Blind Date

19.2K 2.7K 33
                                    

“Kencan buta? Lo gila!”

“Ya, terus lo punya cara lain buat bawa cowok ke acara makan malam keluarga nanti?” tanya Kirana di ujung sana.

“Tapi gue nggak seputus asa itu sampai harus bawa random people yang nggak jelas asal usulnya.”

“Sadar diri, Nya, kalo sekarang lo lagi putus asa.”

Sial, ucapan Kirana benar. Saat ini aku benar-benar putus asa mencari pria yang bisa aku ajak ke acara makan malam keluarga malam Minggu nanti. Itu sebabnya aku menelepon Kirana sekarang. Berharap sepupuku itu punya ide brilian untuk membantuku.

“Serius lo nggak ada ide lain?” tanyaku seraya mengerang putus asa.

“Nggak ada. Kalo lo emang nggak punya pacar ya dateng sendiri aja ke rumah Oma. Beres. Lo nggak perlu pusing-pusing kayak sekarang.”

“Lo kayak nggak tahu emak gue aja. Pasti saat ini berita gue bakal dateng bawa cowok udah tersebar ke telinga semua Om dan Tante kita. Nah, bayangin kalo gue dateng sendiri, bisa kena ceramah dua hari dua malem gue.”

“Yaudah pergi kencan buta. Masalah selesai.”

“Lo yakin dia bukan orang aneh, kan?”

“Santai, dia temennya Mas Ghani. Nggak mungkinlah gue nyondorin lo pengedar narkoba,” dengkus Kirana. “Malah yang gue takutin itu lo. Dia anaknya baik-baik, gue pernah ketemu beberapa kali. Sayang banget nanti jadi sesat kalo ketemu lo,” lanjutnya seraya terkekeh.

“Kampret lo! Tapi lo bisa mastiin dia bakal dateng, kan?”

“Iya, Anya bawel!”

“Yaudah kalo gitu gue setuju.”

“Sip, nanti gue kirimin alamat kafe tempat kalian bakal ketemuan,” ujar Kirana sebelum mematikan telepon.

Lalu di sinilah aku sekarang. Di Orion’s Cafe and Bar menunggu—si anak baik-baik yang berpotensi sesat jika bergaul denganku versi Kirana—alias si teman kencan butaku yang belum aku tahu siapa namanya.

Sekali lagi aku meneguk martini yang tadi aku pesan. Setelah itu aku celingukan sembari menerka-nerka seperti apa sosok laki-laki yang akan menjadi teman kencan butaku nanti.

“Sonya?” tanya seseorang yang sontak membuatku mendongak.

“Ya?” jawabku dengan dahi berkerut.

Pria yang tadi menyapaku tersenyum canggung, lalu ia duduk di depanku setelah mengambil sekaleng bir rendah alkohol dari lemari pendingin.

Aku menatap pria itu seraya bertopang dagu. “Jadi, kita adalah dua manusia putus asa yang milih kencan buta? Kira-kira apa alasan lo? Gue tebak, pasti karena dirong-rong suruh kawin mulu!” kekehku seraya menatap intens pria yang ada di hadapanku karena ia tampak begitu familiar. “Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Oh, shit! Jangan bilang kalo lo Sudjiwo Tirtayasa?”

Pria yang aku duga sebagai Djiwo menatapku penuh minat. “Ya?”

Aku tertawa keras. “Astaga ... lo beneran Djiwo? Gue Sonya Sekardewi. Inget sesuatu?”

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang