“Pake ini, Mbak,” ujar Cakra seraya menyampirkan jaket milik pria itu di bahuku.
Hari ini aku memang memakai baju olahraga lengan pendek, karena aku sama sekali tidak berekspetasi jika sore ini Jakarta akan diguyur hujan deras. Sebab sampai tadi jam empat sore, cuaca masih sangat cerah.
Aku melirik Cakra yang berdiri tepat di sampingku. “Nggak usah, Ta. Kamu pasti juga kedinginan,” tolakku dengan suara gemetar.
Saat ini Cakra juga memakai baju lengan pendek, aku sangat yakin tubuh pria itu juga menggigil.
“Saya nggak papa. Kamu aja yang pake, tubuh kamu menggigil gitu,” pintanya dengan tatapan tak mau dibantah.Akhirnya aku mengangguk setuju dan segera memakai jaket Cakra. Aroma vanila yang lagi-lagi terasa familiar kembali menusuk indra penciumanku. Aku mengerutkan kening dalam, berusaha mengingat di mana aku pernah mencium aroma yang familiar ini. Tapi sayangnya tak ada yang terlintas di otakku sama sekali.
Lalu aku menggeleng pelan, memilih tak memikirkannya lagi. Lagi pula, parfum dengan aroma vanila seperti ini pasti dipakai sebagian warga Jakarta. Mungkin aku menciumnya saat berdesak-desakan di busway atau saat mengantre bakso di Senayan. Ya, pasti tidak ada yang istimewa.
“Thanks, Ta,” lirihku seraya tersenyum.Caktra membalas senyumanku. “Sama-sama. Eh, ini kamu beneran di jemput, kan? Atau mau saya pesenin O-car aja? Kayaknya sih ujannya bakal awet.”
Aku menyalakan ponselku dan segera membuka pesan dari Kirana yang baru saja masuk. Aku langsung mendesah lega saat sepupuku itu mengatakan jika ia akan segera sampai. “Nggak usah, Ta. Ini saya beneran dijemput, kok. Sepupu saya sudah di belokan depan,” jelasku.
“Bagus deh kalo gitu,” desahnya lega seraya menganggukkan kepala.
“Kalo kamu gimana? Mau pulang naik apa?” tanyaku khawatir.
“Saya mah gampang. Yang penting kamu pulang duluan.”
“Harusnya tadi kamu pulang duluan aja, Ta. Nggak usah nungguin saya.”
Aku dan Cakra memang pulang paling terakhir hari ini. Sebab aku harus menunggui petugas kebersihan yang membersihkan halaman belakang Istana Bunga yang sudah seperti kapal pecah karena berbagai lomba dan pesta barbeku yang tadi siang kami lakukan. Sebenarnya Cakra bisa pulang sejak dua jam lalu seperti karyawan lainnya. Tetapi ia malah memilih menungguiku hingga kini kami terjebak hujan deras.“Kalo saya nggak nungguin kamu hari ini, mungkin saat ini saya lagi khawatir setengah mati di kosan karena cemas sama keadaan kamu. Jadi, saya sama sekali nggak nyesel tertahan di Istana Bunga lebih lama walau akhirnya kejebak hujan dan kedinginan,” jelasnya serius. Membuat dadaku terasa hangat tanpa alasan.
Aku mengalihkan pandangan dari Cakra dan lebih memilih menatap rinai hujan lewat jendela. Hawa panas yang menyerang pipiku benar-benar membuatku merasa salah tingkah.
“Sekali lagi terima kasih.”
“Ya, sama-sama.”
Tak lama kemudian akhirnya mobil Kirana sampai di depan toko. Membuatku langsung mengembuskan napas lega. Aku dan Cakra pun segera keluar dari toko dan menunggu di pelataran Istana Bunga yang lantainya sudah sepenuhnya basah karena air hujan.
Kirana keluar dari mobil seraya membuka payung berwarna merah, lalu sepupuku itu menghampiriku dengan payungnya. “Sori, gue lama. Biasa, Jakarta sore hari dan hujan lebat adalah biang onar pembuat kemacetan,” jelas Kirana begitu sampai di pelataran toko.
Aku merespons penjelasan Kirana dengan anggukkan mengerti, lalu mengalihkan pandangan ke arah Cakra. “Kamu nggak mau sekalian pulang bareng saya aja, Ta?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't be Afraid (Completed)
Romance[Cerita Pilihan Editor / Favorit Wattpad HQ list September 2021] Hidup seorang Sonya Sekardewi yang tenang dan selalu berjalan normal, berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara bocah tengik menyebalkan yang sok tahu dan suka ikut campur. Apala...