Jakarta, 13 tahun lalu.
Hujan deras masih mengguyur kota tanpa henti. Guntur dan petir pula saling bersahutan sedari tadi. Tubuhku yang mengigil pun masih terduduk kaku di samping pria yang saat ini tampak begitu frustrasi.
Seharusnya sejak awal kami tahu jika melakukan seks walau memakai kondom tetap bisa membuatku hamil atau berbadan dua. Namun, kami memang dua remaja naif yang begitu bodoh dan tolol. Sekarang kami harus menanggung akibatnya, karena pada akhirnya kita memang selalu mendapat apa yang kita tanam. Tetapi tetap saja saat ini pikiranku buntu dan aku tak tahu harus bagaimana.
Sudah dua jam sejak aku memberitahukan kekasihku jika saat ini aku tengah berbadan dua. Tespek yang sejak tadi aku genggam menjadi saksi jika cinta yang digaungkan pria itu saat kami bercinta hanyalan bualan belaka. Dimas lepas tanggung jawab. Bahkan aborsi langsung keluar dari mulut pria itu begitu aku memberitahukan jika kini aku tengah hamil mungkin dua bulan, karena sudah selama itu aku berhenti menstruasi.
“Kamu tenang, oke? Bentar lagi kita sampai ke kliniknya, kok,” ujarnya kalut tapi masih setia memegang kemudi.
Seperti sebelumnya aku hanya menjawab dengan kebisuan. Ini benar-benar pengalaman paling mengerikan dalam hidupku. Aku baru tahu jika saat ini aku tengah hamil dua jam lalu, tapi kini aku dalam perjalanan menuju tempat di mana kandunganku akan dimunaskan.
Aku seperti orang yang hampir gila. Pikiranku kalut luar biasa. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua berlalu begitu cepat dan aku tidak sanggup menerima semuanya sekaligus. Bahkan, tubuhku masih setia gemetaran sejak dua jam lalu.
Akhirnya Dimas menghentikan mobilnya di halaman sebuah rumah yang sejak tadi pria itu sebut sebagai ‘klinik’. Dimas turun dari mobil, lalu setengah berlari mengitari mobil dan menuntunku keluar dari mobil. Tubuhku hanya mengikuti apa pun yang Dimas suruh. Aku benar-benar kehilangan dayaku.
Dimas mengetuk pintu dengan tergesa, terlihat jika pria itu masih sangatlah kalut. Bahkan, teriakan salam yang pria itu gaungkan terdengar bergetar. Tak menunggu lama akhirnya pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya menyuruh kami segera masuk ke dalam.
Seperti sudah biasa menangani ‘pasien’ wanita paruh baya itu langsung mengerti tujuan kedatangan kami. Ia pun menyuruh Dimas memasuki sebuah kamar dengan single bed berwarna putih yang agak kusam. Dimas menuntunku duduk di sana.
“Mari melakukan administrasi dulu,” ujar wanita paruh baya itu datar.
Dimas menganggukkan kepalanya, lalu pria itu berlutut di bawahku. Ia mengelus tanganku lembut. “Semua bakal baik-baik aja, oke? Kamu tenang aja, di sini aman. Kamu bakal keluar dengan selamat dan semuanya bakal baik-baik aja. Anggap aja semuanya cuma mimpi, setelah obat bius habis semua bakal kembali normal. Aku janji.”
Setelah mengatakan itu Dimas langsung keluar kamar dan meninggalkan aku sendirian. Tubuhku masih gemetaran hebat dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar kehilangan arah dan tak tahu harus bagaimana.
Dengan tangan gemetar aku kembali melihat kembali tespek yang sejak tadi aku genggam. Dua garis di tespek sangatlah nyata, bayi itu benar-benar tumbuh di dalam rahimku. Bagaimana bisa Dimas menyuruh menganggap ini semua hanyalah mimpi?
Mama ... Anya takut....
Air mata perlahan turun dari mataku dan aku mulai terisak sendirian—hanya ditemani suara tiktok jam dinding yang menunjukkan jika waktu terus berjalan dan menunjukkan jika ini semua bukanlah mata. Semua tidak akan pernah selesai besok. Tidak akan ada yang kembali normal.
Rasa mual kembali menyerangku. Seminggu terakhir aku memang berteman akrab dengan rasa mual. Aku menutup mulutku dengan tangan kanan lalu berlari menuju kamar mandi yang ada di pojok ruang. Di dalam kamar mandi aku langsung menumpahkan semua isi perutku.
Setelah rasa mual itu hilang aku bangkit dari posisiku dan aku dapat melihat wajah pucatku di cermin. Aku melihat ke bawah dan lewat cermin aku dapat melihat perutku yang masih rata, tapi ada sebuah kehidupan di sana.Dengan jari-jari kurus yang gemetaran aku mengelus perutku. Aku akan jadi seorang ibu, bagaimana bisa aku membunuh darah dagingku sendiri?
Tidak, kamu masih waras, Anya. Ayo pergi dari sini!
Namun tubuhku masih berdiri di depan cermin, kakiku sama sekali tidak mau melangkah ke mana pun. Isakan kembali keluar dari mulutku.
Maaf....
Untuk beberapa saat aku hanya menangis sendirian di kamar mandi. Wajahku benar-benar tampak mengerikan di cermin. Namun aku tak tahu harus apa, tak tahu harus bagaimana. Sekali lagi aku melihat perut rataku lewat cermin, ada kehidupan di dalam sana, bagaimana bisa aku merenggutnya?
Anya, kali ini kamu harus benar-benar pergi!
Aku menghapus air mata, lalu mengangguk untuk meyakinkan diriku sendiri di depan cermin. Sekali lagi aku mengelus perutku, kali ini begitu lembut.
Ya, aku harus pergi dari sini. Namun, saat aku melangkah keluar dari kamar mandi, tanpa sadar aku menginjak bagian lantai yang basah sehingga aku kehilangan keseimbangan diriku. Tubuhku pun menghantam lantai dengan keras.
Aku berteriak, lalu segera membekap mulutku begitu melihat darah mengalir di antara kedua kakiku dan menetes di lantai kamar mandi yang berwarna putih. Perutku juga rasanya sakit luar biasa.Tolong bertahan! Tolong bertahan!
Namun, akhinya kegelapan menelanku. Dan ketika aku bangun, aku sudah kehilangan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...