Take Your Time, Love

13.8K 2K 39
                                    

Sekali lagi aku menguap lalu mengucek mataku yang sedikit berair. Tak peduli sudah seberat apa pun kepalaku sampai rasanya mau pecah, aku tetap tidak bisa tidur. Kedua mataku masih saja terjaga walau raga dan jiwaku sudah sangat lelah.

Efek bertemu kembali dengan Dimas benar-benar luar biasa. Bayangan-bayangan menyakitkan masa lalu kembali berputar di kepala—mencipta denyut menyakitkan di dada kiri.

Dengan mata terpejam aku memijit pelipis kananku yang berdenyut. Refleks, aku langsung membuka mata saat mendengar pintu ruanganku dibuka dari luar. Terlihat Cakra memasuki ruanganku seraya membawa beberapa lembar kertas.

“Ini jadwal kamu buat seminggu ke depan,” berita pria itu seraya menaruh kertas-kertas yang dibawanya ke mejaku.

“Thanks, Ta,” sahutku seraya tersenyum paksa.

Cakra memutari meja dan memutar kursiku hingga menghadapnya. Lalu pria itu menenggelamkan kepalaku di perutnya dan aku pun menyadarkan kepalaku di perut datar pacarku itu.

“Ngantuk?” tanya Cakra seraya mengelus suraiku lembut.

Aku mengangguk mengiakan. “Ho-oh, soalnya semalem aku nggak bisa tidur.”

“Kenapa nggak bisa tidur? Ada masalah?”

“Kemarin aku ketemu Dimas,” jawabku singkat tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Cakra segera merespons ucapakanku dengan anggukan kepala mengerti tanpa bertanya tentang apa pun. Seolah ia sudah paham semuanya. Dan ini yang aku suka dari Cakra, aku tahu pria itu punya banyak pertanyaan tentang masalahku dengan Dimas, tapi ia tak pernah menuntut penjelasan apa pun padaku. Katanya ia akan menunggu sampai aku siap menceritakannya sendiri.

“Aku udah liat jadwal kamu hari ini dan nggak ada rapat penting atau hal mendesak yang harus kamu kerjakan. Jadi, mending hari ini kamu istirahat aja. Mau aku antar pulang?”

“Kalo mau, hari ini aku bisa nggak masuk kantor. Tapi di rumah sumpek, Ta. Pikiranku malah ke mana-mana.”

Cakra terdiam cukup lama, pria itu tampak tengah berpikir. Hingga akhirnya ia berkata, “Tidur di kosan aku aja mau? Mungkin kamu butuh suasana baru buat tidur. Kalo kamu nggak keberatan. Ayo bolos kerja.”

“Heh enak aja bolos kerja! Jangan harap kamu bisa makan gaji buta, ya!” sahutku bercanda.

Cakra menepuk kepalaku sayang. “Aku cuma mau kamu tidur, Sayang. Aku nggak suka kamu sakit.”

“Oke, ayo kita bolos. Tapi tolong biarin gini lima menit, ya? Kepalaku rasanya mau pecah,” ujarku seraya kembali menyandarkan kepalaku di perut Cakra.

“Iya, Sayang,” jawab pria itu seraya kembali mengelus kepalaku lembut. Membuatku semakin menenggelamkan kepala di pelukan Cakra, rasanya benar-benar nyaman.

***

“Kamu tidur aja kalo ngantuk.”

“Beneran nggak ada yang bisa aku bantu? Ngiris wortel aku bisa, lho.”

Saat ini aku dan Cakra sudah ada di kosan pria itu. Dan karena kami kabur sebelum makan siang, jadinya kini Cakra tengah berjibaku dengan berbagai peralatan di dapur untuk membuat makan siang untuk kami berdua.

“Nggak usah, Sayang. Ini aku juga udah mau beres, kok. Kamu istirahat aja.”

“Nggak bisa, Ta, aku udah nyoba dari tadi tapi nggak bisa.”

“Oke, kalo gitu kamu tunggu di situ aja. Liatin betapa seksinya aku pas masak,” candanya seraya mengedipkan satu mata yang sontak membuatku tertawa kecil.

Astaga gemes!

Aku pun turun dari kursi bermaksud mengacak rambut pacarku itu, tapi langkahku tertahan saat senyuman menggoda Cakra berubah menjadi desisan karena pria itu tanpa sengaja mengiris telunjuknya sendiri. Sepertinya luka pria itu lumayan dalam karena darah yang menetes di lantai lumayan banyak.

Bayangan-bayangan tiga belas tahun lalu kembali menghantui dan aku langsung mencengkeram perut karena perutku tiba-tiba sakit luar biasa. Hingga akhirnya kegelapan merengkuhku diiringi teriakkan Cakra yang tengah menyuci jari telunjuknya di westafel.

***

“Udah bangun?”

“Ta, aku pingsan, ya?” tanyaku memastikan.

“Ho-oh, tadi kamu pingsan,” jawab pria itu seraya mengeratkan pelukannya di tubuhku.

“Jam berapa sekarang?”

“Jam tujuh kurang. Kalo masih sakit kamu lanjut tidur aja. Aku peluk. Atau mau minum obat dulu?”

Aku mendongakkan kepala hingga mataku dan mata Cakra bertautan. “Tadi aku diperiksa dokter?”

“Iya, kata dokter kamu kecapean dan butuh istirahat. Dan soal sakit perut kamu—“

“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Iya, aku nggak perlu khawatir karena nggak ada masalah apa pun. Makanya aku lega luar biasa.”

Aku menggigit bibir bawahku. “Ta, emangnya kamu nggak kepo soal hubunganku sama Dimas di masa lalu? Kenapa aku nggak bisa tidur gara-gara dia? Kenapa aku sakit perut tanpa sebab?” tanyaku beruntun.

Pria itu mengecup rambutku lembut. “Aku penasaran tentu. Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku nggak bakal maksa kamu cerita sampai kamu siap. Take your time, Love.”

“Kalo aku anak SMA labil, pasti aku udah putusin kamu karena kamu terlalu baik buat aku.”

Kali ini Cakra mengecup bibirku. “Aku nggak suka bibir kamu ini bilang putus. Aku nggak mau putus.”

Aku balas mengecup bibir Cakra. “Aku juga nggak mau putus,” sahutku, lalu kami tersenyum bersama.

“Sayang, kamu tahu kenapa aku suka baca buku Winnie-the-Pooh pas aku kecil?” tanya Cakra tiba-tiba.

“Kenapa?” tanyaku seraya bergelung nyaman di pelukan Cakra.

“Karena kata-kata ini; you are braver than you believe, stronger than you seems, and smarter than you think. So, don’t be afraid, Anya. I’m here and I love you. Forever, Love. Kamu nggak sendirian, kamu kuat, kamu berani, jadi jangan terbelenggu sama masa lalu. Apa pun masalah kamu di masa lalu semuanya udah berlalu. Kamu nggak hidup di sana lagi. Let them go, jangan biarin apa pun menghalangi kebahagiaan kamu.”

Aku menyelipkan jemariku dalam rongga jemari Cakra. “Makasih karena udah bilang gitu. Tapi maaf aku nggak bisa cerita semuanya sekarang. I love you too, Ta, so damn much.”

Maaf karena aku belum siap menceritakan segalanya. Maaf karena aku ingin menahan kamu lebih lama. Maaf karena kali ini aku tetap bungkam.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang