Denial

14.2K 2.2K 33
                                    

Sekali lagi aku menyesap teh manis yang ada di hadapanku. Hari ini aku dan Cakra ada meeting dengan Liana Wong—seorang wedding organizer yang juga merupakan teman Kirana. Sepupuku itu mengatakan jika Liana jatuh cinta dengan dekorasi Istana Bunga di pesta pernikahannya beberapa saat lalu. Sehingga wanita itu mengajukan kerja sama.

Menurutku ini kesempatan yang bagus, karena beberapa bulan terakhir aku memang sudah berpikiran untuk menjalin kerja sama dengan beberapa wedding organizer tapi belum terealisasikan. Jadi, saat kemarin Liana Wong mengirim proposal pengajuan kerja sama, aku langsung menyetujuinya.

Teh hangat yang aku minum nyatanya tidak dapat membuat perasaanku yang kacau jadi lebih baik. Kebisuan yang sejak tadi menggantung di antara aku dan Cakra benar-benar membuatku tersiksa setengah mati. Apalagi sejak tadi jantungku terus berdebar kencang dan pipiku terasa panas sebab mengingat pernyataan cinta Cakra kemarin. Bohong kalau aku bilang aku tidak senang karena Cakra mencintaiku, tapi memangnya aku bisa apa?

Kebisuan Cakra membuat aku semakin tersiksa. Sungguh, aku lebih suka Cakra yang cerewet dan suka bercerita hal-hal tidak penting. Namun sejak tadi ia malah diam, membuat kegiatan menunggu ini semakin menyiksa.

Sontak aku langsung mengembuskan napas lega saat akhirnya aku melihat Kirana dan Liana Wong memasuki Queen Bakery. Aku pun segera berdiri diikuti Cakra untuk menyambut Liana Wong dan menyalaminya.

“Maaf, sepertinya saya terlambat, ya?” tanya Liana seraya mengajakku cipika-cipiki.

“Nggak kok aku juga baru nyampe sekitar sepuluh menit lalu,” jawabku menenangkan.

Setelah bersalaman dengan Cakra, Liana langsung duduk tepat di depan pria itu. Seraya menunggu roti yang kami pesan disajikan kami pun memilih memulai diskusi tentang rencana kerja sama kami ke depannya.

“So, sekarang kita partner?” tanya Liana seraya mengulurkan tangan.

“Tentu, semoga kerja sama kita lancar ke depannya,” sahutku seraya menyambut uluran tangan Liana mantap. Lalu kami sama-sama tersenyum lebar.

Setelah diskusi berakhir kami langsung memakan roti bakar yang telah disajikan di piring masing-masing. Sesekali kami para wanita berbincang santai tentang produk kecantikan atau model tas terbaru. Sedangkan Cakra hanya menanggapi sesekali saat ditanya dan memang agak aneh saat melihat si cerewet itu jadi pendiam.

Liana adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Kami langsung nyambung saat membicarakan tentang bisnis atau hal lainnya. Sepertinya kami akan menjadi partner bisnis untuk waktu yang sangat lama.

“Kalo begitu saya permisi dulu ya, Anya. Na, gue balik, ya. Thanks buat hari ini, Ta,” ujar Liana yang langsung kami bertiga respons dengan anggukan. Wanita cantik itu memang memutuskan untuk pulang duluan karena suaminya sudah datang menjemput.

Kini hanya tinggal aku, Cakra, dan Kirana yang tinggal di Queen Bakery. Kami memutuskan untuk menghabiskan makanan dulu sebelum pergi.

“So, kalian udah jadian?” tanya Kirana yang sontak membuat aku tersedak roti yang tengah aku kunyah.

“Pelan-pelan, Anya,” ujar Cakra seraya membantuku meminum teh yang sudah dingin.

Kirana bertopang dagu seraya mengamati interaksi kami dengan serius. “Hmm ... Kalo diliat dari interaksi kalian harusnya udah, kan?” tanyanya dengan sorot jahil.

Aku menatap Kirana penuh peringatan lalu segera bangkit dari dudukku. “Gue balik kantor dulu,” ujarku seraya berjalan cepat ke arah pintu diikuti Cakra.

Kirana sialan! Harusnya sejak awal aku tahu kenapa dari kemarin sepupuku itu ngotot ingin ikut rapat denganku.

Awas saja dia nanti, nggak bakalan gue temenin tidur kalo Mas Ghani ke luar kota!

***

Terkutuklah Kirana karena membuat suasana di antara aku dan Cakra menjadi semakin ruwet. Selama perjalanan kembali ke kantor kebisuan yang mengudara di dalam mobil benar-benar membuat sesak. Sebenarnya bisa saja kami mengobrol biasa dan memaki kemacetan Jakarta bersama, tapi jelas itu akan membuat kami sama-sama tidak nyaman.
Ada masalah yang harus kami selesaikan. Pura-pura tidak terjadi apa-apa jelas bukan pilihan. Untuk memecah keheningan akhirnya aku memilih menyalakan radio dan suara merdu Ariana Grande yang menyanyikan lagu 34+35 langsung menggema di dalam mobil.

Can you stay up all night? (All night)
Fuck me ‘til—

Holyshit! Ya ... hello semesta? Seriousy-lah!

Dengan tergesa aku pun segera mematikan radio dan mengalihkan pandangan ke arah jendela dengan pipi yang terasa terbakar.

Aku langsung mengembuskan napas lega saat akhirnya mobil yang dikendarai Cakra sampai di parkiran Istana Bunga. Aku pun segera bergegas turun dari mobil, tapi cekalan tangan Cakra membuatku mengurungkan niat. Sehingga aku kembali duduk dengan tenang di dalam mobil.

“Anya, saya suka kamu,” ujar Cakra seraya menatapku serius.

“Saya tahu, Ta. Makasih karena udah suka saya.” Aku tersenyum simpul. “Kamu susah dibilangin, ya? Kan, waktu itu saya udah bilang kalo mau modus sama anak seumur aja. Saya udah tiga puluh, lho.”

“Saya sama sekali nggak mempermasalahkan itu.”

“Itu saya juga tahu. Tapi maaf saya nggak bisa, Ta.”

“Kenapa nggak bisa? Saya tahu kamu juga suka saya.”

“Terus, kalo kita saling suka memangnya kita bisa apa, Ta?”

“Kita bisa pacaran, Nya,” jawab pria itu dengan wajah memerah sampai telinga.

Aku tertawa sumbang. “Ta, saya nggak mau menghabiskan waktu untuk hal sia-sia. Setelah kita pacaran lalu apa? Putus? Saya tahu kamu masih muda, masih bisa gonta-ganti pacar dan main sana sini. Tapi maaf, saya nggak mau jadi taman bermain kamu.”

“Saya emang lebih muda dari kamu, Anya. Tapi bukan berarti saya kekanakan. Hanya karena saya lebih muda bukan berarti saya suka main-main. Ayo coba pacaran sama saya, biar kamu tahu saya nggak pernah main-main atau pun modus. Saya serius suka sama kamu.”

Perkataan Cakra membuatku tertegun, kesungguhan di mata pria itu membuat dadaku terasa mau meledak oleh rasa bahagia.

Aku mencengkeram ujung bajuku. Tidak, aku tidak boleh luluh. Aku tidak mungkin menyeret Cakra ke dalam hidupku yang berantakan.
“Maaf, Ta, saya nggak bisa. Dengar, hubungan kita nggak bakalan berhasil. Jadi, lebih baik kita nggak membuang waktu buat ngelakuin hal yang sia-sia, oke?”

Aku tahu perkataanku membuat Cakra terluka. Tatapan sendu pria itu membuatku semakin mencengkeram ujung bajuku, sungguh saat ini aku juga merasakan sakit yang sama.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang