Yang Belum Selesai

23.4K 3.2K 53
                                    

Aku meremas ujung bajuku saat Dimas semakin mendekat dan duduk tepat di depanku. Bayangan-bayangan mengerikan itu kembali memenuhi kepala seperti kaset rusak yang sudah diputar berulang kali. Tubuhku mulai gemetar dengan rasa mual yang semakin menguat.

Cakra menyetuh bahuku. "Mbak Sonya nggak papa?" tanyanya khawatir.

Aku mengalihkan pandangan ke arah Cakra lalu menggeleng. "Saya nggak papa," jawabku dengan suara gemetar. "Permisi saya izin ke toilet!" Lalu aku segera bangkit dari dudukku dan berjalan cepat ke arah toilet.

Sesampainya di toilet aku langsung menenggelamkan kepala di kloset dan memuntahkan semua isi perutku di sana. Rasa mual itu semakin menjadi-jadi saat bayangan darah segar yang menitik di lantai berputar di kepala. Membuat kepalaku pening luar biasa.

Aku mengelap bibirku dengan punggung tangan. Lalu aku duduk di kloset dengan napas memburu. Dengan kasar aku menghapus air mata yang mengalir di pipi, kemudian aku tersenyum sinis.

Aku tahu cepat atau lambat aku pasti bakal bertemu dengan bajingan yang telah menghancurkan hidupku itu. Tapi aku tidak tahu jika hari yang cerah ini akan menjadi hari yang begitu buruk. Aku diserang, tanpa persiapan.

Tarik napas, embuskan. Tenang Sonya, kamu sudah berubah. Kamu bukan si tolol Sonya remaja. Kalian bukan orang yang sama.

Setelah diriku lebih tenang aku segera meninggalkan toilet dengan dagu terangkat, lalu kembali menghampiri meja di mana si bajingan Dimas juga ada di sana.

"Mbak Sonya nggak papa?" tanya Marisa khawatir begitu aku kembali duduk.

Aku tersenyum lebar. "Nggak papa, Mbak Marisa. Saya tadi cuma sakit perut, maaf kalo tindakan saya membuat kalian semua tidak nyaman," ujarku menyesal.

Marisa mengangguk mengerti. "Syukurlah kalo Mbak Sonya nggak kenapa-napa. Oh ya, kenalin ini Dimas calon tunangan saya," ujarnya dengan senyum mengembang.

Aku tersenyum formal pada Dimas yang sejak tadi menatapku intens penuh arti.

"Hi, Anya, long time no see. Apa kabar?" tanya Dimas yang sontak membuat tubuhku menjadi kaku beberapa detik.

Marisa menatap Dimas penuh minat. "Kamu kenal sama Mbak Sonya?" tanyanya kepo.

Dimas mengangguk dengan sudut bibir terangkat, lalu pria itu tersenyum simpul. "Ya, dulu kami teman sekelas waktu SMA."

"Wah serius?" tanya Marisa antusias.

Terpaksa aku mengangguk. "Ya," jawabku singkat. Tolong aku ingin pertemuan ini segera berakhir.

"Wah dulu Dimas waktu sekolah gimana, Mbak? Bandel nggak anaknya?"

"Seingat saya dulu dulu Dimas sama dengan murid lainnya. Jadi, Mbak Marisa sudah memutuskan ingin memesan bunga apa?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Setelah itu Marisa mulai berunding dengan Dimas karena gadis itu masih bingung ingin memilih bunga yang mana.

Dan aku menyadari kalau sejak tadi Dimas terus-terusan menatapku dan itu benar-benar membuat tidak nyaman. Selama meeting aku berusaha meminimalisir interaksi dengan Dimas dan hanya menjawab pertanyaan pria itu secukupnya. Aku memilih lebih fokus berdiskusi dengan Marisa. Sedangkan Cakra menjalankan tugasnya dengan baik, ia menulis semua hal penting yang disampaikan klien kami.

Lima belas menit kemudian akhirnya semua deal. Akhirnya Marisa memilih bunga tulip sebagai bunga penghias di pesta pertunangan mereka nanti. Setelah itu kami memutuskan mengakhiri meeting dan segera pergi meninggalkan Queen Bakery.

Aku berjalan cepat ke arah parkiran diikuti Cakra, mengabaikan Dimas yang sejak tadi menatapku penuh makna. Setelah kejadian itu, harusnya pria itu sadar diri.

Ah, bukannya kamu juga ikut andil melenyapkan malaikat kecil itu Sonya?

  ***

Aku mengucek kedua mata, lalu melirik arloji yang melingkar di lenganku. Aku mendesah keras saat melihat jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Sial, sepertinya aku ketiduran. Seharian ini aku memang tidak fokus bekerja, karena bertemu kembali dengan Dimas membuatku mengingat luka lama. Mungkin tadi aku ketiduran setelah lelah menangis diam-diam.

Aku menfokuskan pandangan ke arah pintu saat mendengar decitan khas ketika pintu dibuka. Terlihat Cakra menyembulkan kepalanya ke dalam, bocah itu langsung mengembangkan senyuman saat matanya bertemu dengan mataku.

Cakra membuka pintu lebih lebar, lalu masuk ke dalam. "Mbak Sonya sudah bangun?" tanyanya seraya mendekat ke arahku.

Aku mengangguk mengiakan. "Kenapa dari tadi nggak bangunin saya?"

"Tadi Mbak Sonya tidurnya nyenyak banget. Saya nggak tega banguninnya. Oh ya, ini laporan penjualan dari Mbak Desi," jelasnya seraya menaruh tiga lembar kertas di meja.

"Oke, makasih, Ta. Kamu boleh pulang sekarang."

"Mbak Sonya beneran nggak papa?" tanya pria itu serius.

"Emangnya saya kenapa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Serius saya boleh jawab jujur?"

"Emangnya kamu biasa bohong?"

"Ya nggaklah! Walau dulu waktu SMA saya sering dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali karena saya sering lupa ngerjain PR, tapi di sekolah saya termasuk murid jujur, lho. Saya nggak pernah nyontek waktu ujian. Makanya nilai-nilai saya nggak bagus-bagus amat. Tapi lebih baik jujur walau menyakitkan."

Aku hanya menatap Cakra dengan pandangan datar karena tidak tahu harus merespons apa. Jujur saja, aku tidak pernah bertemu laki-laki secerewet Cakra. Bukannya biasanya cowok seusia Cakra lebih suka bersikap cool agar terkesan keren di mata para wanita? Terus kenapa bocah tengik ini malah punya sifat berbeda?

Dasar bocah ceriwis!

Cakra meringis kecil. "Sorry, Mbak, kayaknya saya mulai banyak bicara. Oke, saya bakal ngomong jujur. Menurut saya ya, Mbak. Cinta tak sampai memang menyakitkan, tapi cinta yang tulus memang seharusnya tidak menuntut balasan apa-apa. Saya tahu kok pasti sakit banget setelah menjalani banyak hal-hal indah bersama tapi hubungan itu malah kandas di tengah jalan. Tapi waktu terus berjalan, jadi sebaiknya kita cepet move on dari cinta lama agar bisa bertemu dengan cinta yang baru," jelas pria itu panjang lebar.

Aku menatap Cakra dengan pandangan bertanya, karena tidak paham apa maksud bocah itu. "Jadi, hubungannya sama saya itu apa?" tanyaku bingung.

"Hari ini Mbak Sonya lagi galau karena Mas Dimas mau nikah sama Mbak Marisa, kan?" tanyanya sok tahu.

"Imajinasi kamu luar biasa, Ta! Kamu punya kerja sampingan jadi penulis sinetron?" tanyaku sinis.

"Maaf kalo saya salah. Tapi keliatan banget kalo di antara Mbak Sonya dan Mas Dimas ada hubungan yang belum selesai," jelas Cakra serius.

Aku tersenyum kecut. Ya, Cakra benar, di antara aku dan Dimas memang ada sesuatu yang belum selesai. Mungkin hanya bisa selesai saat kami berdua disiksa di neraka-untuk menebus kesalahan kami berdua tiga belas tahun lalu.

Aku tersenyum pahit, lalu menatap Cakra nanar. "Ya, tebakan kamu benar, Ta. Apa tadi siang saya terlihat begitu menyedihkan?"

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang