Kirana. “Liat foto.”

“Oh, foto ini. Di sini lo emang keliatan bersinar banget, sih. Gue sama Mas Ghani berasa figuran padahal tokoh utamanya. Eh, foto ini yang ngambil Cakra, kan? Hmm ... ayo taruhan. Menurut gue dia sengaja jadiin lo fokus utamanya. Dia suka lo.”

“Emang, kemarin dia bilang kalo dia suka gue,” sahutku datar.

“What? Apa? Coba lo bilang lagi!”

“Kemarin Cakra bilang dia suka gue, Na.”

Lalu aku menutup album dan berjalan ke arah balkon. Rasanya sesak, aku butuh udara segar. Memikirkan Cakra benar-benar membuat otak, hati, dan perasaanku campur aduk. Semua ini benar-benar rumit.

“Lo juga suka dia, kan?”

“Ya.”

“Terus kalian jadian dong?”

“Nggak.”

“Kenapa nggak sih, Anya? Kalian saling suka, terus masalahnya apa?”

Aku menatap Kirana serius. “Astaga, Kirana, kita udah hidup tiga puluh tahun. Kita berdua tahu kalo ‘suka’ aja nggak cukup.”

Sepupuku itu balas menatapku serius. “Gue tahu kalo suka aja nggak cukup. Tapi semua hubungan romansa memang dimulai dari rasa suka. Perasaan yang lama-lama berkembang dan berkembang. Berkembang jadi cinta kalo kalian ditakdirkan bersama dan berkembang jadi sakit hati kalo kalian ditakdirkan berpisah. Just try it, Nya. Lo—“

“Na, lo mau nyuruh gue mencoba dulu? Tapi buat apa kalo lo udah tahu ending-nya?”

“Jadi, apa hasil akhirnya menurut lo?”

“Gue sama Cakra beda tujuh tahun. Ya, oke kalo menurut lo ini nggak masalah. Tapi lo tahu gue cacat, Na. Gue kemungkinan nggak bisa punya anak. Lo gampang bilang, coba aja, Nya. Saatnya sembuh. Tapi nyatanya lo nggak pernah ada di posisi gue. Karena lo nggak ngerasain apa yang gue rasain. Makanya gampang buat lo bilang kayak gitu. Kalo lo sekali aja ada di posisi gue, lo bakal ngerti sulit sekali untuk membayangkan akhir bahagia di hidup gue, Na.”

Kirana menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. “Nya, sorry kalo gue selama ini maksa lo. Gue cuma—“

Aku memeluk Kirana erat. “It’s okay, gue tahu lo begini karena lo sayang gue. Thanks, gue sayang lo juga.”

Kirana terbahak diantara isak
tangisnya. “I love you, Sister and sorry kalo selama ini gue terkesan maksa lo. Gue cuma pengen lo bahagia.”

“Iya gue tahu, I love you too, Na. Lo tahu kalo lo bakal selalu jadi sepupu kesayangan gue.”

“Harusnya gue rekam terus kirim ke Ganesha. Lucu liat dia marah-marah karena iri.”

“Gue setuju emang lucu liat dia marah-marah,” sahutku yang sontak membuat kami tertawa bersama.

“Tapi, Nya, cinta bukan sesuatu yang bisa lo kendaliin. Jadi, jatuh cintalah. Oke, mari kita nggak bahas ending dulu. Toh, sesuatu yang belum kejadian itu cuma imajinasi kita. Masa depan kan siapa yang tahu, kan? Just feel it dan jatuh cintalah. Sorry, kalo gue terkesan sok tahu lagi.”

Kali ini aku yang memeluk Kirana erat. “Nggak, Na, thanks karena udah bilang itu,” tuturku yang sontak membuat Kirana menganggukkan kepala seraya memelukku sama eratnya.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang