“Good luck! Semoga pengakuan cintamu diterima gebetanmu,” ujarku seraya memberikan satu buket bunga yang berisi dua puluh bunga mawar merah.
“Terima kasih doanya. Kalo gitu saya permisi dulu,” ujar sang pembeli sebelum meninggalkan Istana Bunga dengan wajah gugup dan senyum malu-malu. Melihat senyum lugu itu tanpa sadar aku juga ikut tersenyum.
Jatuh cinta memang selalu seperti ini, kan? Kembang api yang meledak-ledak di dada, badai kupu-kupu di perut, dan senyum malu-malu super lugu sebab endorfin dan dopamin diproduksi berlebihan. Perpaduan super absurd yang membuat gila sekaligus bahagia.Lonceng yang ada di atas Istana Bunga kembali berbunyi, menandakan jika ada pelanggan yang baru saja masuk. Aku pun segera berbalik badan dan menyapa pelanggan dengan senyum terbaikku.
“Selamat siang! Selamat datang di Istana Bunga! Ada yang bis—lho, Djiwo? Ngapain lo di sini?”“Beli bungalah,” jawab Djiwo dengan senyum super lebar.
Aku terbahak kecil. “Baiklah. Jadi, bunga apa yang mau dibeli? Atau wanita beruntung yang bakal dapet bunga dari lo ini punya bunga kesukaan secara spesifik?” tanyaku menggoda.
“Hm ... sebenernya aku belum terlalu deket sama wanita beruntung ini. Menurut kamu apa bunga yang pas buat cewek yang mau diajak makan siang?”
“Kalo lo belum tahu cewek ini suka bunga apa, mungkin lo bisa beliin dia bunga mawar, gladiola, lili, atau anyelir. Tapi kalo lo bingung, lo bisa pilih mawar. Kebanyakan cewek bakal bahagia kalo lo kasih bunga mawar.”
“Kamu juga suka mawar?”
“Tentu gue suka semua bunga. Mereka semua indah. Tapi kalo gue paling suka bunga matahari.”
Senyuman Djiwo kembali terbit. “Oke, kalo gitu aku beli bunga matahari.”
“Ini bukan kode kalo lo mau ngajakin gue makan siang, kan?” tanyaku seraya menaikkan satu alis.
“Kalo ini kode bukannya terlalu kentara?” tanya pria itu ikut menaikkan satu alisnya.
“Ya ... kode lo emang terlalu kentara. Tapi lain kali lo bisa ajakin gue langsung. Nggak perlu beli bunga segala.”
“Deal, berarti lain kali aku boleh ngajakin kamu makan siang bareng.”
Aku tertawa kecil. “Tentu, gue nggak nolak traktiran, kok. Tapi, Dji, karena hari ini karyawan gue ada yang nggak masuk, kayaknya gue nggak bisa makan siang lama-lama.”
“Iya, nggak papa, kok. Aku juga udah laper.” Lalu pria itu mengalihkan pandangan ke arah Sela. “Oh ya, tolong satu buket bunga mataharinya, ya! Setelah kami makan siang udah selesai, kan?”
Sela mengangguk mantap. “Tentu! Saya bakal rangkai bunga matahari paling cantik buat Mbak Sonya. Saya janji nggak bakal mengecewakan Anda!” serunya semangat yang langsung direspons Djiwo dengan senyuman lebar.
“Apa sih, Sel,” ujarku sedikit malu. “Oh ya, lo mau nitip sesuatu nggak buat makan siang?”
“Nggak usah, Bu Bos! Gue nanti pesen O-food aja!”
“Oke, kalo kamu mau nitip sesuatu nggak, Ta?”
“Nggak, Mbak,” jawab Cakra datar tanpa melihat ke arahku.
Lha, ini bocah satu kenapa?
“Oke, kalo gitu gue makan siang dulu, ya. Kalian jangan lupa makan. Kalo toko rame langsung telepon gue aja.”
Setelah mengatakan itu aku pun segera meninggalkan Istana Bunga seraya berjalan beriringan dengan Djiwo. Warung soto yang akan kami datangi tak begitu jauh, makanya kami memutuskan ke sana dengan berjalan kaki. Sesampainya di warung soto, kami langsung duduk di bangku yang tersisa dan memesan soto masing-masing satu porsi.
“Jadi, kenapa akhirnya lebih milih jualan bunga?” tanya Djiwo membuka pembicaraan.
Aku menatap ke depan dengan pandangan menerawang, senyuman kecil terbit di bibirku. “Hm, sebenernya nggak ada alasan yang istimewa, sih. Tadinya gue juga nggak begitu suka bunga dan mikir kalo para cowok yang ngasih ceweknya bunga pas lamaran, hari valentine, atau hari jadi pernikahan itu cuma buang-buang duit. Ya, buat apa lo ngasih sesuatu yang besoknya layu dan ujung-ujungnya masuk tong sampah? Mubazir banget.”
“Tapi, Dji, lo merhatiin nggak, sih? Kalo orang-orang yang dikasih bunga pasti kebanyakan langsung senyum bahagia? Nah, pas gue liat senyuman orang-orang itu. Tanpa sadar gue juga ikut senyum. Bunga yang akhirnya layu itu mungkin nggak bakalan diingat-ingat lagi, tapi perasaan bahagia pas orang itu nerima bunga yang lo kasih, pasti bakal stay di hati mereka selamanya. Nah, walau ngasih bunga terkesan nggak guna, tapi menurut gue ini worth it.”
“Ya, gue setuju itu worth it.”
“Sorry, kalo perkataan gue tadi terlalu menye-menye,” tuturku yang langsung direspons Djiwo dengan anggukan mengerti dan senyum super lebar.
“By the way, Dji, thanks traktiran makan siangnya. Next, gue yang traktir.”
“Oke, dan jangan marah kalo gue bakal selalu nagih itu,” sahutnya yang sontak membuat kami tertawa bersama. Lalu kami mulai memakan makan siang masing-masing karena soto yang kami pesan sudah disajikan.
***
Djiwo segera meninggalkan Istana Bunga setelah ia membayar bunga matahari yang dirangkai Sela untukku. Pria itu membunyikan klakson satu kali sebelum berlalu yang langsung aku respons dengan lambaian tangan.
“Jadi, sekarang lo sama dia, Mbak?” tanya Sela begitu mobil Djiwo menjauh.
“Dia cowok yang dijodohin sama gue. Kenapa?”
“Mantap! Nyonya besar memang tahu mana yang kualitasnya premium!”
“Tapi gue tolak.”
“Seriously, Mbak? Are you fucking kidding me?”
“Sel, lo tahu gue sama sekali nggak tertarik sama komitmen.”
“Astaga, Mbak! Tetep ajalah! Peduli setan lo nggak percaya cinta dan komitmen! Yang kayak dia bener-bener nggak boleh dilewatin!”
Aku menggoyangkan bunga matahari pemberian Djiwo. “Lo liat gue melewatkan sesuatu?”
“Nah, mantap! Cowok sekelas siapa tadi namanya? Djiwo? Buset namanya aja udah minta diklaim kalo dia adalah belahan djiwaku~ Asek! Emang nggak boleh dilewatin. Minimal harus dibawa kondangan sekali dua kalilah buat dipamerin!”
“Iya, iya, terserah lo, Sel. By the way, si Cakra ke mana? Tumben nggak keliatan?”
“Oh, si Cakra tadi katanya mau makan di atas. Mungkin belum beres, makanya belum turun.”
“Yaudah kalo gitu gue juga ke atas dulu, ya!”
Setelah itu aku menaiki anak tangga untuk mencapai ruanganku yang ada di lantai dua. Sudut bibirku mengembang begitu aku melihat Cakra tengah fokus dengan makan siangnya. Keningku berkerut saat melihat pria itu seperti tidak berselera dengan makanannya.
“Kenapa nasinya cuma kamu aduk-aduk doang, Ta? Kamu sakit lagi?” tanyaku seraya menempelakan telapak tangan di kening Cakra dengan panik.
Cakra meraih tanganku yang ada di keningnya dan menggegamnya. “Saya nggak sakit, saya cuma nggak suka makan sendirian.” Ya, selama sebulan ini kami memang selalu makan bersama.
“Astaga, bikin khawatir aja kamu, Ta! Saya pikir kam—“
“Kenapa kamu khawatir kalo saya sakit?” tanya Cakra tiba-tiba yang sontak membuatku diam tak bersuara. Aku tak bisa menyangkal kalau sebenarnya aku suka pada si tengik itu. Tapi lalu apa?
“Saya nggak mau kamu sakit lagi gara-gara saya.”
“Udah saya bilang kalo saya nggak sakit gara-gara kamu, Anya! Saya sama sekali nggak nyesel nemenin kamu waktu itu! Jadi, berhenti nyalahin diri sendiri dan berhenti makan siang bareng cowok lain karena saya nggak suka!” serunya dengan napas ngos-ngosan.
“Kenapa kamu nggak suka saya makan siang bareng Djiwo?” tanyaku dengan kening berkerut.
Cakra membasahi bibir bawahnya. “Karena saya suka sama kamu,” ujarnya dengan telinga memerah sampai telinga.
Hah? Apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...