Bad Day

13.9K 2K 25
                                    

Setelah mengirim pesan kepada Kirana yang berisi pemberitahuan jika sebentar lagi aku akan sampai di rumah sepupuku itu, aku pun segera melajukan mobil sebab lampu merah yang sejak tadi menahanku sudah berubah warna menjadi hijau.

Hari ini aku dan Kirana memang berjanji akan ketemuan saat makan siang. Sepupuku yang kini tengah hamil empat minggu itu menerorku sejak pagi. Ia minta dibelikan pempek kapal selam yang ada di dekat Istana Bunga. Setelah tiga hari lalu Kirana dinyatakan hamil gadis itu memang berubah menjadi sangat menyebalkan.

Aku, Ghani, dan Ganesha menjadi super kerepotan karena permintaan aneh-aneh gadis itu yang dilabeli dengan ‘nyidam’.

Sebenarnya hari ini aku berniat makan siang dengan Cakra. Tetapi karena Cakra harus bertemu dengan ayahnya yang sudah jauh-jauh datang dari Singapura, akhirnya kami membatalkan rencana makan siang yang sudah kami rencanakan sejak semalam.

Lalu daripada makan siang sendirian aku pun memutuskan untuk menuruti nyidam menyebalkan Kirana.

Akhirnya aku sampai di rumah Kirana. Terlihat sepupuku yang tengah menungguku sendirian di teras rumah. Gerakanku membuka seat belt terpaksa berhenti karena Kirana kini berjalan ke arah mobil yang aku naiki lalu dengan seenak jidat duduk di kursi penumpang.
Gadis itu menelengkan kepalanya ke arahku dengan senyuman lebar di bibirnya. “Anya, beli ceker pedes yang ada di deket sekolah SMA kita dulu yuk! Gue pengen makan itu deh dari pagi,” ujarnya seraya merengek.

“Lho, katanya tadi pagi pengen pempek kapal selam.”

“Ya, kan itu pengennya jam 7. Nah, pas jam 8 gue pengen ceker pedes. Udahlah gas berangkat. Ngeces lho entar keponakan lo kalo nyidamnya nggak dipenuhi.”

“Halah! Bilang aja yang pengen itu lo. Ponakan gue dijadiin tameng mulu.”

“Ya, ponakan lo minta lewat telepati sama gue. Ikatan batin antara ibu dan anak, Nya.”

“Awas aja kalo entar gue yang nyidam. Gantian gue bakal ngerjain lo!” sungutku sebal seraya melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Kirana yang luas.

“Siap! Bebas deh lo ngerjain gue apa aja. Cie~ akhirnya jadian juga sama si Cakra. Halah kemaren sok-sokan bilang buat apa ngelakuin hal yang sia-sia,” ejek sepupuku itu yang sontak membuat kedua pipiku terasa panas.

Aku memang belum membeberkan hubunganku dengan Cakra ke khalayak umum karena kami berdua sepakat untuk backstreet dulu. Semua terbeber ke publik dengan tidak sengaja karena keteledoranku sendiri juga.

Waktu datang ke Klik Cakra mengendarai mobilku. Dan Ganesha yang sudah menjadi sepupuku selama tiga puluh tahun jelas langsung tahu jika mobil yang terparkir di halaman Klik waktu itu adalah mobilku. Sungguh, acara sembunyiku dengan Cakra kemarin adalah hal yang sia-sia. Walau aku sama sekali tidak menyesali apa-apa. Membayangkan itu lagi-lagi aku terasa seperti terbakar dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Aku berdeham pelan untuk menghalau apa pun yang akan muncul di kepala. “Gue cuma memanfaatkan kesempatan yang datang kayak saran lo. Dan setelah gue lakuin ternyata itu nggak buruk.”

“Syukurlah kalo gitu. Gue juga ikut seneng karena akhirnya lo berani membuka hati lagi,” ujar Kirana seraya tersenyum tulus.

Aku membalas senyuman Kirana. “Gue juga seneng akhirnya mau punya ponakan pertama. By the way, gimana morning sickness lo? Udah mendingan?”

“Kalo pagi gue masih sering mual, sih. Tapi setelah dikasih vitamin sama dokter udah lebih mendingan. Terus aroma tubuhnya Mas Ghani juga ngebantu banget buat ngilagin mual.” Kirana mengelus perutnya lembut. “Kayaknya anak gue cewek, deh. Soalnya manja banget sama bapaknya.”

“Emaknya atau anaknya nih yang mau manja sama bapaknya?” tanyaku menggoda.

Kedua pipi Kirana tampak memerah. “Anaknnya-lah! Terus kalo gue mau manja-manja juga siapa yang ngelarang? Udah halal ini. Lo tuh yang sama Cakra kudu hati-hati. Nanti tiba—“

“Shut up!”

Sialan kok ini malah gue yang dicecar balik.

“Sekedar mengingatkan, Sister!” seru Kirana seraya terbahak yang hanya aku respons dengan memutar mata malas.

Lima belas menit kemudian akhirnya kami sampai di warung ceker pedas langganan kami waktu SMA. Sudah banyak yang berubah dari warung ini. Satu-satunya hal yang masih sama adalah antrian panjang yang terurai sampai luar warung. Cita rasa ceker pedas di sini memang tidak pernah berubah. Selalu enak dan kadang membawa kesan nostalgia. Mungkin itu juga yang membuat warung ceker pedas ini punya banyak pelanggan setia. Makanya tidak aneh kalau datang ke sini kadang aku tidak sengaja bertemu dengan teman-teman zaman sekolah.

Untungnya ada satu meja kosong di pojok kiri karena sekumpulan anak sekolah yang tadi menempatinya sudah beranjak pergi. Sehingga aku dan Kirana bisa menempati meja tersebut sekarang.

“Gimana Cakra selama pacaran?” tanya Kirana kepo seraya bertopang dagu. Gadis itu menatapku intens.

Aku balas menatap netra Kirana dengan intens. “Gimana Mas Ghani saat jadi suami lo?”

“Ye, si kampret! Ditanya malah balik nanya! Yakin nih mau gue ceritain? Nanti lo ngiri lagi,” jawabnya seraya cekikikan.

“Asem!” makiku yang malah membuat tawa Kirana semakin kencang. Dasar sepupu kampret!

“Eh, Nya, gue ke toilet bentar, ya? Kebelet nih.”

“Oke.”

Selama menunggu Kirana aku memutuskan untuk memainkan ponsel. Aku sedikit khawatir karena Cakra belum membalas pesanku padahal pacarku itu sudah membacanya sejak tadi. Aku tebak urusan pria itu dengan ayahnya belum beres. Jujur saja aku tidak tahu ada masalah apa di antara ayah dan anak itu. Dan hal itu semakin membuatku uring-uringan tidak jelas.

Apalagi sepertinya masalah di antara mereka cukup serius karena Cakra sampai kabur dari rumah. Terkadang saat memikirkan masalah ini dadaku terasa sesak, aku pacar Cakra tapi aku tidak tahu apa-apa tentang pria itu. Seperti Cakra yang tidak tahu apa-apa tentang aku. Sebenarnya hubungan macam apa yang sedang kami lakukan?

Aku mengalihkan pandangan dari ponsel saat merasakan seseorang duduk di depanku. Mataku langsung terbelalak saat aku melihat siapa pria itu. Dimas!

“Ngapain lo di sini?” tanyaku datar. Tanganku mencengkeram erat ponsel yang aku pegang bermaksud melampiaskan rasa sesak yang menghimpit dada.

Dimas tersenyum manis. “Entahlah tiba-tiba aku kepengen makan ceker pedes langganan kita dulu. Jadinya aku ke sini. Dan ternyata malah ketemu kamu. Mungkin ini yang dinamakan takdir? Anya, aku batalin pertunangan sama Marisa karena aku sadar ternyata aku masih cinta sama kamu. Anya, ayo perbaiki semuanya.”

Hahahahahaha! Apa katanya ayo perbaiki semuanya? Kenapa dulu ia tidak mencegahnya agar tidak rusak saja?

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang