"Santai aja, Rob, gue sama Sela aja yang jagain toko hari ini. Lo bantuin yang lain aja dekor nikahannya Mbak Kinan," ujarku menenangkan.
"Oke, kalo gitu! Gue ke lokasi dulu, ya!" seru pria itu seraya mengacungkan jari jempolnya.
Sekali lagi aku mengangguk. "Iya, ati-ati di jalan, ya! Nggak usah buru-buru. Oh ya, coba tanyain yang lain udah pada sarapan atau belum. Kalo belum lo beliin sarapan aja di jalan. Gue yang traktir."
"Siap Bu Bos! Thanks, ya! Mbak Anya emang yang terbaik!"
Aku melambaikan tangan ke atas, lalu segera beranjak ke lantai dua untuk menaruh tas sebelum nanti kembali turun untuk menjaga toko. Hari ini Istana Bunga memang mendapat pesanan seribu bunga mawar untuk pernikahan salah satu teman Robbi.
Sebenarnya Istana Bunga punya tim sendiri yang bertugas mengantar dan mendekorasi bunga di acara pernikahan, tapi tadi Robbi menginfokan jika Faris-salah satu anggota tim dekorasi-tidak dapat datang ke acara karena jatuh sakit. Makanya aku menyuruh Robbi untuk membantu mendekor di sana. Lagi pula, pria itu juga sudah meminta izin pulang lebih awal untuk datang ke pernikahan Kinan.
Bibirku tersenyum manis saat aku melihat tas Cakra sudah ada di mejanya. Walau si tengik itu terkadang menyebalkan dan cerewetnya minta ampun, tapi ia adalah orang yang kompeten dan banyak meringankan beban pekerjaanku. Jadi, ya ... bisa dibilang aku puas dengan pekerjaan pria itu.
Aku membuka pintu ruanganku dengan tangan kanan, lalu aku mengerutkan kening saat aku melihat sebuah tempat makan merah jambu bergambar Barbie tergeletak di mejaku. Aku mengangkat tampat makan tersebut dan mengamatinya serius. Ini punya siapa?
Aku pun segera keluar ruangan saat aku mendengar suara gaduh dari meja Cakra. Sepertinya pria itu sudah kembali ke mejanya. Aku menghampiri Cakra seraya membawa tempat makan bergambar Barbie tersebut.
"Ini punya kamu?"
Cakra tersenyum lebar. "He-em, itu punya saya, Mbak. Jadi, hari ini anak ibu kos tempat saya ngekos ulang tahun. Nah, si ibu bagi-bagi nasi kuning ke tetangganya. Terus karena saya inget Mbak Sonya jarang sarapan, jadi saya bawain sekalian," jelas pria itu.
Aku mengangguk mengerti. "Oke, thanks."
Cakra mengeluarkan tempat nasi gambar si kembar botak Upin-Ipin dari dalam tasnya. "Mau makan bareng?"
Aku tersenyum segaris. "Kalo kamu kayak gini karena kasian sama say-"
"Kenapa saya harus kasian sama kamu? Memangnya kamu perlu dikasihani?" potong pria itu.
Aku menatap Cakra lama sebelum mengangguk setuju. "Oke, ayo kita makan bareng. Nanti siang gantian saya yang traktir kamu."
"Deal!" seru pria itu dengan senyuman super lebar. Senyuman yang akhirnya membuat aku ikut tersenyum.
Setelah itu aku melangkahkan kaki mendekat ke meja Cakra dan duduk di depan pria itu. Kami sama-sama membuka tempat makan bergambar kartun ini dan nasi kuning lengkap dengan topingnya langsung tersaji. Astaga dasar bocah! Tempat makannya saja lucu-lucu begini.
Kami pun makan berdua dengan lahap. Sesekali Cakra bercerita dengan antusias. Pria itu menceritakan banyak hal. Mulai dari hobi fotografinya dan hubungan pertemanannya dengan Ganesha. Lalu si cerewet ini juga bercerita tentang kucing kampung yang ada di dekat stasiun tempat ia turun tadi pagi, dan topik tidak penting seperti jumlah anak tangga di kosannya. Dan anehnya, aku sama sekali tidak keberatan mendengar itu semua, mungkin karena aku sudah terbiasa dengan kecerewetan pria itu.
Diam-diam aku juga mengamati cara makan Cakra yang seperti anak kecil dan aku sontak tertawa saat melihat wajah pria itu memerah karena menyocol terlalu banyak sambal.
Ck, dasar bocah!
Ya ... bocah yang manis.
***
Aku segera turun ke lantai bawah setelah berganti pakaian menggunakan seragam pegawai Istana Bunga yang berwarna biru langit. Tidak lupa aku mengikat rambutku ekor kuda dengan bandana berwarna biru tua dengan motif bunga.
Bagitu aku turun aku langsung disambut oleh Sela dan Cakra. Mereka berdua juga sudah berganti pakaian menggunakan seragam Istana Bunga. Untunglah di rak penyimpanan masih ada seragam pria yang tersisa, sehingga Cakra bisa memakainnya walau sedikit kebesaran di tubuh pria itu.
"Pesanan Bu Hanum, Sel?" tanyaku seraya mendekat pada Sela yang tengah merangakai buket bunga lili.
"Ho-oh, Mbak, biasa. Seminggu sekali pasti Bu Hanum pesen lili buat suaminya. So sweet banget, ya?"
"Mungkin emang bener, Sel. Bakal ada orang yang selalu mencintaimu sampai mati. Meski ragamu sudah tidak ada lagi di bumi."
"Ya, lo bener, Mbak. Dan gue harap, suatu hari nanti gue juga bakal dicintai kayak gitu. Harapan gue nggak ketinggian, kan?" tanya gadis itu seraya terkekeh.
Aku menggeleng seraya tersenyum lembut. "Nggak kok, Sel, harapan lo sama sekali nggak ketinggian. Dan gue tahu someday lo bakal dicintai sampai begitu, because you deserve it."
Sela langsung memelukku dari samping. "Thanks, Mbak. Gue harap doa baiknya balik ke lo."
Aku membalas pelukan Sela seraya tertawa kecil. "Iya, iya, amin. Yaudah lepasin pelukan lo, gue mau ngasih pupuk dulu di samping. Kalo perlu bantuan, panggil gue, oke?"
"Oke, Mbak!" seru Sela seraya melepaskan lengannya yang melingkar di pinggangku.
Lalu aku keluar toko diikuti Cakra. Pria itu akan membantuku memberi pupuk tanaman. Kedua sudut bibirku sontak terangkat saat melihat bunga-bunga yang bermekaran. Senang rasanya saat mengetahui anak-anakku tumbuh dengan baik.
Aku dan Cakra jongkok mengelilingi pot bunga matahari. Masih dengan senyuman lebar aku mulai memberikan pupuk ke dalam pot. "Apa?" tanyaku karena sejak tadi tatapan Cakra fokus ke arahku.
"Mbak Sonya cantik kalo lagi senyum gitu," ujarnya yang sontak membuat kedua pipiku terasa panas.
Dasar bocah sialan!
"Ck, kamu godain orang yang salah. Kalo mau modus sama anak seumuran aja sana! Dasar bocah!" dengkusku salah tingkah. Sial, pasti ada yang salah dengan reaksi tubuhku.
"Saya nggak modus lho, Mbak. Kan, saya udah bilang kalo saya orangnya jujur."
"Ya, ya, terserah," ujarku seraya memalingkan wajah yang terasa terbakar.
Lalu aku celingukan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sekop kecil yang tadi aku bawa. Namun, karena ikatan rambutku mungkin tidak kencang, kini ikatan itu terlepas. Membuat rambutku tergerai berantakan.
Aku berdecak dan berniat melepas sarung tanganku yang berlumuran pupuk, tapi suara Cakra lebih dulu mengintrupsi. "Biar saya aja, Mbak. Tangan saya masih bersih," ujarnya seraya membuka sarung tangan kiri yang tadi sudah terpasang. Setelah itu ia meraih rambutku dan mulai mengikatnya dengan bandana. "Kalo sakit bilang, ya?" bisiknya pas di telingaku.
"Ya," jawabku lirih dengan suara gemetar.
Tubuhku mendadak kaku saat Cakra mulai mengikat rambutku dengan hati-hati. Bulu kudukku meremang saat jari-jari Cakra sesekali menyentuh kulit leherku. Jarak tubuh kami yang begitu dekat membuatku dapat menghidu aroma tubuh Cakra yang berbau vanila. Dan entah kenapa ... aroma ini terasa begitu familiar di hidungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...