Tangan Kamu Hangat

15.4K 2.2K 32
                                    

Hari ini aku masuk kantor setelah makan siang karena harus menghadiri rapat penting dengan klien. Sehingga sekitar pukul tiga belas lebih aku baru saja sampai di Istana Bunga. Sebelum naik ke lantai dua aku menyapa seluruh karyawan Istana Bunga yang tampak sibuk merangkai bunga milik pelanggan masing-masing.

“Kalian udah pada makan siang, kan?” tanyaku sebelum menaiki tangga.

“Udah, Mbak, tadi ditraktir sama Robbi,” jawab Sela seraya menghentikan kegiatannya merangkai bunga aster.

“Idih ... tumben, Rob?” tanyaku bercanda.

Robbi cemberut. “Gue diancam, Mbak. Kalo gue nggak traktir dia, foto gue pas cosplay jadi banci mau disebarin ke gebetan gue,” adunya.

“Lha, bukannya gebetan lo itu Sela, Rob?” godaku yang sontak membuat kedua pipi Sela merona.

“Rumor dari mana tuh?” tanya Robbi salah tingkah.

Aku menunjuk mataku sendiri. “Mata gue yang liat sendiri. Kalian cocok, kok! Jadian sana!” seruku masih menggoda.

“Astaga Bu Bos! Gue tahu kalo Istana Bunga butuh asupan cinta biar lebih berwarna. Tapi ngebucin sendiri sana! Nggak usah nyuruh-nyuruh orang lain,” ujar Robbi seraya memutar mata malas.

“Tapi serius kalian cocok, kok!”

Robbi hanya merespons ucapanku dengan cibiran, sedangkan Sela memilih kembali fokus dengan pelanggan. Aku langsung geleng-geleng kepala saat melingkah mereka berdua. Dasar!

Setelah puas menggoda Robbi dan Sela, aku pun memutuskan untuk segera naik ke atas. Keningku langsung berkerut ketika aku tidak melihat Cakra di tempatnya. Ponselku memang kehabisan daya sejak tadi dan aku lupa membawa powerbank, sehingga aku tidak dapat menerima pesan apa pun.

Dengan bergegas aku pun segera memasuki ruanganku dan menyambungkan charger-an ke stopkontak. Lalu setelah itu aku segera menyalakannya dan puluhan notifikasi langsung memenuhi layar begitu benda pipih itu menyala. Tetapi anehnya tidak ada pesan dari Cakra sama sekali, percakapan terakhir kami adalah kemarin saat pria itu mengatakan sudah sampai rumah dengan selamat.

Aku menggigit bibir bawahku karena rasa khawatir yang tiba-tiba menyusup di dada. Membuat perasaanku menjadi gelisah. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon ponsel Cakra. Awas saja kalo si tengik itu berani bolos ngantor!

Namun, beberapa kali pun aku mencoba, Cakra tidak menjawab teleponku. Membuat rasa khawatir di dadaku semakin menguat. Akhirnya aku memutuskan kembali turun ke bawah dan menanyakan soal Cakra yang tidak masuk kantor kepada Robbi. Aku berharap pria itu tahu sesuatu, karena setahuku mereka sudah cukup dekat.

“Rob, lo tahu kenapa Cakra nggak masuk?” tanyaku tanpa menyembunyikan rasa khawatir di suaraku.

“Oh iya, hari ini gue belum liat si Cakra. Kirain karena lagi kerja di atas. Emangnya dia nggak masuk, Mbak?”

“Iya dia nggak masuk. Nggak ngasih kabar juga. Dia nggak ngehubungin lo?”

“Nggak ada sih, Bu Bos. Eh, bentar gue cek hp dulu.”

Robbi merogoh ponsel yang ada di kantong celana lalu memandangku seraya menggeleng kecil. “Dia juga nggak ngehubungin gue. Tapi tadi malem dia emang bilang nggak enak badan, sih. Pas telepon suaranya juga agak serak. Ck, kasian banget kalo emang sakit. Cakra kan ngekosnya sendirian.”

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang