Tidak Tahu Apa Pun

14.5K 2.1K 64
                                    

Setelah memarkirkan mobil aku pun segera turun dari kendaraan beroda empat itu seraya membawa rujak cingur pesanan Kirana. Ibu hamil satu itu terus menerorku sejak kemarin untuk membelikan rujak khas Jawa Timur dengan ancaman jika keponakanku akan ngeces jika tidak aku belikan.

Jadi, disinilah aku sekarang di depan rumah Kirana sembari membawa kresek hitam berisi rujak cingur untuk memuaskan nyidam sepupuku itu. Walau aku tahu Kirana hanya sedang mengerjaiku saja.

Karena rumah Kirana tidak dikunci, aku pun memutuskan untuk langsung masuk dan berjalan ke ruang tamu. Kirana langsung bertepuk tangan dua kali dengan wajah sumringah begitu melihatku datang—sebenarnya karena gadis itu melihat kantong kresek yang aku bawa.

“Makasih aunty Sonya karena udah nurutin kemauan adek,” ujar Kirana dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil.

Aku mencibir. “Yang pengen emaknya atau ponakan gue, nih?”

Kirana menerima kresek yang aku sodorkan. “Ponakan lo lah! Dia yang kepengin dari seminggu lalu, tapi tantenya yang sok sibuk baru bisa beliin sekarang. Kalo anak gue ngeces salah lo pokoknya!”

Bah, alasan itu lagi!

“Lo emang niat banget kalo ngerjain gue!”

“Emang!” seru gadis itu tak menyangkal.

Lalu Kirana berjalan ke arah dapur. Dan aku pun memutuskan untuk duduk di samping Ganesha yang sejak tadi fokus bermain game di ponsel.
Aku menyenderkan punggungku di punggung sofa lalu memijit keningku yang terasa pening. Semua kejadian beberapa hari ini berputar tak berurutan di kepalaku, membuat dadaku sesak luar biasa.
Cakra, Luna, Cakra, Luna, Cakra, Luna.

Perasaan cemburu sialan!

“Nya, are you okay?” tanya Ganesha seraya menaruh ponselnya di meja.

Aku membuka kedua netraku lalu duduk menghadap Ganesha. “G, gue mau nanya.”

“Hmm?” bingung sepupuku seraya menaikkan satu alisnya.

“Lo kenal Cakra udah lama, kan? Kenal Luna juga nggak?”

“Hmm, kalo lagi hunting foto di Singapura, kadang Luna ikut kumpul juga, sih. Kadang jadi tour guide juga dia. Kenapa?”

“Luna sama Cakra pernah pacaran nggak?”

“Lo dari tadi overthinking soal ini? Yaelah, Nya, kayak bocah SMP yang baru pertama jatuh cinta aja deh lo!” ledek Ganesha.

Kan, sepupuku itu memang kampretnya nggak ilang-ilang!

“G, gue serius!” sahutku seraya memberengut.

Kali ini Ganesha menatapku serius. “Setahu gue nggak, sih. Luna mungkin punya perasaan sama Cakra. Tapi Cakra nggak ngerasain hal yang sama. Dan lo, nggak bisa marah ke Cakra karena hal ini, Nya. Perasaan Luna nggak bisa Cakra kendalikan.”

Aku mengangguk mengerti. “Iya, gue tahu, kok. Cuma ini bener-bener sulit, G. Oh ya ... apa lo juga tahu alasan Cakra kabur dari rumah?”

Ganesha menghela napas panjang sebelum menjawab, “Dia ada masalah sama bokapnya. Gue nggak tahu masalah detailnya, tapi yang jelas karena dia anak satu-satunya, dia harus terusin usaha keluarganya dan stay di Singapura. Dan karena kesehatan bokapnya makin buruk, jadi kayaknya dalam waktu dekat dia harus ke Singapura.”

Penjelasan Ganesha membuat aku tertegun. Bagaimana bisa aku tidak tahu apa pun soal pacarku sendiri?

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang