Yes, Because of You, Boss.

15.3K 2.3K 111
                                    

“Yuk, turun! Gue udah laper, nih!”

Aku menghela napas panjang lalu mengalihkan pandangan dari pemandangan menyebalkan di depan sana. Setelah itu aku pun segera menyusul Lisa keluar mobil.

Gadis itu celingukan ke kanan dan ke kiri. “Ck, rame banget lagi. Cuma ada meja kosong di belakang. Yuk, buruan ke sana sebelum diambil orang!”

Namun ketika kami baru berjalan dua langkah, Lisa kembali berhenti. Membuatku otomatis juga ikut berhenti.

Lisa melambaikan tangannya dengan senyum lebar. “Hai, baby dancow!” seru  gadis itu seraya menghampiri meja nomor dua yang sejak tadi sudah menarik perhatianku.

Lisa duduk di depan Cakra sedangkan aku duduk di depan gadis yang sejak tadi membuatku cemburu. Oke, aku mengakui kalau saat ini aku cemburu. Ya, aku tahu kalau kemarin aku sudah menolak pria itu tapi tetap saja sangat menyebalkan saat melihat Cakra dengan gadis lain saat ini.

Aku bukannya gadis plin plan yang tidak punya pendirian. Tapi aku masih mennyukainya, oke? Ya, memangnya siapa orang brengsek yang bisa move on dalam sehari dan dapat gebetan baru? Ah ya, pria  di depan Lisa bisa. Memikirkan itu membuatku langsung tersenyum sinis.

“Hai, Ta, nggak papa kan gue gabung?”

“Oh, nggak papa, Mbak Lis. By the way, tumben lo nggak bareng Bang Satria? Biasanya bareng mulu.”

“Hm ... sebenernya gue lagi kabur dari Satria.”

“Kenapa? Lo sama dia berantem?”

“Gue nggak berantem sama Satria, kok. Gue kabur karena dia ngelamar gue,” jujur Lisa seraya terkekeh.

Cakra ikut terkekeh tapi tawanya terdengat sinis. “Apa semua cewek memang selalu kabur setelah menerima pernyataan cinta atau diminta menjalin sebuah hubungan?” tanyanya datar. Walau netra pria itu kini fokus ke depan aku tahu jika ia tengah menyindirku habis-habisan.

“Setuju! Cewek emang ribet, Ta. Makanya gue nggak mau pacaran sama cewek,” kekeh Lisa seraya mengedipkan satu mata yang langsung direspons Cakra dengan tawanya yang khas.

“Eh, Ta, itu yang disamping siapa? Pacar?” tanya Lisa seraya mengerling jahil.

“Oh, kenalin ini Luna. Temen gue dari kecil,” jawab pria itu seraya memperkenalkan gadis yang duduk di sampingnya.

Lisa mengulurkan tangannya untuk berkenalan dan aku pun mengikuti perbuatan gadis itu dengan senyum paksa yang bertengger di bibirku.
Lisa menatap Cakra dan Lisa penuh minat. “Yakin cuma temen? Menurut pengalaman pribadi gue, cowok sama cewek yang temenan dari kecil nggak mungkin bisa cuma jadi teman,” tutur Lisa yang sontak membuatku melirik sinis gadis itu.

Ya, aku tahu jika hubungannya dengan Satria memang seperti itu; sahabat jadi cinta. Tapi tidak semua orang bakal begitu, kan?

Luna menggeleng dengan wajah memerah. “Kami beneran cuma temen, kok,” lirihnya malu.

“Ya, waktu seumuran kamu aku juga mikir gitu. Tapi siap-siap aja ya, Luna, siapa tahu sepuluh tahun lagi Cakra bakal ngelamar kamu tiba-tiba,” ujarnya yang sontak membuatku yang tengah minum langsung tersedak. Membuat aku batuk-batuk hebat dengan dada terasa sesak. Cakra bangkit dari duduknya dan menepuk-nepuk punggungku lembut. Lalu pria itu memberiku selembar tisu.

“Kamu nggak papa?”

“Saya nggak papa. Terima kasih tisunya.”

Aku melirik Lisa sinis. Dasar kampret! Kenapa Lisa tidak bisa mengontrol mulutnya, sih? Sialan! Memikirkan jika Cakra dan Luna akan bersama di masa depan saja sudah membuat kepalaku berdenyut nyeri.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang